Manado, (AntaraSulut) - "Makanan dan globalisasi tidak dapat dipisahkan," tulis Alexander Nutzenadel dan Frank Trentmann dalam Food and Globalization, Consumption, Market and Politics in Modern World (2008: 1). Nutzenadel dan Tetmann menemukan korelasi erat antara makanan dan globalisasi.
Makanan dapat memacu pesatnya globalisasi, sebaliknya globalisasi dapat mengubah persepsi tentang makanan. Misalnya, kebutuhan akan makanan sejak zaman dahulu membuka perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan pelbagai kerajaan. Dewasa ini kebutuhan akan makanan dapat memicu kerja sama dan perdagangan lintas batas antar negara. Sebaliknya, globalisasi dapat mengikis kelestarian pangan lokal.
Kontribusi makanan bagi kemajuan peradaban dunia mendorong seorang antropolog terkenal bernama Claude Levi Strauss dalam The Raw and The Crooked (1970) mencatat: Makanan adalah cara untuk mendeteksi ketidaksadaran masyarakat. Pola produksi, konsumsi, dan distribusi makanan menunjukkan identitas kultural, sosial, dan politik sebuah tatanan masyarakat. Dengan demikian makanan tidak semata-mata berhubungan dengan aspek biologis tetapi memiliki makna simbolik.
Karena penting bagi manusia, maka makanan sering diperbincangkan. Dewasa ini perbincangan tentang makanan kian hangat karena realitas kelaparan akut yang melanda seantero jagat. Globalisasi dan pasar bebas (free trade) menyeret banyak orang dalam kemiskinan dan kekurangan gizi. Mary Robinson dalam publikasi termashyurnya, Ethics, Hunger and Globalization (2007: viii) mencatat: Jumlah orang yang kekurangan gizi di dunia meningkat pada tahun 2007 menjadi 840 juta, yakni 799 juta di negara berkembang, 30 juta di negara transisi dan 10 juta di negara industri. Globalisasi memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin.
Pada hemat saya, pembahasan di atas membentangkan dua pola relasi antara globalisasi dan makanan. Pertama, pola mutualisme (resiprositas). Kebutuhan akan makanan mendorong banyak pihak untuk menjalin kerja sama dan di situ mereka akan saling bertukar budaya.
Sebaliknya globalisasi dapat membuka kesempatan luas untuk saling belajar khazanah makanan lokal kebudayaan lain. Ada relasi saling menguntungkan antara globalisasi dan makanan.
Kedua, pola parasitisme. Globalisasi dapat mengeruk kekayaan nilai makanan-makanan lokal dengan pelbagai kebijakannya. Pasar bebas secara leluasa dapat mengonstruksi nilai sebuah makanan, menguniversalisasikannya, menjadikan makanan tersebut sebagai patokan simbolik dan criterium bagi makanan-makanan lokal lain. Globalisasi dapat mengikis kekayaan nilai yang terkandung dalam pangan lokal.
Krisis Identitas
Dewasa ini globalisasi cenderung dimanfaatkan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Perusahaan-perusahaan itu mempengaruhi perekonomian dunia dan berdiri pada asas manfaat. Dalam konteks perusahaan-perusahaan dalam bidang produksi makanan, sebuah produk makanan akan bermanfaat jika mendatangkan keuntungan besar. Sebab itu perusahaan global berupaya menerapkan strategi marketing (marketing strategy) yang jitu untuk menarik minat para pelanggan.
Prinsip maksimalisasi profit demikian menggunakan pelbagai cara. Namun, satu cara yang biasa digunakan yakni membuat konstruksi nilai untuk mendampingi produksi sebuah makanan. McDonalds, misalnya, dianggap sebagai makanan orang-orang modern. Siapa yang tidak mengkonsumsi McDonalds dianggap terkebelakang dan tertinggal. Globalisasi menguniversalisasi McDonalds (sebelumnya hanya di belahan Amerika) dengan menambahkan nilai-nilai seperti nilai kemajuan, kompetitif, dan percaya diri. Imbasnya, banyak orang mengkonsumsi McDonalds bukan karena rasa suka, tetapi sebagai partisipasi simbolik dari keikutsertaannya dalam kebudayaan global. Selera tidak menjadi penentu (kualifikasi) pembelian sebuah produk makanan.
Produksi nilai di atas mempertegas makna simbolik dari makanan. Produk yang disertai kemasan produksi nilai yang akurat dan menarik akan laris di pasaran. Kualitas produk makanan tidak lagi menjadi jaminan terhadap penerimaan masyarakat. Di sini identitas seorang pribadi dapat ditentukan oleh konsumsi terhadap makanannya.
Nutzenadel dan Tetmann (2008:2) merangkum krisis identitas ini dalam sebuah jargon pendek: “Kamu adalah apa yang kamu makan!â€. Identitas personal dan kelompok dapat ditentukan dari konsumsi terhadap produk yang ditawarkan. Kalau saya makan Pizza atau McDonalds di sebuah restoran mewah, itu menunjukkan identitas saya sebagai orang elite, beruang, berpendidikan, modern, sehat, dan berdasi. Namun, ketika saya mengunyah sepotong kue pisang goreng, ubi kayu, dan jagung pada sebuah warung lontong di pinggir jalan maka saya adalah orang kumuh, orang kecil, miskin, dan kuno. Konsumsi makanan dan nilai itu serentak menunjukkan penilaian yang merendahkan orang lain.
Kebutuhan akan penegasan identitas itu meminggirkan pertimbangan-pertimbangan yang mesti diajukan dalam mengkonsumsi makanan. Strategi marketing dengan modal besar dan apik berupaya mencitrakan sebuah produk makanan modern sebagai makanan yang bersih, sehat, dan sebab itu layak dikonsumsi. Alhasil, pangan lokal dari masyarakat kecil tanpa promosi, kebijakan yang tidak memihak, dan stigmatisasi tampaknya menjadikan pangan lokal kalah bersaing dengan produk makanan internasional.
Berpikir Global, Bertindak Lokal
Jargon di atas kiranya tepat untuk menggambarkan apa yang mesti dibuat demi kelestarian pangan lokal. Misalnya, saya berpikir global; berpikir tentang keterbukaan, kerja sama, dan tidak menutupi diri. Namun, saya ungkapkan cara berpikir global saya itu dengan mengkonsumsi pangan lokal. Misalnya, mengkonsumsi tinutuan, cucur, nasi jaha dan apang.
Saya yakin bahwa mengonsumsi pangan lokal juga dapat menunjukkan siapa identitas saya yang jujur dan berbangga dengan kearifan lokal itu. Walaupun di kota besar seperti Jakarta, makanan Minahasa tetap menjadi idola orang Kawanua dalam berbagai acara bertajuk Kawanua. Di sini terjadi semacam “lokalisasi†cara berpikir yakni menyematkan nilai-nilai positif dari produk makanan global pada pangan lokal.
Pada hemat saya, kesadaran seperti di atas (dalam negara Indonesia) dapat dicapai dengan beberapa cara: Pertama, membungkam stigmatisasi terhadap pangan lokal. Stigmatisasi menimbulkan asumsi sesat bahwa pangan lokal tidak punya nilainya sendiri. Masyarakat mesti sadar bahwa mengonsumsi pangan lokal bukan pertanda kebodohan, kekunoan, dan keterbelakangan. Kembali ke pangan lokal berarti produksi serentak konsumsi terhadap keutamaan-keutamaan luhur yang bestari dalam masyarakat. Pangan lokal memiliki nilai-nilai etis-moral demi perjuangan menuju kebahagiaan bersama.
Kedua, pemerintah sebagai stakeholders (pengambilkebijakan) perlu menjauhkan intervensi pasar bebas yang menindas. Negara Indonesia sebagai negara megabiodiversity (keanekaragaman hayati sangat tinggi) membutuhkan kedaulatan petani (masyarakat). Negara berperan menghidupkan dan mengembangkan pangan lokal yakni dengan mempromosikan produk-produk makanan itu, mengamankan sistem distribusi, serta menjaga intervensi represif pasar bebas.
Ketiga, bersama dengan perkembangan dunia yang semakin maju pesat itu, kita tetap berusaha kembali kepada keutamaan yang ditradisikan dari nenek moyang dalam hal penghargaan kepada alam dan hasil bumi.
Dengan ini, mentalitas kita yang sedikit banyak sering dipandang sebagai konsumeristis, gengsi tinggi dan menang nampang doank (yang dilekatkan kepada setiap orang Manado ketika mereka kenal bahwa penulis berasal dari Manado), bisa mengubah cara berpikir, cara merasa dan bertindak yang benar. Dengan kata lain mentalitas kita yang sering diasosiasikan negatif oleh orang lain bisa secara perlahan namun pasti, kembali kepada keutamaan tradisi Minahasa yang sangat mengagung-agungkan Si Tou Timou Tumou Tou dalam pelbagai aspek hidup.
Marilah kita membebaskan diri dari keterikatan pada kepentingan egois yang sempit atau juga membebaskan diri dari keterikatan pada globalisasi yang salah arah yang dengan mudah berpuas hati, dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak meninggalkan nilai tradisi dengan setia, agar kita menjadi manusia yang bebas dan berkepribadian Tou Minahasa. ( Penulis, Mahasiswa Pasca Sarjana STF Driyarkara Jakarta).