Manado (AntaraSulut) - Tulisan ini merupakan hasil diskusi dan refleksi, kuliah Filsafat Hukum-Hak Asasi Manusia, pada program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta Medio 2015. Titik tolak kami dalam menelaah hak atas pendidikan yaitu berangkat dari potensi sumber daya manusia (SDM). SDM tentunya tidak semurah hati sumber daya alam yang terkesan tak kunjung habis.
Seorang Sosiolog dan Filosof, Ignas Kleden, berpendapat bahwa sumber daya manusia, termasuk pendidikan, merupakan kualitas yang harus diproduksi oleh manusia. (Ignas Kleden, Kompas, 26 Juni 2015). Dalam praktisnya, pendidikan yang terarah, yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya, religi, dan etika mampu memproduksi SDM dengan kapasitas kecerdasan dalam karakter yang dewasa. SDM seperti inilah, yang mampu menjadi agen perubahan di dalam masyarakat dan negara, khususnya dalam sumbangsihnya terhadap peningkatan proses produksi dalam ekonomi dan memperkuat integrasi sosial di dalamnya. nampak, bahwa sektor pendidikan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari progesivitas ekonomi, sosial, dan budaya.
Pendidikan menjadi bagian yang penting, terutama untuk perkembangan individu dalam hubungannya dengan masyarakat (sosial). Ketika seseorang melakukan tindakan yang tidak baik, seringkali penilaian terhadapnya terarah pada latar belakang yang membentuk kedirian seseorang itu. Dan, latar belakang dimaksudkan adalah pendidikan. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan dan membuka jalan kepada kebebasan. Konsep pendidikan ini sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Pada jaman itu, pendidikan dipahami sebagai usaha terpadu untuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter sehingga peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan, terpandang karena memiliki budaya intelektual dan memiliki arête/keutamaan. Filsafat Yunani memakai istilah arête untuk excellency yang dalam bahasa Indonesia menunjuk pada keutamaan; bagaimana menjadikan diri kita ‘manusia utama’. (Ambrosius Loho, www.antarasulut.com, Rabu, 4 Maret 2015).
Di sisi lain, setiap bangsa, setiap masyarakat, bahkan setiap kebudayaan membutuhkan suatu pembaharuan, agar dapat bertahan hidup. Menurut Prof. Dr. M. Sastrapradedja, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Jakarta, kita harus kembali kepada pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, seraya menatap ke depan terutama untuk menghadapi tantangan zaman. (M. Sastrapratedja 2013) Hal ini dimaksudkan bahwa ketika berpikir tentang proses humanisasi, termasuk juga humanisme, sebagai warga bangsa Indonesia, kita tidak bisa melepaskan diri dari kedua hal tersebut. Adapun kedua hal tersebut paling banyak diperkenalkan termasuk juga diperdalam lewat dunia pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dirumuskan dengan “mencerdaskan kehidupan bangsaâ€.
Pancasila sebagai Dasar Negara harus pula melandasi pendidikan. Dalam konteks ini, yang menjadi cerdas adalah kehidupan berbangsa dalam segala dimensi, politik, kultural, ekonomi, spiiritual, dan selanjutnya tentu pendidikan juga harus berlandaskan Pancasila. Ketika membaca karya Prof. N. Driyarkara, hal senada berbanding lurus dengan refleksi humanisme dan proses pendidikan yang dapat dirumuskan ke dalam empat prinsip dalam konteks pendidikan: humanisme, humanisasi, humaniora, dan humanitas.
Humanisme Sebagai Visi Pendidikan
Pandangan manusia dan proses humanisasi, banyak diuraikan dan diyakini selalu menjadi perhatian para pemikir dalam pelbagai bidang ilmu. Namun, meskipun ada banyak pendapat tentang humanisme, yang paling jelas, baik secara sadar ataupun tidak sadar, eksplisit maupun implisit, terarah pada keinginan yang besar untuk mengkultuskan manusia.
Humanisme sebagai filsafat yang mengkultuskan manusia merupakan suatu pemikiran rasional yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, diinspirasikan dan didorong kuat oleh hasrat. Seraya meneguhkan martabat setiap manusia, humanisme mendukung optimalisasi kebebasan dan kesempatan individual yang sejalan dengan tanggung jawab komunal dan sosial. Humanisme mengakui manusia sebagai bagian dari alam yang berpendapat bahwa segala nilai berasal dari manusia.
Humanisme sebagai filsafat juga menggambarkan pandangan khusus dan langsung tentang alam semesta, kodrat manusia dan penanganan persoalan manusia dari sudut manusianya. Demikian humanisme bukanlah suatu filsafat per se melainkan suatu cara pandang hidup dengan kultus manusia untuk mencapai satu-satunya cita-cita yaitu kebahagiaan. (Bambang Sugiarto 2008). Humanisme memiliki bermacam-macam arti, tapi humanisme Driyarkara memaksudkannya sebagai suatu visi yang melihat manusia sebagai individu yang bermartabat dan luhur. Di sini, Driyarkara bertitik tolak pada manusia sebagai “yang berada di duniaâ€. Manusia hanya menjadi manusia dengan berinteraksi dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Manusia mengubah relasi alamiahnya dengan sesamanya menjadi komunitas yang bisa disejajarkan seperti bangsa dan negara.
Pendidikan oleh humanisme dilihat sebagai penyempurnaan diri manusia, maka juga pendidikan tersebut merupakan bagian utuh dari proses peradaban. Driyarkara membedakan dua fase perkembangan diri. Pertama, tahap hominisasi, yaitu proses perkembangan menjadi manusia yang mencapai kedewasaan fisik dan psikologis. Kedua tahap humanisasi, dalam tahap ini pendidikan menjadi aktivitas menentukan yakni sebagai proses fundamental. Jadi, Driyarkara menekankan bahwa tahap awal dari proses ini adalah tahap hominisasi baru kemudian berlanjut pada tahap humanisasi.
Humanisasi Sebagai Proses Pendidikan
Setelah melihat selayang pandang tentang Humanisme menurut Driyarkara, ada beberapa poin yang menjadi pokok untuk dikembangkan dalam kaitan dengan tulisan ini, bahwa humanisasi sebagai proses pendidikan. Dalam karya lengkap Driyarkara, dia menekankan, bahwa manusia tidak hanya harus menjadi homo (manusia) tapi justru dia juga harus menjadi homo yang human, manusia yang berkebudayaan lebih tinggi. Dalam arti ini, pendidikan memiliki makna yng mendalam lewat gagasan Driyarkara.
Hal pertama yang penting untuk dikedepankan berkaitan dengan proses pendidikan adalah bahwa mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, maksudnya tindakan yang bukan hanya tindakan dangkal seseorang terhadap orang lain. Tindakan mendidik tersebut didasari oleh kehendak, yang melahirkan cinta dari pendidik kepada subjek yang sedang dididik, siswa. Kedua, pendidikan bersifat dialogis, yakni suatu relasi antara subjek dengan subjek. Konsep relasi Martin Buber berkaitan dengan ini, sangat relevan. Di dalam hubungan atau perjumpaan antara aku (pendidik) dengan orang lain dimungkinkan dengan adanya dialog di antara keduanya. Dialog mewujudkan transformasi yang terjadi antara dua pribadi. Dalam dialog, “aku†mengakui “yang lain†sebagai yang setara dengan “akuâ€, sebagai subjek yang memberi sekaligus yang menerima sama seperti “akuâ€. (Martin Buber 1949). Ketiga, pendidikan harus menyangkut pendidikan nilai.
Driyarkara menegaskan bahwa mendidik berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Hal keempat, pendidikan politik perlu ditekankan agar tercipta suatu kehidupan politik yang manusiawi.. Pendidikan politik bagi Driyarkara penting karena dengan itu warga diajak untuk mampu berpartisipasi demi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Langkah atau proses pendidikan dalam humanisasi tidak pernah bisa lepas dari unsur pendidik, anak didik dan negara sebagai penjamin bagi adanya lembaga pendidikan yang mewadahi pendidik dan anak didik tersebut. Sebisa mungkin ketiganya punya hubugan timbal balik yang sangat intensif demi kontrol dalam kemajuan pendidikan. Karena pendidikan adalah proses humanisasi bagi subjek-subjek didik yang sering diibaratkan oleh John Dewey, seorang filsuf pendidikan pragmatis Amerika, sebagai kertas putih yang belum diisi banyak ‘tulisan’. Lewat pendidikanlah, subjek-subjek tersebut diisi dengan segala macam hal termasuk teori dan ilmu pengetahuan.
Humaniora sebagai Proses Memanusiakan Manusia
Inti dari istilah humaniora selalu bermuara pada konsep pendidikan humanitas yaitu suatu pembelajaran yang bertujuan untuk menjunjung tinggi dan mengembangkan kemanusiaan baik secara individual untuk yang bersangkutan maupun secara sosial untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu, humaniora berarti dua hal. Pertama, sekumpulan ilmu kemanusiaan seperti filsafat, sejarah, bahkan ilmu-ilmu bahasa. Kedua, cara pengajaran yang mencoba mengangkat unsur-unsur pemanusiaan dalam pengajaran. Di sisi lain, humaniora bisa bertujuan agar kita bisa menikmati hidup, supaya kita menjadi manusia yang otentik/asli yang merasa nyaman di mana pun kita berada dan dengan siapapun kita bersua.
Prof. Bambang Sugiharto, seorang Posmodernis dari Unika Parahyangan dan Guru Besar Estetika di tempat yang sama, menyimpulkan beberapa poin penting berkaitan dengan humaniora sebagai alternatif bagi pengembangan pendidikan terutama untuk masa depan.
1. Diri sebagai agen perubahan, bahwa individu merupakan agen perubahan terutama bagi peradaban. Dengan kata lain, individu/diri merupakan pelaku utama yang tak pernah bisa dihilangkan, terlebih lagi dalam situasi yang nyata sekarang ini yang terus berkembang.
2. Tanggung jawab dan Keadilan terhadap yang lain. Kerangka berpikir ini adalah kerangka yang memprioritaskan dan membela hak orang lain terlebih dahulu. Dengan demikian, hak kita sendiri dijamin. Ilmu pengetahuan berharga bukan hanya sebagai oleh kecerdasan, tapi menjadi jalan menuju tahapan hidup yang lebih tinggi.
3. Kemampuan melihat ‘alternatif baru’. Bahwa kurikulum perlu membentuk kemampuan peserta didik untuk setiap kali memperbaharui kembali pemikiran-pemirannya degnan cara menyerap apa yang bermunculan dalam interaksi global dan dari sana melihat berbagai kemungkinan baru untuk berpikir, merasa dan berhubungan.
4. Sikap kritis atas tata nilai kultural. Kemampuan mengkritik diri sendiri bukan hal yang perlu dihindari, sebaliknya justru merupakan cara memperkuat akar budaya sendiri. Ini bukan sekedar soal identitas, tapi lebih sebagai soal integritas dan otentisitas dalam kerangka pertumbuhan menjadi semakin matang.
Humanitas sebagai Tujuan Pendidikan
Humanitas yang coba dikembangkan dan menjadi inti pemikiran Driyarkara tetap bermuara pada integritas dan otentisitas manusia yang terus menerus harus disempurnakan sehingga dari situ mampu mencapai kematangan. Humanitas adalah keadaan ideal di mana manusia diperlakukan dan memperlakukan dirinya sebagaimana adanya sebagai manusia. Oleh karena itu, humanitas menjadi prasyarat dari otentisitas. Dan, sebaliknya otentisitas menjadi gerbang bagi humanitas. Itulah saat dimana manusia mengalami dirinya sebagai manusia. Humanitas adalah kemanusiaannya. Manusia bereksistensi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
Pendidikan memampukan manusia untuk memiliki karakter yang peka budaya. Kekuatan keberlangsungan budaya dalam kacamata Indonesia adalah terwujudnya bentuk penghormataan, penghargaan, perlindungan, dan jaminan terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Salah satu tolok ukurnya, penghargaan terhadap karya seni atau keindahan yang mengalir di dalam kebudayaan, bahkan menjadi ciri khas dari kebudayaan tertentu. Manusia terdidik dengan baik dipastikan mampu membuat filter atas posesivitas yang hiperbolis. Originalitas kebudayaan dalam pluralitas dan multietnisnya tidak akan serta merta dimodifikasi secara akulturatif dengan kemasan kebarat-baratan yang malah menghilangkan kearifan lokal di dalam budaya yang plural.
Pendidikan membentuk setiap individu untuk memperhatikan tantangan sejarah yang terus berubah. Seorang yang terdidik tidak akan tinggal lama di dalam gua gelap tanpa mau melihat kemajuan global dan ikatan jejaring yang semakin meluas. Dalam hal ini, tidak ada istilah kacamata kuda yang tidak mengijinkan setiap individu melihat sisi kanan dan kirinya. Kemajuan suatu peradaban dimaknai sebagai kodrat alamiah yang pasti selalu berlangsung tanpa terlepas dari akarnya, ibarat roda yang tidak pernah lepas dari aksisnya.
Pendidikan memproduksi pribadi yang inovatif dalam karya dan ide. Pendidikan yang notabene adalah transfer pengetahuan tidak berhenti pada penyajian ilmu pengetahuan yang sudah jadi (science product), melainkan pada proses bagaimana ilmu pengetahuan itu terbentuk (science production). Mental kreatif harus jauh melampaui mental konsumeris. Penemuan-penemuan baru tercipta dari pribadi-pribadi yang tidak mudah merasa nyaman dengan produk sains dan mengkonsumsi perkakas pabrik atau ilmu dari buku cetak. Setiap penemuan-penemuan baru tercipta dari motivasi yang dibangun dalam kultur pendidikan yang mendorong setiap peserta didik untuk mengadakan penelitian yang valildatif dan komprehensif.
Terakhir, pendidikan memampukan suatu karakter humanis dengan keunggulan akademik sekaligus rasa bela rasa terhadap situasi sosial yang diwarnai dengan perjuangan keadilan melawan ketidakadilan. Berbicara tentang HAM, tidak lepas dari bicara soal ketidakadilan. Keadilan hanya akan terwujud jika di dalam setiap manusi, terdapat karakter untuk peduli. Karakter ini dipupuk di dalam proses pendidikan. Generasi para genius abad Renaisans lahir bukan hanya keunggulan mereka dalam aritmatika, geometri, dan astronomi belaka, tapi juga bagaimana rasa itu diolah di dalam diri mereka melalui ilmu pengetahuan yang dipelajari. Maka, lahirlah generasi genius nan kritis dengan kepedulian yang besar terhadap keadilan dan kesejahteraan umum.
Dengan beragam karakter di atas, diyakini bahwa pendidikan akan terus bergerak maju. Pendidikan tidak akan pernah dilepaskan dari kehidupan manusia. Pendidikan akan terus berlangsung, baik secara formal maupun informal, bukan untuk mengejar apa yang bersifat non-manusiawi tetapi terlebih pada apa bersifat manusiawi.*****
Daftar Bacaan:
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Buber, Martin, Between Man and Man, London: Fontana Library, 1949.
Sastrapratedja, M,. Pendidikan sebagai Humanisasi, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013.
Sugiarto, Bambang (ed.), Humanisme dan Humaniora, Bandung: Matahari, 2008.
Surat Kabar:
Kleden, Ignas, “Tanggung Jawab atas Pendidikan,†Kompas, Kamis, 25 Juni 2015.
Loho, Ambrosius, “Membebaskan Pendidikan, Pendidikan Membebaskanâ€, www.antarasulut.com, Rabu, 4 Maret 2015.