Manado (ANTARA) - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu menyelenggarakan Konferensi Internasional ke-14 ASIALEX 2021 (Asosiasi Leksikografi Asia) pada tanggal 12—14 Juni 2021.
Kegiatan yang mengambil tema tahun ini "Leksikografi dan Dokumentasi Bahasa" merupakan dihadiri pembicara kunci pakar di bidangnya masing-masing yakni René van den Berg (SIL International), E. Aminudin Aziz (Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Indonesia), Rufus Gouws (Stellenbosch University), dan Li Lan (The Chinese University of Hong Kong, Shenzen). Konferensi yang biasa dilakukan secara berkala setahun sekali ini dilaksanakan secara daring dengan pertimbangan masa pandemi yang masih melanda dunia.
Konferensi Asosiasi Leksikografi Asia ini merupakan ajang para peneliti bahasa dan pemerhati bahasa memfokuskan kajian mereka pada bidang leksikografi dan saling bertukar pendapat mengenai masalah yang dihadapi dunia saat ini, di antaranya bahasa-bahasa terancam punah. Termasuk juga penulis yang bernaung dalam Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Perkamusan dan Peristilahan (KKLP) sebagai anggota sekaligus peneliti di Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara. Penulis mencermati bahasa daerah di wilayah kerja Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara di Provinsi Sulawesi Utara yang dikategorikan terancam punah, yaitu bahasa Ponosakan.
Provinsi Sulawesi Utara memiliki sepuluh bahasa daerah yang tersebar di wilayah penuturnya masing-masing. Kesepuluh bahasa tersebut tercatat dalam laman Badan Bahasa, yakni https://petabahasa.kemdikbud.go.id/provinsi.php?idp=Sulawesi%20Utara. Manoppo-Watupongoh pun mengulas secara rinci kesepuluh bahasa daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Utara tersebut dalam disertasinya terbitan tahun 1983, yakni Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada Abad ke-19. Manoppo menyatakan kesepuluh bahasa daerah tersebut, yaitu (1) bahasa Bantik; (2) bahasa Mongondow; (3) bahasa Gorontalo; (4) bahasa Melayu; (5) bahasa Minahasa; (6) bahasa Minahasa Tonsawang; (7) bahasa Minahasa Tonsea; (8) bahasa Pasan; (9) bahasa Ponosakan; dan (10) bahasa Sangihe Talaud.
Manoppo selanjutnya menyatakan bahasa Minahasa di wilayah Sulawesi Utara dahulu pernah dipetakan oleh Riedel pada tahun 1858 sebanyak delapan bahasa, yaitu Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tolour, Tounsawang, Bantik, Bentenan atau Pasan, dan Ponosakan. Manoppo pun menyatakan Adriani pada tahun 1925 membagi dua kategori bahasa Minahasa di wilayah Sulawesi Utara sebagai bahasa Minahasa asli, yaitu Tombulu, Tonsea, Toulour, Tountemboan, dan Tounsawang. Adapun bahasa bukan asli Minahasa, yaitu Bantik dan Bentenan yang berkerabat dengan bahasa Sangir, Ponosakan, bahasa yang digolongkan Adriani sebagai ragam tua dari bahasa Mongondow, dan bahasa Bajo.
Terbilang sekian banyak bahasa daerah yang hidup di wilayah Provinsi Sulawesi Utara teregistrasi satu bahasa daerah dalam laman Badan Bahasa, https://dapobas.kemdikbud.go.id/homecat.php?show=url/regbahasa&cat=5, yang dikategorikan terancam punah, yaitu bahasa Ponosakan. Mengacu pada laman KBBI daring disebutkan Ponosakan merupakan bahasa yang dituturkan oleh suku Ponosakan, suku bangsa yang mendiami daerah Kabupaten Minahasa. Bahasa Ponosakan hidup di wilayah tutur Kabupaten Minahasa Tenggara, tepatnya di Kecamatan Belang.
Bahasa Ponosakan terancam punah karena saat ini penuturnya bukan lagi masyarakat yang mendiami desa-desa di Kecamatan Belang, tetapi hanya tersisa satu desa yang masih aktif menggunakan bahasa ini, yaitu Desa Tababo. Bahkan, penutur yang fasih bertutur bahasa ini diungkapkan Jason William Lobel melalui ulasannya dalam Notes from the Field: Ponosakan: The Sounds of a Silently Dying Language of Indonesia, with Supporting Audio diterbitkan pada tahun 2016. Lobel (2016) menyatakan hanya ada empat orang dengan usia antara 70 hingga 92 tahun dalam temuannya selama rentang waktu 2015—2017 mendokumentasikan bahasa yang terancam punah ini. Tentu bahasa Ponosakan perlu mendapat perhatian utama dan serius melihat penutur bahasa ini yang tidak terbilang banyak jumlahnya.
Penutur bahasa yang terbatas akan berimbas pada daya hidup bahasa tersebut. Hal ini dicermati oleh Unesco (2003) yang menilai daya hidup bahasa dan menggolongkan keadaan bahasa ke dalam enam tingkat. Adapun perinciannya, yaitu (1) aman: bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antargenerasi tidak terputus; (2) rentan: bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu; (3) terancam: anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu; (4) sangat terancam: bahasa hanya digunakan antargenerasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak; (5) hampir punah: hanya generasi tua yang dapat menuturkan, tetapi jarang digunakan; (6) punah: tidak ada penuturnya. Mengacu pada hasil kajian Lobel (2016) maka bahasa Ponosakan dikategorikan ke dalam bahasa terancam punah, karena para penutur yang fasih hanya ada empat orang dan itu pun dengan usia yang terbilang sepuh.
Simpulan ilmiah atas bahasa Ponosakan yang dikategorikan ke dalam bahasa terancam punah hasil penyisiran Lobel (2016) di Desa Tababo tentu dibuktikan secara empiris. Secara tidak langsung, bahasa Ponosakan telah dikenalkan di tingkat dunia melalui ulasan ilmiah Lobel. Menduniakan bahasa Ponosakan melalui penulisan artikel ilmiah yang dilakukan oleh Lobel juga patut digugu dan ditiru oleh pemerhati atau peneliti bahasa dari negara sendiri. Betapa pemerhati bahasa dari belahan dunia lain telah terjun langsung ke wilayah Ponosakan, Kabupaten Minahasa Utara untuk menekuni bahasa Ponosakan. Bahasa terancam punah ini belum terdokumentasi dengan baik oleh pemerhati bahasa dari dalam negara sendiri atau bahkan daerah sendiri. Sangat disayangkan apabila data bahasa Ponosakan belum terdokumentasikan dengan baik mengingat jumlah penutur yang terbatas dan rata-rata sudah sepuh.
Semoga tulisan ini dapat memantik dan menggugah para peneliti bahasa dan pemerhati bahasa di Sulawesi Utara untuk mengindahkan bahasa yang terancam punah di wilayahnya, yaitu bahasa Ponosakan. Di sisa waktu yang ada semoga dapat dimaksimalkan untuk mulai mendokumentasikan bahasa dan budaya yang ada dalam bahasa Ponosakan dengan baik sebelum tergerus karena penutur fasihnya hanya dapat dihitung dengan jemari.
(Penulis adalah Peneliti Bahasa sekaligus Anggota KKLP Perkamusan dan Peristilahan di Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara
Posel: nurul.qomariah73@gmail.com
Berita Terkait
Hari Disabilitas Internasional, sebuah refleksi "MENGGAPAI MIMPI"
Selasa, 3 Desember 2024 17:48 Wib
Fenomena petahana yang tertahan di Pilkada Sulut 2024.
Kamis, 28 November 2024 8:08 Wib
Literasi keuangan 3T hingga disabilitas: Langkah kecil perlindungan konsumen di era digital
Selasa, 5 November 2024 6:40 Wib
Menyalakan cahaya keluarga setelah lama menunggu aliran listrik
Rabu, 30 Oktober 2024 16:59 Wib
Mengubah pandemi jadi peluang: Produk pala dan dukungan SheHacks Innovate untuk UMKM perempuan
Minggu, 20 Oktober 2024 19:22 Wib
Oneal Alanzka dari DJ kini berkarir di BNN
Jumat, 4 Oktober 2024 23:09 Wib