Manado (ANTARA) - Oleh : DR Fanley Pangemanan
Pilkada di tanah Nyiur Melambai tahun 2024 tampaknya menjadi arena kontestasi yang 'angker' bagi beberapa petahana.
Sejak era pemilihan langsung, tidak semua calon kepala daerah petahana yang berhasil terpilih untuk periode kedua. Padahal, calon petahana memiliki banyak keuntungan dibanding calon penantang.
Mereka sudah menjalankan program kerja yang dapat diklaim sebagai hasil kerjanya. Selain itu, petahana juga memiliki jaringan birokrasi serta saluran komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk 'kampanye' sebelum waktunya.
Namun, mengapa calon petahana di beberapa daerah seringkali kandas di pilkada?
Runtuhnya petahana dalam pilkada untuk menduduki kursi kepala daerah untuk periode kedua bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Seringkali kekalahan tersebut akibat dari faktor strategi politik yang kurang tepat serta lemahnya kepemimpinan. Namun, jika ditilik lebih dalam, takluknya petahana di beberapa daerah menjadi bukti bahwa suara rakyat menjadi penentu utama perubahan.
Demokrasi selalu memberikan pemahaman bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam situasi pilkada, ini menyiratkan bahwa rakyat memiliki kebebasan. Rakyat yang menentukan kepada siapa kepemimpinan di daerahnya akan dipercayakan.
Dalam konteks ini, beranajak dari teori kepengikutan (followership) yang dikembangkan menjadi relevan. Konsep ini menekankan bahwa pengikut memainkan peran krusial dalam keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. Dari aspek ini, gaya kepengikutan dapat diklasifikasi berdasarkan dua dimensi, yaitu dari dimensi kemandirian berpikir (independence thinking) dan dari dimensi level partisipasinya (engagement).
Kemandirian berpikir mengacu pada sejauh mana seorang pengikut mampu berpikir kritis dan tidak hanya mengikuti arahan pemimpin secara buta. Pengikut yang kritis cenderung mengevaluasi keputusan pemimpin secara independen, sementara pengikut yang tidak kritis cenderung menerima instruksi tanpa mempertanyakannya.
Dalam dimensi partisipasi, tingkat partisipasi menggambarkan seberapa aktif seorang pengikut dalam mendukung dan terlibat dalam proses yang dipimpin. Pengikut yang aktif terlibat dalam pelaksanaan tugas dan memberikan kontribusi nyata, sedangkan pengikut yang pasif cenderung menunggu arahan dan berperan secara minimal.
Dari dua dimensi ini, kemudian mengklasifikasi kepengikutan menjadi lima golongan, yaitu sheep, yes people, survivors, alienated follower, dan effective follower. Dengan melihat karakter masyarakat Sulawesi Utara yang majemuk, kritis, rasional, dan well-informed, rasanya masyarakat jauh dari golongan pengikut dengan karakter sheep ataupun yes people.
Dalam pandangan saya, pengikut dengan karakter sheep adalah pengikut yang pasif, juga tidak kritis. Mereka tidak memiliki inisiatif dan tanggung jawab. Sedangkan yes people merupakan pengikut yang aktif, namun tidak mampu bersikap kritis terhadap pemimpinnya. Mereka cenderung menyetujui dan mendukung semua keputusan pemimpin tanpa mempertanyakan atau memberikan masukan kritis. Meskipun aktif, mereka tidak memberikan pandangan independen.
Masyarakat nyiur melambai dapat dikatakan sebagai pengikut efektif (effective follower); mereka mampu untuk bersikap aktif dan berpikir kritis, mampu berpikir secara mandiri, dan memberikan kontribusi yang signifikan. Mereka tidak hanya mendukung pemimpin tetapi juga memberikan masukan yang berguna. Mereka mendukung kebijakan yang mereka anggap baik. Di sisi lain, mereka tidak takut menentang kebijakan yang merugikan.
Selain itu, masyarakat daerah kita juga dapat disebut sebagai alienated follower. Tipe pengikut ini adalah pengikut yang memiliki pemikiran yang kritis, namun bersikap pasif. Mereka memiliki pandangan yang kritis terhadap kepemimpinan, tetapi memilih untuk tidak terlibat aktif atau menyuarakan aspirasinya secara terbuka.
Masyarakat Sulut yang sering merasa frustrasi atau kecewa terhadap kebijakan pemimpinnya, tetapi tidak mengambil tindakan untuk mengubah keadaan. Bagi masyarakat dengan tipe silent ini, pilkada menjadi momentum yang dipilih untuk mengubah keadaan. Mereka akan berpaling dari petahana dan mendukung kandidat penantang.
Dalam pandangan selanjutnya, Nantinya setelah terpilih dalam pilkada, sang kepala daerah perlu mendefinisikan kembali siapa pengikutnya. Kini, pengikutnya bukan hanya sebatas tim sukses, yang cenderung memiliki karakteristik sebagai yes man. Tetapi sudah menjadi lebih luas, yaitu masyarakat umumnya. Sebuah entitas masyarakat yang majemuk, juga kritis.
Jika masyarakat merasa aspirasi mereka tidak didengar atau kebijakan kepala daerah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka akan berpaling ke kandidat lain yang lebih sesuai dengan harapan mereka.
Pada era demokrasi yang semakin terbuka ini, tentu kita berharap bahwa demokrasi berjalan bukan hanya pada event pilkada lima tahunan, tetapi terus berjalan dalam sepanjang masa pemerintahan. Kepemimpinan dan kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah akan terus diuji oleh masyarakat.
Dengan demikian, penting bagi seorang pemimpin atau calon pemimpin di Kabupaten Kota dan Provinsi untuk melihat dan menyesuaikan diri terhadap ekspektasi masyarakat. Kekalahan petahana di beberapa daerah menjadi pengingat bahwa dalam demokrasi, kepemimpinan bukan hanya tentang menguasai, tetapi juga tentang melayani dan beradaptasi dengan harapan masyarakat.
***Penulis Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat Manado