Moskow (ANTARA) - Lebih dari 310.000 orang menandatangani petisi yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Australia Anthony Albanese serta perubahan kebijakan migrasi, menyusul serangan teroris mematikan di Pantai Bondi, Sydney, ungkap platform Change.org tempat petisi itu dipublikasikan.
Tekanan publik terhadap PM Albanese itu meningkat setelah pada 21 Desember ia mendapat cemoohan dari massa saat menghadiri upacara peringatan bagi para korban serangan tersebut.
Aparat keamanan terpaksa mengawal perdana menteri dan istrinya meninggalkan lokasi demi keselamatan. Sejumlah laporan media menyebutkan massa meneriakkan kecaman, seraya menyebut Albanese lemah, dan menuduhnya “berlumuran darah”.
Dalam teks petisi, para penggagas menyatakan bahwa tragedi di Bondi Beach—yang digambarkan sebagai penembakan massal yang menewaskan banyak warga sipil tak bersalah—menjadi pengingat mendesak perlunya langkah tegas untuk melindungi komunitas.
Mereka juga menyoroti kekhawatiran luas terhadap imigrasi massal, yang menurut mereka ditentang oleh sebagian besar masyarakat Australia. Kebijakan pemerintah dinilai tidak sejalan dengan opini publik dan justru memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat.
Petisi itu menyerukan kebijakan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti, termasuk pengetatan proses penyaringan bagi pendatang demi menjamin keselamatan warga.
Serangan terjadi pada 14 Desember ketika dua pelaku melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga di Pantai Bondi.
Polisi New South Wales mengidentifikasi pelaku sebagai seorang pria berusia 50 tahun dan putranya yang berusia 24 tahun. Sedikitnya 16 orang tewas, termasuk salah satu pelaku, dan sekitar 40 lainnya luka-luka.
Media Israel, Kan, melaporkan serangan berlangsung saat upacara penyalaan lilin Hanukkah yang dihadiri banyak anggota komunitas Yahudi setempat.
Polisi negara bagian kemudian menyatakan bahwa tim penjinak bom berhasil melucuti dua alat peledak rakitan yang ditemukan di lokasi kejadian, memperkuat kekhawatiran atas eskalasi ancaman keamanan di Australia.
Sumber: Ria Novosti/Sputnik

