Jakarta (ANTARA) - Wacana penyusunan formasi kabinet ramai diperbincangkan oleh sejumlah elite politik setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019.
Penetapan tersebut setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait dengan sengketa perselisihan hasil pemilu presiden. Putusan MK ini sekaligus memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.
Terkait dengan jajaran kabinet nanti, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung bahwa Kabinet Kerja Jilid II bisa saja diisi oleh anak muda di bawah 30 tahun. Dengan keterlibatan kaum milenial, dia berharap dapat menyesuaikan kebijakan pemerintah dengan perubahan global.
“Dunia makin dinamis, membutuhkan warna anak-anak muda yang dinamis, energik, menyesuaikan perubahan zaman dengan cepat. Kira-kira itu bayangannya. Bisa saja nanti ada menteri berusia 20 tahun, 25 tahun, bisa saja,” kata Jokowi saat wawancara khusus dengan ANTARA di Istana Merdeka, Rabu (12/6).
Figur anak muda patut dipertimbangkan masuk dalam jajaran kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019 s.d. 2024. Terlebih di periode keduanya, Presiden memiliki fokus dalam peningkatan sumber daya manusia.
Maka, merupakan hal lumrah apabila Kepala Negara itu merasa membutuhkan anak-anak muda yang dinamis serta dapat menyesuaikan dengan pergerakan dunia yang cepat untuk membantu mengeksekusi program-program pemerintah.
“Butuh menteri dengan kemampuan menyesuaikan, dinamis, energik, fleksibel, cepat menyesuaikan, tidak rutinitas. Paling tidak senang saya dengan rutinitas. Kita akan ditinggal kalau seperti itu,” kata Jokowi.
Kriteria menteri yang saat ini dibutuhkan, antara lain, mampu mengeksekusi program, memiliki kemampuan manajerial yang kuat, dan seorang profesional baik dari partai politik maupun nonparpol.
Pada periode sebelumnya, pembagian jatah menteri di kabinet memiliki porsi 60 persen dari partai politik dan 40 persen dari nonparpol. Komposisi tersebut meliputi 15 menteri dari partai koalisi dan 19 menteri dari nonparpol.
Dalam Pemilu 2019, partai koalisi Jokowi yang lolos ambang batas bawah parlemen 4 persen ada PDIP sebesar 19,33 persen, Golkar 12,31 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9,69 persen, NasDem 9,05 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,52 persen.
Dengan jumlah empat partai pendukung koalisi ditambah satu partai pengusung, bagi-bagi posisi menteri diperkirakan akan cukup sengit. Terlebih beberapa partai sudah menyodorkan beberapa nama kadernya untuk masuk dalam jajaran kabinet.
Namun, hingga saat ini, pembicaraan konkret soal kursi kabinet antara Jokowi dan partai koalisi masih belum dilakukan mengigat padatnya agenda Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan bahwa partainya belum diajak bicara oleh presiden untuk menentukan kursi menteri di kabinet pemerintahan.
Terkait dengan keterlibatan anak muda dalam kabinet, Arsul menyambut positif rencana tersebut sepanjang calon menteri yang dipilih mempunyai kompetensi serta visi dan misi yang jelas. Namun, partai yang baru bergabung dengan koalisi Jokowi saat pengumuman hasil Pilpres 2014 ini berharap akan mendapat lebih dari satu jatah kursi di periode kedua ini.
Sementara itu, NasDem yang suaranya meningkat pesat pada Pemilu 2019 tidak banyak berbicara ataupun menuntut jatah partainya untuk mengisi posisi menteri. NasDem yang saat ini menduduki dua kursi menteri, yakni Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Jaksa Agung M. Prasetyo menyatakan akan menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden yang memiliki hak prerogatif.
Namun, apabila partainya diminta untuk menjadi menteri, Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari menyatakan siap untuk memberikan kader terbaiknya sesuai dengan kebutuhan presiden dan wakil presiden.
Golkar pun terlihat santai dan tidak terlalu terburu-buru meminta soal jatah menteri ini. Politikus Golkar Meutya Hafid menyatakan partainya menyerahkan keputusan kursi kabinet kepada Ketua Umum Airlangga Hertarto untuk berbicara dengan presiden.
Terkait dengan wacana anak muda yang masuk dalam jajaran kabinet, Meutya mendukung rencana tersebut. Apalagi, pada era sekarang saat ekonomi digital harus mulai dipersiapkan, anak muda dinilainya layak untuk turut mendapatkan tempat karena kemampuannya yang lebih cepat beradaptasi dengan perubahan.
Peran pemuda sebagai agen perubahan sudah ada jauh sebelum bangsa ini terbentuk. Para pemuda menorehkan berbagai macam kebaruan, seperti berdirinya organisasi kepemudaan pada zaman penjajahan, tercetusnya Sumpah Pemuda 1928, bahkan kemerdekaan Indonesia pun tidak lepas dari peran mereka.
Kiprah pemuda
Perjuangan pemuda yang sudah muncul sebelum kemerdekaan telah menasbihkan pemuda sebagai simbol generasi yang revolusioner.
Pemilu 2019 menjadi momentum untuk pemuda Indonesia kembali menunjukkan kiprahnya. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, sejak awal kemunculannya telah mencitrakan partainya sebagai partai anak-anak muda. Meskipun kalah dalam Pemilu 2019, setidaknya kehadirannya telah menunjukkan suatu persepsi bahwa anak muda juga peduli dengan bangsa ini.
Begitu pula, dalam beberapa dekade terakhir di sejumlah negara. Pemuda-pemuda mulai mendapatkan peran dan posisi penting di pemerintahan.
Sebut saja Syed Saddiq. Pada usianya 25 tahun dilantik menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia pada tahun 2018.
Terpaut 3 tahun dari Shaddiq, Menteri Urusan Kepemudaan Uni Emirat Arab Shamma Al Mazrui dilantik pada usianya 22 tahun.
Yang paling fenomenal adalah terpilihnya perempuan muda berumur 29 tahun menjadi anggota Kongres Amerika Serikat Alexandria Ocasio-Cortez (AOC). Perempuan termuda dalam kongres itu dikenal vokal membahas isu-isu internasional.
Perkembangan tersebut yang juga sepertinya ingin direspons oleh Jokowi. Jokowi sebagai pemimpin yang dari awal sudah mencitrakan dirinya sebagai orang yang dekat dengan rakyat pun mulai merepresentasikan dirinya sebagai pemimpin ‘muda’ yang mencari anak muda berkualifikasi.
Kualifikasi
Tak terkecuali di Indonesia yang juga memiliki pemuda dengan potensi-potensi terbaiknya. Namun, kata ‘muda’ untuk menjabat posisi menteri itu sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan elite partai politik. Apalagi, Presiden menyebutkan anak muda yang dicarinya adalah mereka yang usianya 20 s.d. 30 tahun.
Sementara itu, Peneliti PolGov Research Centre Universitas Gadjah Mada Ignasius Jaques Juru berpendapat bahwa faktor usia bukan menjadi tolak ukur dalam menilai kemampuan seseorang layak menjabat sebagai menteri dalam jajaran kabinet pemerintahan. Namun, dia menyebutkan setidaknya ada tiga kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang menteri muda.
Pertama yang perlu ada di setiap anak muda yang menjabat sebagai menteri yang terpilih adalah memiliki ciri agensi. Ciri agensi itu adalah ketika anak muda dapat mewakili visi tertentu dan juga memiliki pemahaman yang baik dalam bernegara.
Menurut Ignasius, ciri agensi juga harus menjadi simpul generasi. Menjadi penting karena memungkinkan proses regenerasi kepemimpinan. Artinya, ketika anak muda yang cerdas dan potensial itu masuk dalam kabinet, mereka harus dilihat sebagai agensi yang dapat menentukan pemimpin masa depan.
Selain ciri agensi, anak muda yang menjadi menteri itu harus memiliki kapasitas politik dan profesionalitas. Kapasitas politik dibutuhkan sebagai kemampuan menerjemahkan kepentingan politik, sedangkan profesionalitas artinya mereka harus mampu merumuskan kebijakan berdasarkan keahlian dan kemampuannya.
Terakhir, lanjutnya adalah mereka harus memiliki wawasan tentang geopolitik dan perkembangan politik dunia karena tugas kementerian tidak akan jauh dari hal-hal yang berurusan dengan dunia global.
Milenial menyambut baik
Wacana menteri muda itu disambut baik oleh kaum muda sendiri. Mereka menilai menteri muda dalam kabinet akan merepresentasikan keinginan anak muda.
Salah satunya adalah seorang vlogger, Cania (24) berpendapat menteri muda layak ditempatkan di beberapa pos kementerian seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Ada pos menteri yang harus diisi oleh anak muda karena namanya seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga. Agak ironi aja kalau diisi oleh bukan anak muda,” katanya.
Selain Kemenpora, ia berharap Kominfo juga bisa diisi oleh anak muda mengingat akhir-akhir banyak pembatasan internet yang menurutnya dinilai terlalu berlebihan. Yang muda menurutnya akan mampu mengatasi hal-hal seperti itu.
Senada dengan Cania, seorang content creator Abel (23) mengharapakan menteri muda itu dapat menjadi langkah pembaharuan bagi kemajuan Indonesia.
“Diharapkan bisa menyampaikan aspirasi kita sebagai milenial karena kita punya visi tapi nggak bisa cara menyampaikannya,” kata Abel.
Namun apabila wacana menteri muda itu hanya dikualifikasikan berdasarkan usia saja, mereka tidak setuju. Menurutnya yang perlu dilihat paling utama adalah kualitas dan pengalaman professional dari setiap individu.
Di era yang serba cepat ini, keberadaan figur muda dalam jajaran kabinet menteri bagaimanapun akan diperlukan. Keterlibatannya tidak hanya akan menjawab tantangan zaman, tetapi juga menjadi sinyal bagi masyarakat bahwa Presiden Indonesia Jokowi menaruh perhatian terhadap kaderisasi pemimpin bangsa di masa yang akan datang.