Manado, (AntaraSulut) - "Suara hati adalah kesadaran kita akan kewajiban dan tanggung jawab dalam horison kemutlakan"
Tulisan yang sederhana ini menguraikan secara singkat bagaimana suara hati menjadi pokok dan penting sebagai dasar dalam tindakan manusia terutama untuk menentukan pilihan berhadapan dengan dunia nyata. Dalam Etika Politik, Romo Magnis, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Jakarta, mengatakan bahwa: “Suara hati merupakan salah satu tema pokok dan penting dalam etika.†(Suseno 1994: 146). Mengapa menjadi pokok dan penting? Karena perspektif suara hati adalah hak asasi individu, untuk menolak ketaatan terhadap suatu peraturan atau perintah tertentu, apabila ketaatan yang dimaksud bertentangan dengan suara hatinya. Hal ini dimaksudkan bahwa suara hati sangat menentukan dalam hal pengambilan keputusan individu. Suara hati akan menolak ketika keputusan, peraturan, bahkan ‘paksaan’ untuk memilih calon tertentu, seakan diwajibkan.
Namun pemahaman dasar tentang suara hati sangat perlu, sebagai pintu masuk demi untuk kejernihan pilihan dan kejernihan pengambilan keputusan. Jelas bahwa suara hati berkaitan erat dengan etika. Etika dalam ranah filsafat kerapkali dianggap sebagai disiplin ilmu filsafat di ranah praktis. Artinya, etika berisi tentang bagaimana manusia hidup dan bagaimana manusia ber-praktis dalam kehidupan nyata. Etika dengan demikian, adalah ilmu untuk bertindak dan dalam kondisi seperti ini, tentu saja bertindak dengan pendasaran tertentu. Maka dalam etika sendiri, kita lalu akan mengenal adanya ‘etika situasi’, ‘etika budaya’, ‘etika agama’, dlsb. Etika dengan demikian, punya landasan moral dan cara pandang yang berbeda-beda. Ada yang melalui religiositas, ada yang berdasarkan sebuah kesepakatan dalam kelompok masyarakat tertentu, namun ada pula yang memilih mendengarkan keputusan ‘suara hati’. Yang terakhir inilah yang dipandang penting untuk disorot dan dikupas secara lebih.
Secara umum dapat dikatakan bahwa suara hati adalah ‘suara’ yang berasal dari kedalaman hati atau pusat kedirian seseorang dan yang menegaskan benar-salahnya suatu tindakan atau baik-buruknya suatu kelakuan tertentu berdasarkan suatu prinsip atau norma moral. Suara hati sering dikaitkan dengan suara yang berasal dari luar diri manusia dan sekaligus mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya. (Sudarminta 2013: 63). Jadi, suara hati berasal dari kedalaman hati seseorang, dalam rangka mengambil keputusan. Di sisi lain, suara hati dapat dikatakan juga pusat kemandirian manusia.
Berhadapan dengan dunia nyata, tuntutan masyarakat (dunia nyata itu) dengan pelbagai ruang lingkupnya, tidak berhak mengikat suara hati begitu saja secara mutlak. Unsur kemandirian manusia dalam hal ini sangat ditekankan dan hal itu mengambil peranan penting. Terhadap pelbagai macam perintah, peraturan, bahkan larangan dan kebiasaan, manusia secara moral hanyalah berkewajiban menaatinya sejauh sesuai dengan suara hatinya. Demikian suara hati menjadi pangkal otonomi manusia. Suara hati membuat kita sadar bahwa kita selalu berhak untuk mengambil sikap mandiri, dan bahwa kewajiban untuk taat terhadap pelbagai otoritas dalam masyarakat selalu terbatas: Bahwa suatu perintah yang melawan suara hati, dari mana pun datangnya, wajib kita tolak. (Suseno 1987: 55). Setiap orang mempunyai suara hati, artinya dia sadar bahwa ia berkewajiban memilih yang baik dan menolak yang tidak baik. Dalam tindakan ini, manusia berkewajiban untuk selalu bertindak sesuai dengan kesadaran dan keyakinannya karena diyakini kesadaran itulah suara hatinya.
Fakta yang terpentas sekarang, dapat dikatakan, bahwa masyarakat sedang berada dalam kondisi yang sementara menganalisa, menimbang, memilah-milah dan akhirnya akan menentukan pilihannya, dalam realitas politik praktis (mis: pemilihan kepala daerah). Hemat penulis, kondisi demikian tentu menuntut peran dari ‘sesuatu’ (penulis istilahkan ‘inner’ = kedalaman perasaan), yang mampu memberi solusi bagi kebutuhan akan pengambilan keputusan, tentu dalam realitas yang dimaksudkan di atas. Diyakini bahwa setiap orang menginginkan pemimpin yang baik, bukan hanya dari sisi penampilan, yang barangkali hebat berorasi/berpidato a la kaum sofisme, namun selebihnya pemimpin yang mampu membawa perubahan untuk perkembangan kehidupan masyarat. Pemimpin yang tentu saja mampu menjadi ‘hasil’ dari pilihan berdasarkan suara hati setiap individu dalam masyarakat itu.
Pada saat yang sama, kita juga bisa menyimak realitas saat ini yang menggambarkan situasi dan kondisi yang ‘cukup’ panas. Setiap calon yang akan terlibat dalam pilkada, dengan caranya masing-masing meng-kampanye-kan segala macam hal, baik visi-misi, program, bahkan mungkin kebijakan, yang sekiranya bisa membuat rakyat tergiur, terpesona dan kemudian ‘tergiring’ untuk memilihnya. Sedikit miris berkaitan dengan fakta tersebut, terdapat juga sekelompok orang, katakanlah oknum yang kurang bertanggung jawab, yang menghalalkan segala cara untuk ‘menyerang’ dan menjelekkan pasangan lain. Hal ini nampak lewat beberapa media sosial (facebook, dll.). Bukan kebetulan penulis dapati bahwa, media seakan menjadi sarana untuk menjatuhkan, mencela bahkan menghujat, ‘tim’ lawan.
Penulis setuju untuk mengatakan bahwa menggunakan media sebagai ‘kendaraan’ untuk meng-kampanye-kan visi, misi, program bahkan kebijakan, adalah sebuah cara yang cukup ampuh, sejauh itu demi tujuan yang baik. Media bisa menyebarkan informasi dan berita yang menguntungkan, bahkan bisa juga merugikan pihak tertentu. Dari pola pemberitaan semacam ini, media juga lalu memperoleh keuntungan. Namun terlepas dari fakta positif itu, sangat sering pemberitaan media dipelintir demi membangun citra. Dengan pola ini, media akhirnya juga merugikan kepentingan pihak lainnya. Media meminggirkan kepentingan dan aspirasi dari masing-masing individu di dalam masyarakat. Dengan demikian, pemberitaan media bukanlah realita.
Berhadapan dengan hal tersebut, peran ‘sesuatu’ (yang dalam hal ini penulis maksudkan dengan suara hati) sangat penting. Karena ketika berhadapan dengan pemberitaan media yang berat sebelah atau memihak, kita sangat membutuhkan cara yang terbalik demi memahami kebenaran pemberitaan itu. Mengapa kita perlu membaca berita-berita media secara terbalik, karena secara jelas bertentangan dengan realita. Sadar atau tidak, dalam media tidak ada yang namanya fakta, yang ada hanyalah sudut pandang yang perlu untuk terus dibaca serta ditanggapi secara kritis. Meminjam pandangan seorang peneliti di Muenchen, yang juga dosen filsafat di Unika Widya Mandala Surabaya, Reza Wattimena, bahwa media sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni (kekuasaan). Bagi dia, media sama sekali bukan institusi yang netral, karena selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang menguntungkan mereka secara sepihak, namun sejatinya merugikan pihak lainnya. Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan bahwa media menjadi ‘aktor’ sekaligus ‘kendaraan’ untuk mencuci otak masyarakat. Media memberitakan peristiwa hanya dari sudut pandang tertentu yang, pada saat yang sama, menutupi sudut pandang lainnya.
Lalu bagaimana menyikapi fakta suara hati dan media yang seolah tidak netral? Fakta bahwa terdapat perang kata-kata, perang konsep lewat penggunaan media sebagai kendaraan untuk ‘mencederai lawan’, demi memuluskan jalan agar bisa mendapatkan ‘kekuasaan’, tidak bisa dielakkan. Hemat penulis, apapun kondisi yang terjadi, suara hati menjadi kunci dalam pengambilan keputusan. Suara hati pada titik tertentu, harus mempertahankan kemandirian dan otonominya demi pengambilan keputusan, atau sekurang-kurangnya, memberikan pemahaman ke mana arah pilihannya.
Dengan suara hati, beberapa solusi bisa penulis utarakan dalam tulisan ini demi untuk membangun kebaikan dan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Pertama, kesadaran untuk memahami dan meyakini bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kesadaran ini juga perlu dilancarkan terus menerus terutama berhadapan dengan berita yang kita terima dari media sehari-hari. Pada saat yang sama, marilah kita menganalisa secara tajam dengan menggunakan unsur kesadaran akal budi kita. Kedua, sikap kritis. Sikap kritis sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan informasi dan pemberitaan media. Harus diyakini pula bahwa, tidak semua informasi yang ditampilkan media, lahir dari kenyataan yang sesunggguhnya. Seringkali, hal tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi bagi pendengar atau pembacanya. Dengan realitas ini, sikap kritis sangat penting dan sangat dibutuhkan. Sebagai individu yang mempunyai akal budi, perlu juga mempunyai cara pandang yang kritis. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan cara pandang yang terus ‘digiring’ oleh media yang terlalu memihak. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka dan manisnya pemberitaan media, dengan sikap kritis yang ada dalam diri individu.
Di sisi lain, usaha yang terpenting dalam mengambil keputusan yang didasarkan oleh suara hati yakni berusaha semakin membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri manusia. Sikap ini bertujuan untuk kemurnian sikap dasar yakni, agar manusia menjadi baik tanpa kepalsuan sampai ke akar-akar kepribadian, bagaikan air yang jernih sampai ke kedalaman/dasar. Diyakini segala apa yang jahat, kotor, miring, dendam, dan iri tidak dapat berkembang dalam kejernihan itu. Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh sesuatupun. Demikian juga daya penilaiannya menjadi jernih sehingga ia sangggup melihat kewajiban dan tanggungjawabnya dengan lebih tepat. Dengan ini, orang mampu membaca keadaan real yang terjadi, membaca secara kritis, menganalisa, menimbang-nimbang dan memilah-milah, semua pemberitaan media, untuk kemudian sampai pada pengambilan keputusan dengan suara hati yang mandiri, otonom dan tidak dipengaruhi oleh apapun yang, katakanlah, tidak dewasa. Salam Takzim. ***