Wamenkumham: Sulit untuk kategori "AI" sebagai subjek hukum
Manado (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa sulit untuk memasukkan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) ke dalam kategori sebagai subjek hukum.
"(AI, red.) tidak bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang punya kecakapan hukum, manusia yang punya kewenangan, dan manusia yang mengemban hak dan kewajiban," kata Eddy, sapaan akrab Edward, dalam seminar bertajuk "Kecerdasan Artifisial dan Tantangannya terhadap Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia" yang disiarkan di aplikasi Zoom Meeting, Kamis.
Eddy menekankan bahwa subjek hukum yang selama ini dikenal oleh masyarakat adalah orang perseorangan dan badan hukum. Kedua subjek hukum tersebut dapat memberikan pertanggungjawaban, memiliki kewenangan, dan memiliki status yang diberikan oleh hukum.
Akan tetapi, kata Eddy melanjutkan, ketika berbicara mengenai "AI" sebagai subjek hukum, maka masyarakat perlu melakukan penelitian lebih mendalam.
"Karena kita tahu persis bahwa ketika orang (yang merupakan subjek hukum, red.) diminta pertanggungjawaban hukum, maka dia memiliki hak dan kewajiban," ucap dia.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Eddy terkait "AI" sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada ini mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menuntut pihak yang berwenang untuk mendefinisikan kembali ruang lingkup perlindungan hak cipta dan hak terkait, serta mengevaluasi kembali pembatasan dan pengecualian hak cipta.
Di beberapa negara Eropa termasuk Inggris, kata dia, pemerintah memberikan hak cipta kepada orang yang memungkinkan untuk mengoperasikan AI. Kebijakan tersebut, menurut Eddy, merupakan pendekatan yang paling masuk akal dan terlihat paling efisien.
Oleh karena itu, Eddy kembali menekankan bahwa, sebetulnya, AI tidak diletakkan sebagai suatu subjek hukum karena apa yang dihasilkan oleh AI merupakan masukan dari programmer, dan programmer adalah manusia, bukan benda mati. "Jadi, sulit untuk memasukkan AI sebagai subjek hukum," tutur Eddy.
"(AI, red.) tidak bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang punya kecakapan hukum, manusia yang punya kewenangan, dan manusia yang mengemban hak dan kewajiban," kata Eddy, sapaan akrab Edward, dalam seminar bertajuk "Kecerdasan Artifisial dan Tantangannya terhadap Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia" yang disiarkan di aplikasi Zoom Meeting, Kamis.
Eddy menekankan bahwa subjek hukum yang selama ini dikenal oleh masyarakat adalah orang perseorangan dan badan hukum. Kedua subjek hukum tersebut dapat memberikan pertanggungjawaban, memiliki kewenangan, dan memiliki status yang diberikan oleh hukum.
Akan tetapi, kata Eddy melanjutkan, ketika berbicara mengenai "AI" sebagai subjek hukum, maka masyarakat perlu melakukan penelitian lebih mendalam.
"Karena kita tahu persis bahwa ketika orang (yang merupakan subjek hukum, red.) diminta pertanggungjawaban hukum, maka dia memiliki hak dan kewajiban," ucap dia.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Eddy terkait "AI" sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada ini mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menuntut pihak yang berwenang untuk mendefinisikan kembali ruang lingkup perlindungan hak cipta dan hak terkait, serta mengevaluasi kembali pembatasan dan pengecualian hak cipta.
Di beberapa negara Eropa termasuk Inggris, kata dia, pemerintah memberikan hak cipta kepada orang yang memungkinkan untuk mengoperasikan AI. Kebijakan tersebut, menurut Eddy, merupakan pendekatan yang paling masuk akal dan terlihat paling efisien.
Oleh karena itu, Eddy kembali menekankan bahwa, sebetulnya, AI tidak diletakkan sebagai suatu subjek hukum karena apa yang dihasilkan oleh AI merupakan masukan dari programmer, dan programmer adalah manusia, bukan benda mati. "Jadi, sulit untuk memasukkan AI sebagai subjek hukum," tutur Eddy.