"Harmonisasi yang tercipta merupakan konsep dan refleksi hidup damai dalam perbedaan dan bagaimana itu terwujud dalam praktik keseharian yang bernama toleransi," kataI Kacung Marijan di Semarang, Sabtu.
Kacung mengatakan sampai dimana sebenarnya kita bebas meyakini sesuatu tanpa menghakimi keyakinan orang lain, sehingga perbedaan itu menjadi indah, tidak mengurai kesadaran kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Dia mengatakan oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika Semarang dipilih sebagai tempat penyelenggaraan WCF 2016, karena masyarakat di daerah ini merupakan refleksi yang tepat dari keharmonisan hidup di tengah perbedaan suku, ras hingga agama.
Esensi WCF, katanya, menjadi wadah untuk forum yang mengapresiasi nilai-nilai kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa di dunia dengan tujuan membangun hubungan antar suku bangsa dan saling menghargai, serta menjadi salah satu pemberi solusi pada permasalahan secara lokal maupun global dalam perspektif atau pendekatan kebudayaan.
Oleh karena itu, perlu digagas forum komunikasi antar budayawan, akademisi, seniman dan masyarakat secara umum untuk memperdalam substansi WCF dan memaknai isu strategis melalui Focus Group Discussion.
Dia mengatakan WCF menjadi wadah ide dan gagasan pengalaman atau refleksi budaya yang dapat menjadi acuan untuk masukkan penting dalam pemantapan sistem kebudayaan yang memiliki perbedaan di masing-masing daerah.
Dia mengatakan dalam WCF 2016, topik yang akan dibahas yakni urgensi dan kepentingannya pada masyarakat luas, khususnya kelompok-kelompok strategus, di kampus, komunitas budaya atau organisasi masyarakat lainnya.