Tulude Warisan Adat Religi Jadi Pesona Unggulan Kota Bitung
Pesona Budaya "Gelar Adat Tulude" sebagai salah satu pesona dari Panca Pesona unggulan di Bitung telah dijadikan even tahunan setiap tanggal 31 Januari oleh Pemerintah Kota Bitung, semua elemen masyarakat Bitung dari berbagai suku, agama dan ras mera
Bitung, 31/1 (Antaranews Sulut) - Pagelaran adat 'Tulude' setiap awal tahun baru,selalu menjadi perhatian masyarakat Sulawesi Utara, karena upacara adat religi itu akan menjadi pagelaran ucapan syukur di awal tahun yang baru dan menutup lembaran tahun yang lama.
Upacara adat "Tulude" merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara,yang telah diwariskan berabad-abad oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud.
Sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh generasi manapun sehingga tradisi ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi dan budaya masyarakat Nusa Utara.
Pesona Budaya "Gelar Adat Tulude" sebagai salah satu pesona dari Panca Pesona unggulan di Bitung telah dijadikan even tahunan setiap tanggal 31 Januari oleh Pemerintah Kota Bitung, semua elemen masyarakat Bitung dari berbagai suku, agama dan ras merayakannya setiap tahun.
Karena itu, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey yang senada dengan Wali Kota Bitung Maxmiliaan Jonas Lomban mengatakan Tulude,sebagai warisan adat religi perlu dilesatirikan.
Apalagi, tradisi budaya dari Nusa Utara itu, sudah diterima dimata masyarakat Sulawesi Utara dan dewasa ini sudah menjadi milik masyarakat Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya.
Menurut Lomban, Pesta Adat Tulude mampu menarik wisatawan datang ke Kota Bitung, dan seluruh warga Kota Bitung harus menerima para wisatawan yang berkunjung ke Kota Bitung.
Melalui warisan budaya inilah, ungkap Loban yang menjadi bingkai kita untuk melihat apakah wisatawan yang datang dengan maksud baik atau dengan maksud tidak baik.
Bersama wakil wali Kota Bitung Ir Maurits Mantiri, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bitung Dra Khouni Lomban Rawung, Wakil Ketua Ritha Mantiri Tangkudung, Lomban mengatakan, belalui pesta adat Tulude maka banyak doa dipanjatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyrakat Kota Bitung.
Pagelaran adat Tulude, menurut Wali Kota Bitung Lomban, yang sudah dianugrahi gelar "Bataha Darame Nusa" (pemimpin yang mempersatukan) pelatihan bagi generasi muda guna menjadi penerus dalam melestarikan budaya dari nusa utara tersebut.
Ritual penyelenggaraan Tulude, adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkatNya kepada umat manusia selama setahun yang lalu dan meminta berkat untuk kehidupan tahun yang berjalan.
Pagelaran adat Tulude pada beberapa abad yang lalu dilaksanakan setiap tanggal 31 Desember, namun perkembangan dewasa ini pelaksanaan waktu boleh bergeser tetapi makna utama dari gelar adat religi tidak bergeser.
"Perlu komitmen bersama untuk terus mewariskan tradisi seperti ini kepada generasi muda dan harus disertai rumusan-rumusan yang jelas dan autentik tentang asal usul upacara tersebut," kata Lomban di depan ribuan warga Bitung yang menghadiri puncak pergelaran adat Tulude.
Tradisi dan budaya masih terasa kental menyelimuti kehidupan masyarakat suku Sangir sebagai pewaris tradisi Tulude disaat modernisasi dan globalisasi terus menggempur kebudayaan nasional.
Lomban memberikan apresiasi kepada etnis Sangir karena terus mempertahankan nilai-nilai luhur dari nenek moyang dan masih terjaga sesuai kata ‘tulude atau menulude’ berasal dari kata ‘suhude’ dalam bahasa sangir berarti tolak.
"Dalam arti luas Tulude berarti menolak untuk tidak terus bergantung pada masa lalu dan bersiap menyongsong tahun depan,"ungkap Lomban.
Tulude diadakan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah yang telah diberikan Tuhan selama setahun yang lalu. Tulude tidak hanya digelar di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun juga di Kabupaten lain di Sulut dimana Suku Sangir berada seperti di Bitung, Manado, Kotamobagu Gorontalo dan daerah lainnya.
Kue Tamo Menjadi Lambang
Dalam pagelaran adat Tulude, tidak terlepas dengan lambang Kue Tamo yang seyogianya diiringi Tarian Gunde,dan merupakan puncak acara Tulude adalah pemotongan kue 'Tamo".
Budayawan Sangir, Alffian Walukow memaparkan bahwa bagian terpenting dalam pembuatan Kue Tamo adalah ritual “memoto tamo†dan yang ditugaskan untuk memotong tamo harus menyampaikan sasalamate yang dinamakan sasalamate tamo.
Menurutnya, Kue Tamo berbentuk kerucut terbuat dari beras, umbi-umbian, gula serta minyak kelapa dan pada ujung Kue Tamo ditancapkan telur yang melambangkan kehidupan baru. Budayawan Sangir mengatakan, isi dari sasalamate tamo adalah berkisah tentang tamo itu sendiri dan pesan atau nasehat tentang kebaikan kepada banyak orang.
Ketika agama Kristen masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan muatan-muatan ritual agama samawi berupa penginjilan. Tulude menurut Lomban, adalah warisan budaya yang penuh makna dan sarat nilai-nilai keimanan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa.
"Upacara adat Tulude merupakan warisan leluhur yang sangat menarik, khas dan unik yang tidak akan ditemukan di tempat lain di luar Sulut," demikian Lomban.
Adanya Upacara Tulude ini membuka mata kita bahwa Indonesia begitu kaya akan budaya. Di sudut negeri ini, kearifan lokal masih terus tumbuh dan lestari.
Hadir dalam kesempatan itu Kadispora provinsi Sulut mewakili Gubernur Sulut Olly Dondolambey, Ketua Iksat Sulut Mohtar Parpaga dan pejabat lainnya di Kota Bitung.