Jakarta (ANTARA) - Lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Prof. Kanjeng Pangeran Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, M.A. akan dipamerkan dalam pameran tunggal “Srihadi Soedarsono - Man x Universe” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 11 Maret - 9 April 2020. Pameran diagendakan akan dibuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Seluruhnya ada 44 lukisan yang dipamerkan, terdiri dari 38 lukisan baru, sisanya merupakan koleksi pribadi. Seluruh karya, kecuali sketsa Borobudur (1948), menggunakan media cat minyak pada kanvas.
Karya-karya tersebut antara lain Horizon – The Golden Harvest (2018), Borobudur Drawing (1948), Borobudur – The Energy of Nature (2017), Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017), Papua – The Energy of Golden River (2017), The Mystical Borobudur (2019), dan Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020)
Sketsa Borobudur dibuat saat usia Srihadi baru 17 tahun, tapi sebelia itu sudah menunjukkan intuisi dan ketertarikan terhadap nilai-nilai alam, manusia, dan budaya. Dia menggambarkan candi Borobudur dengan pendekatan landscape melalui garis-garis ekspresif.
Sketsa ini sengaja ditampilkan bersama karya-karya mutakhirnya sebagai penanda bahwa sketsa Borobudur-lah cikal bakal Srihadi membuat lukisan-lukisan landscape di kemudian hari.
"Srihadi Soedarsono - Man x Universe” menginterpretasikan keindahan landscape Indonesia sebagai semangat spiritual atas rasa kemerdekaan dan kebanggaan berbangsa. Sebab landscape dalam perspektif Srihadi adalah tema yang lebih dalam dari sekadar lukisan pemandangan yang menghipnotis orang lain untuk datang berkunjung.
Di balik estetika suatu karya ada pergumulan sosial, budaya, bahkan politik, dan inilah yang sedang dikedepankan dalam “Srihadi Soedarsono - Man x Universe”.
“Universe itu catatan tentang ingatan-ingatan, layaknya seseorang yang mengingat memorinya sebelum menulis. Ini cara saya mencatat perjalanan dari kanak-kanak sampai sekarang usia 88 tahun. Bagaimana sawah yang dahulu begitu luas sekarang tidak ada lagi yang seluas itu,” ujar Srihadi Soedarsono saat konferensi pers di JJ Royal Brasserie.
Kurator pameran ini, Dr. A. Rikrik Kusmara, M.Sn., mengelompokkan 44 karya Srihadi dalam empat rumpun besar, yakni:
1. Social Critics, memuat Papua Series, Bandung Series, dan Field of Salt.
2. Dynamic, memuat Jatiluwih Series dan Energy of Waves.
3. Human & Nature, memuat Mountain Series, Tanah Lot Series, dan Gunung Kawi Series.
4. Contemplation, memuat Horizon Series dan Borobudur Series.
A. Rikrik Kusmara mengatakan Pameran “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” adalah pendekatan baru Srihadi dalam mengekspresikan landscape, sebab menampilkan metafor dan simbol yang cukup kompleks. Proses artistik tersebut tak lepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang tensinya naik sepanjang 2016–2019, tahun-tahun Srihadi menghasilkan karya untuk pameran ini.
“Melalui pameran ini, pengetahuan masyarakat luas terhadap karya maestro Indonesia, khususnya Srihadi Soedarsono yang hingga saat ini masih aktif berkarya, akan bertambah,” kata Selamet Susanto selaku perwakilan panitia penyelenggara pameran.
Bersamaan dengan pembukaan pameran, akan diluncurkan buku berjudul “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” yang membedah hubungan spiritual manusia, berikut siklus hidupnya, dengan alam semesta. Buku ini ditulis oleh Dra. Siti Farida Srihadi, M.Hum. bersama budayawan Dr. Jean Couteau.
Dalam rangkaian pameran tunggal “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” akan diadakan juga seminar pameran pada Sabtu, 28 Maret 2012 di Galeri Nasional Indonesia. Seminar pameran tersebut terbagi dalam dua sesi pembahasan yakni diskusi pameran dan buku, dengan pembicara Srihadi Soedarsono, Farida Srihadi, Jean Couteau, A. Rikrik Kusmara, serta kritikus / penulis buku-buku seni, Agus Dermawan T. sebagai penanggap.
Jean Couteau menulis buku “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” dengan tantangan terbesar menerjemahkan kompleksitas simbolisme Srihadi yang tampil sederhana.
“Yang menantang juga adalah agar berhasil memperlihatkan bahwa nilai-nilai yang diangkat dalam karya-karya Srihadi, kendati bersifat Jawa, adalah juga nilai universal. Dia menyelimuti pesan Jawanya dalam bentuk modern,” ujar Jean Couteau.
Sebelumnya, pada 2016, diluncurkan buku Srihadi Soedarsono: 70 Years Journey of Roso bersamaan pameran berjudul 70 Tahun Rentang Kembara Roso. Buku ini secara implisit menceritakan bagaimana hubungan Srihadi dengan Tuhan serta hubungannya dengan sesama manusia.
“Gelaran ini merupakan sebuah apresiasi terhadap pencapaian Srihadi Soedarsono melalui karya-karyanya. Srihadi merupakan pelukis yang konsisten dan sangat produktif berkarya hingga usia menjelang sembilan dasawarsa. Melihat Srihadi bukan hanya sekadar seorang pelukis yang memamerkan karya, perjalanan keseniannya yang cukup panjang melewati berbagai masa merupakan hal berharga yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi publik,” kata Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto.
Pameran tunggal Srihadi Soedarsono tahun ini merupakan hasil kerja sama antara Srihadi Studio dan Sugar Group Companies untuk yang ketiga kalinya selama satu dekade terakhir, yakni “Retrospective 80th Anniversary Exhibition” tahun 2012, “Srihadi Soedarsono – 70 Years Journey of Roso” tahun 2016, dan “Srihadi Soedarsono— Man x Universe” tahun 2020. Dua pameran terakhir tersebut juga bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kerja sama tersebut sebagai bentuk komitmen dari Sugar Group Companies terhadap perkembangan seni lukis di Indonesia.
TENTANG SRIHADI SOEDARSONO
Srihadi Soedarsono, kelahiran Solo, 4 Desember 1931, sejak usia dini suka menggambar. Saat jadi pelajar, dia bergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) bagian Pertahanan pada 1945 dengan tugas membuat poster, grafiti, menulis slogan yang mengobarkan semangat juang di dinding-dinding besar dalam kota dan gerbong-gerbong kereta api.
Lalu masuk sebagai staf Penerangan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Penerangan Tentara Divisi IV TNI di Solo. Kegiatannya membuat brosur militer dan menggambar sketsa peristiwa penting untuk dokumentasi karena saat itu tidak ada kamera.
Pada 1946, dia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Solo dan belajar dengan pelukis-pelukis perintis seni lukis Indonesia, seperti Sudjojono dan Affandi. Sewaktu bergabung dengan Kementerian Urusan Pemuda Republik Indonesia yang berlokasi di Sekolah Taman Siswa Yogyakarta, Srihadi juga berada di sana bersama Sudjojono untuk menegakkan perjuangan Indonesia melalui seni rupa.
Belanda ditarik dari Indonesia pada Desember 1949. Alih-alih meneruskan bekerja di ketentaraan, Srihadi memilih meneruskan sekolah yang sebelumnya pernah terhenti, dan menerima beasiswa. Dia bersekolah di SMAN 1 Margoyudan, tamat 1952.
Selepas SMA, Srihadi melanjutkan kuliah di Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa Fakultas Teknik UI yang untuk sementara berkedudukan di Fakultet Teknik Bandung (belum jadi ITB). Pada tahun 1959, Srihadi Soedarsono merancang logo untuk ITB yang digunakan hingga saat ini.
Dia tidak memilih kuliah di ASRI Yogyakarta karena sudah mengenal para tenaga pengajarnya saat dulu remaja aktif di sanggar di Yogya dan Solo. Di SIM, Srihadi mengalami Mazhab Yogya malah dari tangan pertama, Sudjojono dan Affandi. Alasan lain, dia ingin belajar hal baru di Bandung. Ketertarikan Srihadi pada pendekatan landscape lebih jelas dideskripsikan antara tahun 1954-1959 ketika beberapa kali berkunjung ke Bali.
Kunjungan yang paling penting adalah pada 1954. Dia tinggal di pantai Sindhu, Sanur, Bali yang saat itu masih sepi, selain ada perahu-perahu, upacara, dan perempuan Bali di pantai. Masa tersebut adalah masa Srihadi memikirkan apa yang dia cari dari seni lukis.
Dari momen-momen kontemplasi di Bali inilah Srihadi memahami arah karya-karyanya. Dan saat mengamati pantai, Srihadi menemukan fenomena alam bahwa antara langit dan laut selalu ada garis penghubung yang lurus, bersih, dan indah. Garis horizon. Semacam titik nol yang siap untuk dikembangkan.
Srihadi Soedarsono pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada 1997 dan terus berkreasi hingga hari ini. Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh oleh Srihadi Soedarsono antara lain Tanda-Jasa “Bintang Gerilya RI” (1958), Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II (1958), Piagam dan Medali “Satyalancana Kebudayaan RI” (2004), Piagam dan Medali “Anugerah Sewaka Winayaroha”, Penghargaan Pengabdian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (2008), serta penghargaan dari internasional yakni The American Biographical Institute 2005 Commemorative Medal “Man of The Year” (2005).
Berita Terkait
Senator Liow pantau kesiapan sapras-armada jelang Natal
Kamis, 19 Desember 2024 6:47 Wib
Gubernur Sulut siapkan Rp10 miliar untuk program makan bergizi gratis
Kamis, 19 Desember 2024 3:36 Wib
Gubernur siapkan lahan 20 Ha bangun sekolah taruna di Langowan
Kamis, 19 Desember 2024 3:34 Wib
Badan Geologi rekam 35 kali gempa embusan Gunung Karangetang di Siau
Selasa, 17 Desember 2024 17:24 Wib
Kepala BKKBN Sulut sebut Natal waktu indah menjadi berkat bagi sesama
Selasa, 17 Desember 2024 9:52 Wib
Dokter Bedah Manado tanam terumbu karang di Pantai Malalayang
Senin, 16 Desember 2024 5:04 Wib