Manado (AntaraSulut) - Tulisan ini berawal dari suatu percakapan penulis dengan seorang teman yang berprofesi juga sebagai jurnalis, kolumnis dan editor, dalam suatu kesempatan diskusi tentang musik, baik menyangkut musik modern, musik tradisional dan bahkan musik klasik. Terlintas pertanyaan yang serius dari perbincangan kami yakni: Apakah musik kolintang cocok untuk dimainkan dalam semua genre musik? Apakah musik kolintang memang musik yang bergaya tradisional setempat (baca: gaya tradisional Minahasa) dari sisi genre atau aliran musiknya itu?
Pertanyaan dasar ini mengantarkan saya pada uraian tentang bagaimana posisi musik kolintang itu berhadapan dengan derasnya perkembangan musik modern: Musik rock, musik jazz, atau musik akustik. Selanjutnya penulis dihentar juga ke pemikiran tentang, sejauh mana perkembangan musik kolintang itu resisten di tengah majunya musik-musik modern tersebut, sehingga seiring dengan itu, penulis juga sampai pada pemikiran bagaimana musik kolintang mampu dikembangkan dengan garapan genre yang lebih modern semisal, jazz, blues, bahkan mungkin kembali ke gaya klasik yang dicirikan oleh formalitas dan originalitas dalam permainannya.
Ketika kita menyimak bagaimana gaya bermain musik kolintang secara sangat tradisional pada awal musik kolintang hidup, tumbuh dan berkembang di tanah leluhur Minahasa, terpentas dengan jelas permainan musiknya sangat terbatas dan menimbulkan kesan yang kuno, tertinggal atau dikenal dengan istilah jadul (jaman dulu). Kita bisa mendengarkan bagaimana permainan musik kolintang itu sangat minim dengan grip, chord, bahkan kurang punya aksentuasi sehingga pesonanya seperti hilang greget-nya.
Permainan musik kolintang yang seperti itu, kurun waktu 5-10 tahun terakhir mulai termakan usia, tertinggal dari permainan yang lebih modern bahkan mulai kelihatan greget-nya. Para pegiat musik terutama praktisi/pelatih mulai menghadirkan nuansa modern dan nuansa yang lain dari pada yang lain. Dalam artian, tidak terpaku pada gaya bermain yang kuno, tertinggal yang dimaksudkan tadi.
Globalisasi dalam Kolintang
Globalisasi di dunia musik yang terus berkembang, tentu menjadi perjuangan yang terus menerus bagi eksistensi musik kolintang. Globalisasi dalam bidang musik membawa suatu model bermusik yang berubah maju. Mari kita bandingkan musik modern jenis Jazz pada awal berkembangnya. Musik Jazz dikenal sebagai sebuah produk budaya yang mengalami transformasi yang kompleks dalam sejarah perkembangannya. Ini berarti bahwa jazz tidak berkembang dalam sebuah ruang hampa, namun terkait erat dengan aspek sosial, maupun budaya di mana dia tumbuh dan berkembang serta menyebar.
Sebagai sebuah musik yang didatangkan dari luar (Barat), jazz pada awalnya merupakan musik yang digunakan sebagai pembeda. Sebuah studi yang pernah dilakukan misalnya, menegaskan bahwa jazz lebih banyak dikonsumsi oleh lapisan masyarakat menengah bahkan lapisan atas di mana hal ini berbeda dengan dangdut yang lebih banyak dinikmati oleh lapisan bawah khususnya di Indonesia. Selain itu, musik jazz diperdebatkan apakah termasuk budaya Barat, ataukah hanyalah bentuk perlawanan kulit hitam di Amerika. Tumbuh dan berkembangnya jazz ini, menunjukkan bahwa proses pemaknaan produk budaya tertentu, terkait erat dengan konteks yang melingkupinya. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan (makna) merupakan hasil dari proses dialektika antara individu dengan masyarakat.
Demikian juga, apabila kita lacak pada negara yang mengklaim sebagai asal musik jazz (Amerika), jazz justru bukan menjadi musiknya para kaum elite, anggapan lazim para pemusik jazz bahwa musik jazz lebih merupakan musik perlawanan dari kaum Afro-Amerika. Yang menarik kemudian, saat dibawa ke belahan dunia yang lain, jazz justru menjadi musik kaum elite, sehingga spirit/makna dari negara asalnya tereduksi.
Berbanding lurus dengan musik jazz, kita melirik musik tradisional kolintang. Musik kolintang sendiri menurut anggapan banyak orang lebih mementaskan musik dengan gaya tradisional, yang berasal dari tradisi budaya Minahasa. Kurun waktu 10 tahun terakhir, musik kolintang justru mulai berkembang secara global dalam arti konsep bermainnya yang perlahan namun pasti, mulai berkembang ke arah yang lebih modern. Dengan ini dimaksudkan bahwa genre jazz, klasik bahkan genre lainnya, bukan lagi niscaya dimainkan dengan musik kolintang, tetapi justru sudah dimainkan dengan berbagai aliran yang modern bahkan kontemporer.
Dari fakta yang berkembang sekarang, tidak bisa dipungkiri bahwa pusaran peradaban yang terus bergulir, menyebabkan kolintang juga berkembang, sehingga para praktisi/pelatih kolintang mulai memberi nuansa atau genre modern semisal jazz dan klasik dalam garapan/gubahan lagunya. Dengan fakta ini justru kolintang mampu menembus batas yang menyebabkan pula kolintang mulai digemari di semua kalangan, terutama kalangan remaja usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bandingkan bagaimana antusiasme lembaga pendidikan khususnya di Lembean, Minahasa Utara, Tomohon dan ibukota Propinsi Sulawesi Utara Manado, yang terus membina dan melatih para siswanya agar bisa ikut serta dalam festival atau perlombaan kolintang baik event level lokal maupun level nasional.
Di sisi lain, perkenalan/sosialisasi konsep bermain musik kolintang yang menggunakan genre modern, diperkenalkan ke tingkat internasional lewat konser Grup Kolintang Kolintang Kawanua Jakarta “Keytuji†(K2J) yang setahun yang lalu mengadakan tour ke Eropa, seperti Paris, Austria, Belanda, dll. Selain itu beberapa pelatih bertalenta juga dengan gencarnya memperkenalkan ke dunia internasional bagaimana kolintang yang dari sisi alatnya tradisional tapi bisa dimainkan dengan genre modern.
Perkembangan terbaru adalah sebuah wadah yang menamakan diri Persatuan Insan Kolintang Nasional Indonesia (PINKAN) yang digawangi oleh Pemerhati Musik Kolintang Ibu Ani Purnomo Yusgiantoro, dan diisi oleh para insan dan praktisi kolintang, semisal Boy Makalew, Berty Rarun, Andre Sumual, Tommy Tamburian, Maurits Tumandung, Joudy Aray, Robby Kaligis, Fatly Rompis, sampai pelatih yang masih usia muda, tetapi penuh inovasi dan kreatifitas dalam garapan musiknya, Stave Tuwaidan, mencoba menggagas konsep genre kolintang yang cukup signifikan dalam perkembangan kolintang ini. Adapun gagasan-gagasan mereka nampak lewat pelaksanaan event bertajuk Festival Kolintang Tingkat Nasional, termasuk juga event rutin Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara (YISBSU) pimpinan DR. Benny J. Mamoto, M. Si. Semuanya kegiatan ini adalah usaha yang tak kenal lelah demi untuk mendaftarkan Kolintang sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Minahasa, ke UNESCO. Selain itu, upaya dari PINKAN adalah terus memperkenalkan demi pelestarian dan perkembangannya.
Kolintang sebagai Perkawinan Global dan Lokal
Fakta bahwa kolintang adalah musik tradisional, tentu tidak bisa dipungkiri. Kolintang memang terlalu tradisional dalam hal permainan musiknya ketika pertama kali tumbuh dan berkembang. Namun dalam perjalannya perkembangnya, musik kolintang sungguh kaya dalam model pengembangnya. Meminjam istilah Prof. Bambang Sugiharto, seorang tokoh filsafat posmodernisme dan guru besar estetika dari Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung, bahwa seni itu (termasuk seni musik khususnya kolintang) bentuknya plural, praktiknya pragmatik, dan medan seninya multikultural. Dalam alam modern, apa yang dikenal dengan musik modern akan berubah. Seni menjadi sesuatu yang lain, seni juga menjadi medan penggalian mana hidup yang bersifat sangat pribadi, cermin kebebasan individu modern, perpaduan unik antara kehalusan rasa, kecangggihan ketrampilan, ketakterdugaan imajinasi dan kecerdasan intelegensia seseorang yang disebut seniman.
Pandangan di atas sesungguh menegaskan bahwa realitas seorang seniman (baca praktisi musik kolintang/arranger musik kolintang) sebetulnya memiliki ketrampilan dan imajinasi serta intelegensia yang tak terduga. Apapun yang ada dalam realitas musik modern bisa digarap dalam musik kolintang. Disana sosok musik kolintang bukan lagi musik tradisional, tetapi justru sebuah karya produk para ‘jenius’ dan hanya bisa diapresiasi oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan khusus.
Kini di era posmoderrnisme, baik musik modern pun juga musik tradisional, musik itu seperti melepaskan diri dari dunia yang sulit dimengerti, dalam arti bahwa ketika kita tidak mampu berpikir bahwa kolintang yang tradisional itu, justru bisa kita garap dengan gaya atau genre modern (jazz, swing, dll.). Thomas Merton dengan tegas mengatakan “art enables us to find ourselves, and lose ourselves at the same time†(seni membuat kita menemukan diri dan kehilangan diri sekaligus). Statement ini mau juga menegaskan bahwa apa yang tak mungkin dipikirkan oleh manusia berkaitan dengan seni, justru akan bisa digarap dalam seni tersebut. Selain itu, ketika musik modern yang katanya sulit untuk dipahami bahkan dimainkan pada alat musik tradisional justru dengan mudah kita mainkan. Dengan itu pula musik modern ‘kehilangan’ dirinya sekaligus.
Dengan demikian, jelaslah bahwa musik kolintang adalah perkawinan apa yang global dan apa yang lokal. Dari sisi alat musik, memang tradisional, tapi dari sisi garapan musik dan cara memainkannya, justru memunculkan nilai-nilai yang global. Dengan kata lain, sisi tradisional tidak serta merta ditinggalkan tetapi justru tetap dipertahankan dan selanjutnya nuansa global tetap dimunculkan dari permainnnya. (Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara Jakarta,Tim Filsafat Unika De La Salle Manado
Praktisi Musik Kolintang