Pengendalian perubahan iklim membutuhkan tambahan Rp200-an triliun per tahun
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Indra Darmawan mengatakan Indonesia membutuhkan tambahan pendanaan sekitar Rp200-an triliun per tahun untuk bisa memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) dalam upaya pengendalian perubahan iklim.
Indonesia berkomitmen untuk bisa mencapai net zero emission (netral karbon) pada tahun 2060 atau lebih awal.
"Tapi ini perlu pendanaan. Komitmen atau target yang tinggi tersebut ternyata memang memerlukan financing yang sangat besar. Tidak kurang dari Rp340 triliun per tahun selama 10 tahun ke depan. Itu yang kita butuhkan untuk capai NDC. Sementara kita baru bisa upayakan 29-30 persennya," kata Indra dalam webinar "Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia" yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebutuhan ideal anggaran pengendalian iklim (berdasarkan NDC Indonesia) pada 2020-2030 yaitu sebesar Rp343,6 triliun per tahun.
Sementara rata-rata anggaran perubahan iklim pada APBN baru sekitar Rp102,56 triliun per tahun atau 29,9 persen dari kebutuhan anggaran ideal.
Baca juga: Indonesia-Saudi bahas rencana kerja sama di bidang perubahan iklim
"Ada gap-nya Rp200-an triliun per tahun financing yang kita perlukan untuk bisa memenuhi target-target yang kita setting (dalam NDC) itu tadi," katanya.
Indra mengatakan investasi adalah salah satu strategi yang diandalkan untuk bisa meraih pendanaan tersebut.
Sayangnya, Kementerian Investasi/BKPM tidak mengukur lebih rinci investasi hijau yang masuk dan ditanamkan di Tanah Air.
"Aspek hijau tidak terkategorikan per proyek tapi kita bisa tangkap di perizinan. Kalau pelaku usaha atau bisnis usaha mencemari lingkungan, sudah pasti dicabut izinnya," katanya.
Data lain yang bisa dilihat untuk melihat investasi hijau adalah dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan PT PLN (Persero).
"Sampai 2030 nanti, tidak kurang dari setengahnya akan dibuat pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Sekitar 40,6 GW itu akan berasal dari sumber yang hijau," katanya.
Oleh karena itu, untuk bisa menarik investasi berkelanjutan, Kementerian Investasi/BKPM telah meluncurkan 47 proyek investasi berkelanjutan yang telah dilengkapi dengan prastudi kelayakan (pra feasibility study/pra FS).
"Jadi ada 47 proyek dihitung sampai level pra FS, itu sudah ada warna SDGs-nya. Satu proyek akan menuju ke tujuan SDG nomor berapa. Ini akan kita teruskan ke depan agar proyek-proyek investasi harus selalu ramah lingkungan," katanya.
Indra menuturkan, upaya mewujudkan target NDC tidaklah mudah. Pasalnya, komitmen itu merupakan janji di masa yang panjang di masa depan.
Selain memerlukan pendanaan yang besar, biaya tersebut pun akan jadi biaya yang harus dikeluarkan di muka. Sementara manfaatnya baru akan dirasakan jauh di masa depan.
"Jadi ongkosnya langsung terasa tapi manfaatnya belum kelihatan," kata Indra.
Baca juga: Petani dan nelayan kelompok paling terdampak perubahan iklim dunia
Indonesia berkomitmen untuk bisa mencapai net zero emission (netral karbon) pada tahun 2060 atau lebih awal.
"Tapi ini perlu pendanaan. Komitmen atau target yang tinggi tersebut ternyata memang memerlukan financing yang sangat besar. Tidak kurang dari Rp340 triliun per tahun selama 10 tahun ke depan. Itu yang kita butuhkan untuk capai NDC. Sementara kita baru bisa upayakan 29-30 persennya," kata Indra dalam webinar "Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia" yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebutuhan ideal anggaran pengendalian iklim (berdasarkan NDC Indonesia) pada 2020-2030 yaitu sebesar Rp343,6 triliun per tahun.
Sementara rata-rata anggaran perubahan iklim pada APBN baru sekitar Rp102,56 triliun per tahun atau 29,9 persen dari kebutuhan anggaran ideal.
Baca juga: Indonesia-Saudi bahas rencana kerja sama di bidang perubahan iklim
"Ada gap-nya Rp200-an triliun per tahun financing yang kita perlukan untuk bisa memenuhi target-target yang kita setting (dalam NDC) itu tadi," katanya.
Indra mengatakan investasi adalah salah satu strategi yang diandalkan untuk bisa meraih pendanaan tersebut.
Sayangnya, Kementerian Investasi/BKPM tidak mengukur lebih rinci investasi hijau yang masuk dan ditanamkan di Tanah Air.
"Aspek hijau tidak terkategorikan per proyek tapi kita bisa tangkap di perizinan. Kalau pelaku usaha atau bisnis usaha mencemari lingkungan, sudah pasti dicabut izinnya," katanya.
Data lain yang bisa dilihat untuk melihat investasi hijau adalah dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan PT PLN (Persero).
"Sampai 2030 nanti, tidak kurang dari setengahnya akan dibuat pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Sekitar 40,6 GW itu akan berasal dari sumber yang hijau," katanya.
Oleh karena itu, untuk bisa menarik investasi berkelanjutan, Kementerian Investasi/BKPM telah meluncurkan 47 proyek investasi berkelanjutan yang telah dilengkapi dengan prastudi kelayakan (pra feasibility study/pra FS).
"Jadi ada 47 proyek dihitung sampai level pra FS, itu sudah ada warna SDGs-nya. Satu proyek akan menuju ke tujuan SDG nomor berapa. Ini akan kita teruskan ke depan agar proyek-proyek investasi harus selalu ramah lingkungan," katanya.
Indra menuturkan, upaya mewujudkan target NDC tidaklah mudah. Pasalnya, komitmen itu merupakan janji di masa yang panjang di masa depan.
Selain memerlukan pendanaan yang besar, biaya tersebut pun akan jadi biaya yang harus dikeluarkan di muka. Sementara manfaatnya baru akan dirasakan jauh di masa depan.
"Jadi ongkosnya langsung terasa tapi manfaatnya belum kelihatan," kata Indra.
Baca juga: Petani dan nelayan kelompok paling terdampak perubahan iklim dunia