Punggawa wanita di balik SATRIA-1 itu Nia Asmady
Jakarta (ANTARA) - Indonesia mencetak sejarah baru pada 19 Juni 2023 saat Satelit Republik Indonesia (SATRIA)-1 diluncurkan dari Cape Canaveral Space Launch Complex 40 (SLC 40) di Florida, Amerika Serikat.
Diluncurkannya satelit tersebut menjadi tanda bahwa Indonesia satu langkah lebih dekat untuk memiliki dukungan infrastruktur digital bagi fasilitas-fasilitas publik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Presiden Joko Widodo bahkan merayakan keberhasilan peluncuran satelit multifungsi pertama milik Pemerintah Indonesia itu dengan mengumumkan misi SATRIA-1 sebagai upaya memberikan kesetaraan infrastruktur digital bagi Warga Negara Indonesia.
Rupanya, di balik momen bersejarah ini ada andil banyak dari sosok wanita muda bernama lengkap Adipratnia Satwika Asmady.
Sedari awal proyek SATRIA-1 dimulai, wanita yang akrab dikenal sebagai Nia Asmady ini menjadi penggawa yang dipercaya untuk mewujudkan satelit bagi kesetaraan akses internet di Indonesia ini.
Nia memegang tanggung jawab sebagai Project Manager di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) untuk pembuatan SATRIA-1 dan pada peluncurannya ia mengemban tugas sebagai Customer Project Launch Director di SpaceX.
Dalam perjumpaan pertama dengan Nia, ia adalah sosok yang sangat ramah, pembawaannya yang ceria membuat percakapan hangat tercipta dan mengalir.
Ia menceritakan perannya yang menantang karena harus menjembatani berbagai pihak untuk merealisasikan satelit dengan misi besar tersebut hingga asanya untuk industri luar angkasa bagi Indonesia di masa mendatang.
Sebagai kisah pembuka, Nia membagikan perasaannya di detik-detik akhir saat melepas SATRIA-1 terbang, meluncur meninggalkan bumi ke angkasa.
Rupanya meski berada di lokasi yang sama, ia tak bisa melihat langsung SATRIA-1 meluncur dibawa oleh roket Falcon-9 milik SpaceX.
Karena posisinya sebagai pembuat keputusan untuk terbang atau tidaknya satelit tersebut, wanita kelahiran 1993 itu justru ditempatkan di fasilitas ruang kontrol panel yang tertutup.
Nia merasakan emosi yang bercampur aduk saat akhirnya mengetahui SATRIA-1 telah benar-benar meninggalkan bumi untuk memulai perjalanan baru menuju orbitnya ke 163 Bujur Timur (BT).
"Berawal dari rancangan di kertas dan diskusi-diskusi dan akhirnya menjadi sesuatu yang kita kirim ke luar angkasa, dengan harapan nantinya bisa membawa makna untuk orang-orang yang paling membutuhkan. Ini yang membuat aku mixed emotion, senang, excited, dan bangga," katanya.
Perasaan itu wajar tercipta karena perjalanan menghadirkan SATRIA-1 mengalami pasang surut proses perjuangan yang begitu besar.
Dikerjakan sejak 2019, perjalanan pembuatan SATRIA-1 saja sudah melewati beberapa momen penting secara global dan tantangan terbesar tentu saja di tengah pandemi COVID-19.
Mengingat pembuatan SATRIA-1 dikerjakan lintas negara, hambatan dalam berkomunikasi untuk diskusi dan merealisasikan rancangan sebagai bentuk fisik satelit menjadi salah satu faktor yang sangat berperan penting.
Sebagai Insinyur Sistem Satelit di PSN, Nia telah memiliki bekal dengan banyak ilmu penting tentang satelit untuk setiap komponennya.
Beberapa komponen penting mulai dari sistem tenaga penggerak (propulsion system), sistem komunikasi, hingga sistem suhu (thermal) semuanya harus Nia kuasai secara umum.
Hal itu menjadi kunci baginya sebagai jembatan untuk perwakilan Indonesia dan pihak ketiga lainnya dalam merealisasikan SATRIA-1 dengan tepat, sesuai dengan rancangan yang ditetapkan.
"Dalam mengambil keputusan untuk proyek manufacturing satelit itu, memang harus sangat hati-hati. Karena satelit setelah diluncurkan tidak akan bisa diperbaiki kembali. Jadi banyak keputusan yang diambil secara detail," ujarnya.
Di temani dengan lagu penyemangatnya "Heated" dan "Cuff It" karya penyayi populer Beyonce, Nia dengan tekun menjalani tanggung jawabnya mengorganisir pembuatan fisik SATRIA-1.
Ketika satelit telah terbangun utuh dalam bentuk fisik, tugasnya tak berhenti sampai di situ karena ia justru harus semakin waspada dan siaga untuk proses uji coba memastikan infrastruktur telekomunikasi itu telah berfungsi dengan optimal sebelum diluncurkan.
Salah satu uji coba yang memakan waktu ialah uji coba sistem thermal, pengujian ini diperlukan untuk menyiapkan satelit bisa tetap beroperasi di luar angkasa dengan kondisi suhu ekstrem, baik di suhu dingin maupun panas.
Berbeda dengan orang yang bervakansi di momen akhir tahun 2022, Nia dan timnya harus berjaga 24/7 menantikan uji coba tersebut hingga mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Kita itu 24 jam harus stand by, kadang harus teleconference jam 10 malam, dan kita harus reaktif untuk itu. Tim dari Thales (manufaktur SATRIA-1) juga 24 jam di situ, proses ini sangat mendebarkan karena kalau ada masalah akan terlihat di uji coba ini," ujar Nia.
Bersyukur perjuangannya itu berbuah manis hingga akhirnya kini SATRIA-1 telah menuju orbitnya di luar angkasa, dan tugas Nia saat ini tinggal menantikan satelit berlabuh dan menunaikan fungsinya memancarkan jaringan internet untuk menjangkau pelosok-pelosok Indonesia dan memberikan kesetaraan akses digital.
Masa lalu, masa kini, dan masa depan
Untuk berada di jalur kariernya sebagai Insinyur Sistem Satelit di tempatnya bekerja sekarang, Nia mengaku jalannya menempuh pendidikan terbilang mulus.
Bermula dari ketertarikannya pada fenomena alam di bangku sekolah dasar, berlanjut membawanya untuk mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam yang menimbulkan kecintaannya pada matematika dan fisika di bangku sekolah menengah atas.
Pengaruh ayahnya yang juga berprofesi sebagai insiyur membuat wanita berzodiak Virgo ini akhirnya semakin tertarik dengan jurusan teknik.
Dengan dukungan dari keluarganya saat menuju pendidikan tinggi, ia pun mantap merantau ke Negeri Paman Sam dan menimba ilmu dengan jurusan teknik kedirgantaraan atau dikenal sebagai Aerospace Engineering di California Polytechnic State University.
Menyadari industri yang akan diembannya didominasi oleh pria, Nia mengaku dirinya tidak terlalu memusingkan masalah tersebut. Justru ia mengatakan posisinya sebagai perempuan membawa tantangan dan keunggulan tersendiri di industri luar angkasa.
"Menjadi wanita itu keunggulan, karena wanita punya kepekaan yang lebih baik dan memiliki kemampuan membangun unsur humanis dan dapat membangun semangat untuk timnya saat bekerja," kata Nia dengan tegas.
Di masa kini, Nia mengaku bersyukur karena mendapatkan lingkungan kerja yang mendukung generasi muda untuk berkembang.
Sebagai perusahaan pertamanya sejak meniti karier, PT Pasifik Satelit Nusantara memberikan peluang bagi dirinya mengerjakan proyek strategis nasional yang bermanfaat bagi banyak Warga Negara Indonesia.
Sembari menjalankan pemantauan dan supervisi pada SATRIA-1 yang saat ini menuju orbit, Nia menantikan proyek satelit lainnya, misalnya untuk pemanfaatan Internet of Things (IoT) yang bisa menjadi solusi baru lainnya bagi masyarakat Indonesia.
Untuk masa depan industri luar angkasa di Indonesia, tak lupa Nia membagikan harapannya agar semakin banyak generasi muda, khususnya perempuan, untuk tak takut mencoba jurusan teknik kedirgantaraan.
Menurutnya, dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, potensi pengembangan produk luar angkasa seperti satelit semakin dibutuhkan untuk menjadi solusi bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan.
"Percaya diri saja, be confident. Berani untuk keluar dari comfort zone. Karena menjadi wanita di bidang yang banyak laki-lakinya, bukanlah kekurangan tapi suatu keunggulan," katanya.
Di balik itu, Nia berharap sistem pendidikan yang saat ini mendukung karier untuk industri luar angkasa bisa lebih berkembang dengan menghadirkan kelas pemikiran kritis atau critical thinking.
Dengan demikian bisa lebih banyak tercipta para insinyur dan pemberi solusi asal Indonesia untuk mengembangkan industri luar angkasa lebih handal di masa mendatang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal Nia Asmady, penggawa wanita di balik SATRIA-1
Diluncurkannya satelit tersebut menjadi tanda bahwa Indonesia satu langkah lebih dekat untuk memiliki dukungan infrastruktur digital bagi fasilitas-fasilitas publik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Presiden Joko Widodo bahkan merayakan keberhasilan peluncuran satelit multifungsi pertama milik Pemerintah Indonesia itu dengan mengumumkan misi SATRIA-1 sebagai upaya memberikan kesetaraan infrastruktur digital bagi Warga Negara Indonesia.
Rupanya, di balik momen bersejarah ini ada andil banyak dari sosok wanita muda bernama lengkap Adipratnia Satwika Asmady.
Sedari awal proyek SATRIA-1 dimulai, wanita yang akrab dikenal sebagai Nia Asmady ini menjadi penggawa yang dipercaya untuk mewujudkan satelit bagi kesetaraan akses internet di Indonesia ini.
Nia memegang tanggung jawab sebagai Project Manager di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) untuk pembuatan SATRIA-1 dan pada peluncurannya ia mengemban tugas sebagai Customer Project Launch Director di SpaceX.
Dalam perjumpaan pertama dengan Nia, ia adalah sosok yang sangat ramah, pembawaannya yang ceria membuat percakapan hangat tercipta dan mengalir.
Ia menceritakan perannya yang menantang karena harus menjembatani berbagai pihak untuk merealisasikan satelit dengan misi besar tersebut hingga asanya untuk industri luar angkasa bagi Indonesia di masa mendatang.
Sebagai kisah pembuka, Nia membagikan perasaannya di detik-detik akhir saat melepas SATRIA-1 terbang, meluncur meninggalkan bumi ke angkasa.
Rupanya meski berada di lokasi yang sama, ia tak bisa melihat langsung SATRIA-1 meluncur dibawa oleh roket Falcon-9 milik SpaceX.
Karena posisinya sebagai pembuat keputusan untuk terbang atau tidaknya satelit tersebut, wanita kelahiran 1993 itu justru ditempatkan di fasilitas ruang kontrol panel yang tertutup.
Nia merasakan emosi yang bercampur aduk saat akhirnya mengetahui SATRIA-1 telah benar-benar meninggalkan bumi untuk memulai perjalanan baru menuju orbitnya ke 163 Bujur Timur (BT).
"Berawal dari rancangan di kertas dan diskusi-diskusi dan akhirnya menjadi sesuatu yang kita kirim ke luar angkasa, dengan harapan nantinya bisa membawa makna untuk orang-orang yang paling membutuhkan. Ini yang membuat aku mixed emotion, senang, excited, dan bangga," katanya.
Perasaan itu wajar tercipta karena perjalanan menghadirkan SATRIA-1 mengalami pasang surut proses perjuangan yang begitu besar.
Dikerjakan sejak 2019, perjalanan pembuatan SATRIA-1 saja sudah melewati beberapa momen penting secara global dan tantangan terbesar tentu saja di tengah pandemi COVID-19.
Mengingat pembuatan SATRIA-1 dikerjakan lintas negara, hambatan dalam berkomunikasi untuk diskusi dan merealisasikan rancangan sebagai bentuk fisik satelit menjadi salah satu faktor yang sangat berperan penting.
Sebagai Insinyur Sistem Satelit di PSN, Nia telah memiliki bekal dengan banyak ilmu penting tentang satelit untuk setiap komponennya.
Beberapa komponen penting mulai dari sistem tenaga penggerak (propulsion system), sistem komunikasi, hingga sistem suhu (thermal) semuanya harus Nia kuasai secara umum.
Hal itu menjadi kunci baginya sebagai jembatan untuk perwakilan Indonesia dan pihak ketiga lainnya dalam merealisasikan SATRIA-1 dengan tepat, sesuai dengan rancangan yang ditetapkan.
"Dalam mengambil keputusan untuk proyek manufacturing satelit itu, memang harus sangat hati-hati. Karena satelit setelah diluncurkan tidak akan bisa diperbaiki kembali. Jadi banyak keputusan yang diambil secara detail," ujarnya.
Di temani dengan lagu penyemangatnya "Heated" dan "Cuff It" karya penyayi populer Beyonce, Nia dengan tekun menjalani tanggung jawabnya mengorganisir pembuatan fisik SATRIA-1.
Ketika satelit telah terbangun utuh dalam bentuk fisik, tugasnya tak berhenti sampai di situ karena ia justru harus semakin waspada dan siaga untuk proses uji coba memastikan infrastruktur telekomunikasi itu telah berfungsi dengan optimal sebelum diluncurkan.
Salah satu uji coba yang memakan waktu ialah uji coba sistem thermal, pengujian ini diperlukan untuk menyiapkan satelit bisa tetap beroperasi di luar angkasa dengan kondisi suhu ekstrem, baik di suhu dingin maupun panas.
Berbeda dengan orang yang bervakansi di momen akhir tahun 2022, Nia dan timnya harus berjaga 24/7 menantikan uji coba tersebut hingga mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Kita itu 24 jam harus stand by, kadang harus teleconference jam 10 malam, dan kita harus reaktif untuk itu. Tim dari Thales (manufaktur SATRIA-1) juga 24 jam di situ, proses ini sangat mendebarkan karena kalau ada masalah akan terlihat di uji coba ini," ujar Nia.
Bersyukur perjuangannya itu berbuah manis hingga akhirnya kini SATRIA-1 telah menuju orbitnya di luar angkasa, dan tugas Nia saat ini tinggal menantikan satelit berlabuh dan menunaikan fungsinya memancarkan jaringan internet untuk menjangkau pelosok-pelosok Indonesia dan memberikan kesetaraan akses digital.
Masa lalu, masa kini, dan masa depan
Untuk berada di jalur kariernya sebagai Insinyur Sistem Satelit di tempatnya bekerja sekarang, Nia mengaku jalannya menempuh pendidikan terbilang mulus.
Bermula dari ketertarikannya pada fenomena alam di bangku sekolah dasar, berlanjut membawanya untuk mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam yang menimbulkan kecintaannya pada matematika dan fisika di bangku sekolah menengah atas.
Pengaruh ayahnya yang juga berprofesi sebagai insiyur membuat wanita berzodiak Virgo ini akhirnya semakin tertarik dengan jurusan teknik.
Dengan dukungan dari keluarganya saat menuju pendidikan tinggi, ia pun mantap merantau ke Negeri Paman Sam dan menimba ilmu dengan jurusan teknik kedirgantaraan atau dikenal sebagai Aerospace Engineering di California Polytechnic State University.
Menyadari industri yang akan diembannya didominasi oleh pria, Nia mengaku dirinya tidak terlalu memusingkan masalah tersebut. Justru ia mengatakan posisinya sebagai perempuan membawa tantangan dan keunggulan tersendiri di industri luar angkasa.
"Menjadi wanita itu keunggulan, karena wanita punya kepekaan yang lebih baik dan memiliki kemampuan membangun unsur humanis dan dapat membangun semangat untuk timnya saat bekerja," kata Nia dengan tegas.
Di masa kini, Nia mengaku bersyukur karena mendapatkan lingkungan kerja yang mendukung generasi muda untuk berkembang.
Sebagai perusahaan pertamanya sejak meniti karier, PT Pasifik Satelit Nusantara memberikan peluang bagi dirinya mengerjakan proyek strategis nasional yang bermanfaat bagi banyak Warga Negara Indonesia.
Sembari menjalankan pemantauan dan supervisi pada SATRIA-1 yang saat ini menuju orbit, Nia menantikan proyek satelit lainnya, misalnya untuk pemanfaatan Internet of Things (IoT) yang bisa menjadi solusi baru lainnya bagi masyarakat Indonesia.
Untuk masa depan industri luar angkasa di Indonesia, tak lupa Nia membagikan harapannya agar semakin banyak generasi muda, khususnya perempuan, untuk tak takut mencoba jurusan teknik kedirgantaraan.
Menurutnya, dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, potensi pengembangan produk luar angkasa seperti satelit semakin dibutuhkan untuk menjadi solusi bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan.
"Percaya diri saja, be confident. Berani untuk keluar dari comfort zone. Karena menjadi wanita di bidang yang banyak laki-lakinya, bukanlah kekurangan tapi suatu keunggulan," katanya.
Di balik itu, Nia berharap sistem pendidikan yang saat ini mendukung karier untuk industri luar angkasa bisa lebih berkembang dengan menghadirkan kelas pemikiran kritis atau critical thinking.
Dengan demikian bisa lebih banyak tercipta para insinyur dan pemberi solusi asal Indonesia untuk mengembangkan industri luar angkasa lebih handal di masa mendatang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal Nia Asmady, penggawa wanita di balik SATRIA-1