Manado (ANTARA) - Saat menyusuri ruas jalan-jalan utama di Kota Manado tampak nama-nama hotel, mal, pusat pertokoan yang menggunakan bahasa asing sebagai jenama mereka. Apabila dicermati lebih lanjut maka tulisan di papan informasi, tulisan penunjuk arah atau rambu umum pun menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa di ruang publik tampak mulai kurang terhadap para penggunanya. Apabila mengemuka suatu pertanyaan, “Ramahkah penggunaan bahasa di ruang publik lembaga swasta di Kota Manado?” maka pertanyaan ini berpulang pada wajah bahasa di ruang-ruang publik Kota Manado saat ini.
Ruang publik merupakan ruang yang dipakai untuk keperluan bersama para anggota rumah atau gedung, misalnya ruang duduk dan lobi. Ruang publik menjadi ruang sosial yang umumnya terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja, misalnya jalan, termasuk trotoar, alun-alun, taman, dan pantai (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring). Ruang publik merupakan ruang bersama segenap anggota masyarakat. Dengan demikian, bahasa pemersatu dan pengikat kebersamaan segenap anggota masyarakat adalah bahasa negara, bahasa Indonesia. Namun, kenyataannya mengapa bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai bahasa pemersatu dan pengikat kebinekaan di ruang publik? Padahal tertera jelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 25 Ayat 2 dinyatakan bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah, dan antarbudaya daerah.
Jelas sudah bahwa bahasa Indonesia mutlak hadir di ruang publik, ruang bersama seluruh masyarakat sebagai jati diri bangsa serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Tentu masyarakat dari Sabang sampai Merauke tidak akan mengalami gegar bahasa bila berkunjung ke suatu daerah yang jauh dari kampung halaman mereka. Semua informasi di ruang publik mudah dipahami tanpa ketaksaan ganda karena menggunakan bahasa Indonesia. Hanya saja, saat ini justru ruang publik, khususnya di Kota Manado mulai tergerus oleh bahasa asing.
Beragam pertanyaan menggelitik tercetus ketika melihat kenyataan di lapangan tentang wajah bahasa di ruang publik yang diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dengan strata pendidikan yang beragam. Apakah semua kalangan masyarakat mengetahui dengan jelas penggunaan bahasa asing pada papan informasi tersebut? Apakah semua masyarakat memiliki pemahaman yang sama dengan penggunaan bahasa asing yang terpampang di ruang publik itu? Apakah informasi itu berterima dengan baik bagi seluruh lapisan masyarakat yang beragam? Ataukah penggunaan bahasa yang dipilih oleh pemilik informasi tersebut belum mengetahui adanya bahasa pemersatu negara ini? Banyak pertanyaan melintas di benak dan perlu untuk diurai satu per satu sembari ditelusuri mulai dari hulu ke hilir.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka berdasarkan pengamatan awal dicoba untuk diurai oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Unit Pelaksana Teknis di Sulawesi Utara, yaitu Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara. Beberapa waktu lalu, tim peneliti Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara mencoba menelaah penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik pada lembaga swasta di Kota Manado.
Penelaahan penggunaan bahasa di ruang publik didasarkan pada tujuh kategori objek pengutamaan bahasa negara. Ketujuh kategori ini berfokus pada penggunaan bahasa tulis di ruang publik, yaitu tulisan nama lembaga atau gedung, tulisan nama sarana umum, tulisan nama ruang pertemuan, tulisan nama produk barang/jasa, tulisan nama jabatan, tulisan penunjuk arah atau rambu umum, tulisan berbentuk spanduk atau alat informasi lain sejenisnya. Adapun kegiatan Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia pada Lembaga Swasta di Kota Manado tahun 2020 ini difokuskan pada beberapa lembaga swasta, seperti sekolah, rumah sakit, perusahaan ritel atau waralaba, hotel, dan kantor media massa.
Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia pada Lembaga Swasta di Kota Manado ini menghasilkan simpulan yang bersesuaian dengan asumsi awal saat memulai kegiatan ini. Hasil kajian ini menyimpulkan penggunaan bahasa di ruang publik pada lembaga swasta di Kota Manado didominasi oleh bahasa asing. Bahasa asing menjamuri mulai dari nama lembaga, nama ruang pertemuan, nama produk barang dan jasa, nama jabatan, tulisan penunjuk arah, dan tulisan pada papan informasi di ruang publik. Sungguh apabila difilmkan kesemuanya maka seolah-olah beragam nama tersebut berada di negara asing, bukan di Indonesia.
Hal-hal yang tidak disadari, tampak sepele, dan sudah terbiasa melihat bahasa asing di ruang publik seperti melihat penggunaan kata asing in di suatu pintu gerbang masuk hotel berbintang dan kata out pada pintu gerbang keluarnya. Itu hal yang lumrah dan justru bukan pemandangan yang asing bagi publik. Padahal, ada padanan masuk untuk in dan keluar untuk out. Sama tidak asingnya dengan papan petanda drop-off yang terpampang di halaman parkir suatu rumah sakit swasta di Kota Manado tinimbang menggunakan padanan turun dalam bahasa Indonesia. Rasanya antara ketidaktahuan dan ketidakpedulian para pemilik lembaga swasta tidak mudah diketahui sehingga dominasi bahasa asing kerap mewarnai setiap sudut gedung.
Mungkin saja pemimpin lembaga swasta di Kota Manado belum mengetahui adanya aplikasi SPAI singkatan dari Senarai Padanan Asing Indonesia di Ruang Publik pada laman https://spai.kemdikbud.go.id atau barangkali memang aplikasi tersebut belum digaungkan sedemikian kencang oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara kepada masyarakat sehingga mereka masih awam dan belum mempraktikkannya? Perlu berbenah untuk menyikapi hal ini.
Sangat penting untuk segera bertindak membenahi penggunaan bahasa asing di ruang publik. Apalagi lembaga swasta di bidang pendidikan seperti sekolah yang merupakan pencetak generasi penerus bangsa, tidak memandang sekolah itu berstatus swasta atau negeri tetap harus mengutamakan bahasa Indonesia. Semoga pendidik di sekolah-sekolah yang masih memajankan bahasa asing pada papan informasi dan papan nama sekolah mereka tidak abai dengan Pasal 29 Ayat 1 yang menyebutkan “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional”. Apabila bahasa Indonesia di ruang publik di sekolah juga masuk sebagai bagian dari pendidikan nasional maka sepatutnya ruang-ruang publik di sekolah-sekolah ini harus berbenah diri untuk mencerdaskan anak bangsa dari sisi membangun sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Pengabaian sikap positif terhadap bahasa Indonesia di sekolah yang tim peneliti terlihat bahwa upaya penanaman bangga berbahasa Indonesia mulai luntur. Betapa tidak, santapan bahasa asing dipampang pada papan informasi di lorong-lorong sekolah seperti Headmaster’s Room, Pantry, Gents, Academic’s Portrait, No Smooking. Alih-alih menggunakan padanan dalam bahasa Indonesia seperti ‘Ruang Kepala Sekolah, Pantri, Pria, Potret Akademik, dan Dilarang Merokok’ malah lebih memilih bahasa asing. Terlebih lagi mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing seperti ‘Siswa yang smart, siswa yang tahu menjaga kebersihan lingkungan’. Tampaknya siswa pun perlu diberikan contoh untuk konsisten dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak dicampuri dengan bahasa asing. Kesalahkaprahan inilah yang tanpa disadari akan menggerus kebanggaan berbahasa Indonesia para siswa sebagai generasi penerus bangsa karena ruang publik di sekolah pun menyuguhkan pemandangan yang belum menunjukkan sikap positif dalam berbahasa Indonesia.
Kekhawatiran demi kekhawatiran tergerusnya sikap positif terhadap bahasa Indonesia di ruang publik juga dapat terlihat pada papan informasi di perusahaan ritel dan waralaba yang berada di mal-mal di Kota Manado. Tampak di depan pintu masuk perusahaan ritel itu tulisan welcome tinimbang ‘selamat datang’. Saat memasuki ruang belanja semakin menyeruak penggunaan bahasa asing tanpa basa-basi, seperti Store Manager, Manager on Duty, Opening/Closing Manager, customer service, home living, home electronic, home lifestyle, household, frozen, fresh fruit juice available, dst. Bahkan, bahasa Indonesia yang digabungkan dengan bahasa asing pun banyak ditemukan, seperti ‘Tersedia aneka cake slice’, ‘Pastikan semua peralatan disimpan pada knife sterilizer’, ‘Pastikan sink bersih dan kering’ dll. Sungguh daya pikat bahasa asing tak berbilang lagi bahkan mampu menggantikan bahasa Indonesia di ruang publiknya sendiri.
Daya pikat bahasa asing ternyata sangat dalam memesona masyarakat sampai di kota-kota besar di Indonesia, pun demikian di Kota Manado. Daya pikat itu bagaikan kekuatan magis yang menyirap individu atau kelompok untuk mengiyakan dan menyetujui hal-hal yang bertuliskan bahasa asing. Dugaan yang diterima sebagai dasar pemahaman bahwa penjenamaan dan penyampaian informasi berbahasa asing mampu mendongkrak nilai jual suatu barang dan diyakini memiliki prestise bagi produk suatu usaha. Penamaan hotel dan mal yang jauh dari kesan membumi justru dengan bangga memancangkan papan nama mereka dengan bahasa asing. Lembaga pendidikan pun turut serta memajang nama jenama mereka dengan bahasa asing. Pemahaman inilah yang perlu diluruskan dengan pendekatan kebahasaan.
Terlepas dari embel-embel pesona bahasa asing, kesadaran sebagai anak bangsa dan pemilik bahasa Indonesia, tentu semua masyarakat seharusnya terpanggil untuk menyadari bahwa ‘Bahasa Menunjukkan Bangsa’. Sepatutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, Pasal 36 Ayat 3 dimengerti dengan baik dan penuh kesadaran. Pasal tersebut menyatakan bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Jika demikian, sikap positif terhadap bahasa Indonesia mudah untuk dibangun.
Upaya membangun sikap positif terhadap bahasa Indonesia seiring sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 yang mewajibkan informasi di ruang publik menggunakan bahasa Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Adapun pada ayat 2 menyebutkan penggunaan bahasa Indonesia dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing. Negara telah mengatur arus perkembangan bahasa yang dinamis di tengah masyarakat, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing.
Ruang publik dapat dihiasi dengan bahasa asing, tetapi bahasa Indonesia tetap harus diutamakan sebagai bahasa negara. Apabila dalam suatu papan informasi terdapat bahasa Indonesia dan bahasa asing maka penempatan yang tepat, yaitu mengutamakan bahasa Indonesia di posisi teratas. Setelah itu, bahasa asing di posisi kedua dengan penulisan yang dimiringkan. Apabila bahasa daerah hendak ditambahkan ke dalam papan informasi tersebut maka posisinya menempati urutan kedua setelah bahasa Indonesia dengan penulisan yang dimiringkan dan bahasa asing ditempatkan di posisi ketiga. Inilah wujud pengutamaan bahasa Indonesia. Panduan penulisan bahasa Indonesia dapat ditemukan dengan mudah dalam PUEBI atau Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang dahulu dikenal dengan nama EYD atau Ejaan yang Disempurnakan. Ini dapat menjadi tolok ukur dalam membenahi penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing di ruang publik di Kota Manado.
Pembenahan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik Kota Manado bukanlah tugas orang per orang atau suatu lembaga saja, tetapi itu menjadi PR bersama seluruh lini khususnya bagi penentu kebijakan di Kota Manado. Perlu digagas suatu Perjanjian Kerja Sama antarpemerintah daerah Kota Manado dengan Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara sebagai iktikad awal atau kepercayaan yang baik untuk bersama-sama mengambil langkah kebijakan mengatasi hal ini. Tampaknya penyusunan perda tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik di tingkat kabupaten kota perlu untuk segera digodog bersama-sama.
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara pun perlu melakukan upaya pendampingan kebahasaan terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik pada setiap lembaga swasta di Kota Manado secara bertahap. Pendampingan tersebut dapat berupa penyuluhan bahasa Indonesia yang bersifat praktis bagi para pemegang dan penentu kebijakan di masing-masing lembaga swasta di Kota Manado. Mereka perlu diberikan pengetahuan kebahasaan yang bersifat praktis untuk diterapkan pada papan nama dan papan informasi yang berada di lingkup lembaga masing-masing.
Intinya, segala upaya perlu dilakukan untuk menguatkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Semua bermuara pada pemartabatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sehingga muruah bahasa Indonesia dapat tegak dan terlihat di ruang-ruang publik di setiap kota kabupaten, khususnya Kota Manado tercinta. Sedari sekarang sebelum terlambat, sikap positif ini dapat ditumbuhkan sebagaimana slogan trigatra Badan Bahasa, yaitu ‘Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing’.
(Penulis : Nurul Qomariah, Peneliti sekaligus Editor KBBI daring Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara)