Oleh : Marlita Korua
Manado, (AntaraSulut) - Program Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang didalamnya ada kedaulatan energi berbasis kepentingan nasional dalam butir ke tujuh, menjadi tolok ukur Kementrian Energi Sumber Daya Mineral termasik PT Pertamina dalam mewujudkannya. Pada butir ketujuh itu, Pemerintahan menitikberatkan pada upaya mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Sejak puluhan tahun, masalah energi sebagai sektor strategis terus membelit bagi Departemen Pertambangan dan Energy sebelum menjadi Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) atau termasuk Pertamina yang menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara dan harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan akan energi di Indonesia
Ada banyak persoalan mendasar yang harus
dihadapai oleh PT Pertamina,, ketika masyarakat kesulitan mendapatkan energi
seperti bahan bakar minyak, kebutuhan gas pada gilirannya, umpatan, kekesalan
pasti berujung ke Pertamina, walaupun pada dasarnya dikendalikan oleh
Pemerintah.
PT Pertamina memiliki tanggung jawab moral
yang luar biasa, dalam mengelola kebutuhan strategis antara kepentingan rakyat dan kepentingan bisnis, yang menjadi
dilema bagi Pertamina dalam menyukseskan program pemerintah.
Diperhadapkan pada dua sisi mata uang yang
saling menempel antara kepentingan masyarakat yang tercantum dalam UUD 45 pasal
33, dan harus memberikan pendapatan yang berkelanjutan menopang pembangunan,
maka PT Pertamina harus mampu menyukseskan dua sisi kepentingan tersebut.
Reformasi Pertamina di era kepemimpinan
Presdien Jokowi dengan program Nawa Cita tentunya memiliki konsep mendasar
dalam menuntun pemanfaatan sumber daya energy benar-benar untuk kepentingan
masyarakat Indonesia.
Kepedulian dan keberpihakan pemerintah
tentunya dengan mengedepankan kedaulatan energy yang berbasis kepentingan
nasional, maka negara harus hadir dan PT Pertamina harus menopang keberhasilan
untuk mencapai kemandirian dalam membangun bangsa di bidang energy.
Dilema memberikan BBM Premium bersubsidi
dan elpiji tiga kg bersubsidi, menjadi beban yang harus dipikir secara matang,
agar masyarakat Indonesia, secara perlahan mau meninggalkan ketergantungan pada
subsidi, dan pada gilirannya, terjadi multiplayer effect seperti yang
diharapkan.
Kehadiran Pertamina yang merealisasikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Minyak untuk Umum (SPBU) dalam roadmap satu harga pemerintah menargetkan
pengoperasian 150 lembaga penyalur sampai tahun 2019. Rinciannya, 54 titik
tahun 2017, 50 titik tahun 2018 dan 46 titik pada tahun 2018. Dengan estimasi
penyaluran BBM di daerah target BBM satu
harga mencapai 215 tibu KL tahun 2017 dan menjadi 580 KL tahun 2018.
Dalam mendukung program pemerintah
tersebut, tentunya memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi masyrakat
terluar Indonesia yang berada di kepulauan dan nasyarakat yang bermukim di
daerah tertinggal, yang biasanya mereka membeli dengan harga Rp15.000 sampai
Rp25.000 per liter.
Pembuktikan kehadiran PT Pertamina yang
berkeadilan dalam pemerataan distribusi BBM ke seluruh masyarakat Indonesia,
yang selama 72 tahun Indonesia merdeka dan pertama dilaksanakan, mendapatkan apresiasi yang luar biasa bagi
masyarakat yang berada di pulau-pulau terluar Indonesia, terdepan dan
tertinggal.
“Akhirnya so deng puluh taong, torang boleh
beli bensin sama deng harga di Manado,†ungkap seorang warga Talaud Fidel
Malumbot di pulau Karakelang, Kecamatan Melonguna, Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara,
salah satu SPBU satu harga yang hadir di
daerah perbatasan Indonesia-Filipina. (Artinya, akhirnya sudah dengan puluhan
tahun bapak itu dapat membeli harga premium sama dengan di kota Manado).
Program BBM Satu harga merupakan bagian
dari kontribusi Pertamian yang mendapatkan mandate dari pemerintah dalam
mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, ternasuk juga di Papua,
wilayah paling timur Indonesia dengan harga Minyak Tanah Rp2.500, Minyak Solar
Rp5.150 dan Premium Rp6.450. Sebelumnya warga papua harus mengeluarkan koceknya
antara Rp50.000 hingga Rp200.000.
Kendati untuk mewujudkan pemerataan
distribusi dengan satu harga, pengiriman BBM via udara, laut dan darat sebagai moda khusus yang didedikasi untuk
menjaga ketahanan suplai agar harga terjangkau di daerah pegunungan dan
pedalaman Papua.
Antisipasi yang luar biasa itu, menjadikan Pertamina sebagai BUMN yang melaksanakan pengabdiannya untuk pemerataan kebutuhan energi bagi masyarakat di seluruh Indonesia yang berdampak positif bagi ketahanan ekonomi masyarakat, merekat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia serta meningkatkan ekonomi masyarakat di seluruh Indonesia.
Salut buat Pertamina yang berkomitmen dengan program yang dicanangkan
oleh Pemerintah, dengan ungkapan “at any costâ€, pasti kita sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintah akan menanggung biayanya.
Timbul pertanyaan, apakah PT Pertamina merugi untuk program nasional
itu? Walaupun PT Pertamina kehilangan tambahan pendapatan perusahaan Rp.
Triluan, namun perusahaan negara ini mengklaim kinerja perusahaan tak
terganggu, karena menjalani penugasan pemerintah untuk tidak menaikkan harga
solar dan premium dalam penyaluran BBM satu harga di seluruh Indonesia.
Apresiasi yang luar biasa harus diberikan kepada PT Pertamina, karena mendukung program yang memberikan pemerataan distribusi BBM
bagi seluruh rakayat Indonesia dengan satu harga.
Pernyataan Presiden Jokowi dalam pembangunannya tidak Jawa Sentris
membuktikan, negara dan bangsa ini milik warga negara Indonesia dari ujung
Utara Pulau Miangas Sulawesi Utara, sampai ujung Selatan pulau Rote dan dari
barat Sabang dan paling timur Merauke. Semua warga negara memperoleh hak dan
kewajiban bersama mendukung dan mempertahankan Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Pembangunan berkesinambungan energi haruskah sampai disini? Muncul
Pertanyaan, agar kehilangan pendapatan Rp12 triliun tidak terjadi lagi? Dengan
perhitungan yang masuk akal, perhitungan seorang jurnalis, masyarakat ternyata
dapat membeli dengan harga Rp15.000 hingga Rp120.000 jika memang sulit
didapatkan, akan lebih baik meninggalkan penggunaan Premium.
Mengapa ? Bahan bakar beroktan rendah (di bawah
RON 90), sudah menjadi barang langka di pasar minyak dunia. Isu lingkungan dan
kesehatan membuat banyak negara berlomba untuk beralih ke bahan bakar dengan
oktan lebih tinggi atau mengikuti standar emisi EURO 3 dengan minimum oktan 92.
Oktan lebih tinggi juga terbukti membuat performa mesin lebih baik dan efisien.
Indonesia sudah mengadopsi EURO 3 sejak
2013 yang berpihak kepada lingkungan. Namun pada kenyataannya, pemakaian
Premiun sebagai bahan bakar beroktan 88 dengan klasifikasi rendah masih disdistribusi
secara bebas.
Di negara bagian Eropa sudah mengadopsi BBM
EURO 4 dan lima, di Asia negara Filipina dan Vietnampun sudah meninggalkan BBM
RON 88 rendah oktan sejak tahun 2014. Bagaimana dengan kita Indonesia?
Pemerintah Indoesia sudah terlalu
memanjakan masyarakat Indonesia bagaikan
dengan memberi kenikmatan bagi pemilik kendaraan pribadi dan para
pengusaha. Ketegasan Pemerintah dengan meilhat kepentingan yang lebih besar
tidak perlu direpotkan oleh gonjang ganjing pro kontra.
Karena itu, secara bertahap pemerintah
bersama PT Pertamina melakukan strategi baru dengan mengubah pola konsumsi BBM,
sehingga peran Pertamina sebagai perpanjangan tangan pemerintah menyalurkan BBM
untuk masyarakat tanpa subsidi. Bahkan terjaga lingkungannya dan mendapatkan
keuntungannya kembali guna menyukseskan pembangunan bangsa ke depan.
Pertamina mampu menjadi
titik penting dalam membangun kemandirian bangsa karena sumber daya alam harus ada kesepahaman dalam
menjamin penggunaan sumber daya alam hanya untuk kepentingan rakyat.
Kedaulatan energi yaitu bagaimana menjamin
energi dari segi pengelolaan, suplai, dan ketersediaan untuk masyarakat dan
industri. Artinya, negara hadir untuk menjamin bahwa di manapun berada di
Indonesia, rakyat bisa mendapat energi yang terjangkau, berdaulat di bidang energi.
Kedaulatan energi menjadi solusi untuk
menjamin energi dari sisi pengelolaan, suplai, dan ketersediaan untuk
masyarakat dan industri, produksi, cadangan kepastian usaha.
Kita harus meningkatkan produksi dan
cadangan dengan cara. eksploitasi harus digalakkan. Jangan dihambat dengan
peraturan perpajakan, di mana belum apa-apa sudah kena pajak. Ada yang patut diambil contohnya, ketika pemerintahan Soeharto, perusahaan yang baru berinvestasi diberikan konpensasi pajak selama delapan tahun. Tujuannya, sukses dicapai, setelah break even point, atau untung diatas titik impas, kemudian harus membayar pajak.
Pertamina sebagai perpanjangan tangan
pemerintah, sangat pantas dan sudah terbukti menjadi pelopor untuk wujudkan
ketahanan keadilan dan persatuan energi di Indonesia dan banyak harapan dari masyarakat Indonesia, agar terus mengembangkan inovasi kinerja yang memnerikan multi player effect yang luar biasa bagi pembangunan bangsa Indonesia, supaya dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Maju dan berjayalah Pertamina.(***Advetorial***)