Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, memanggil Direktur Utama PT Pengerukan Indonesia (Rukindo) Wahyu Hardiyanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan "Quay Container Crane" (QCC) di PT Pelindo II.
Wahyu yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Engineering PT Pengembang Pelabuhan Indonesia itu dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJL).
"Hari ini dijadwalkan pemeriksaan terhadap Dirut Rukindo Wahyu Hardiyanto sebagai saksi untuk tersangka RJL terkait tindak pidana korupsi pengadaan QCC di PT Pelindo II," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Dalam penyidikan kasus tersebut, KPK pada Kamis (23/1) juga telah memeriksa RJ Lino dalam kapasitasnya sebagai tersangka. Sebelumnya, KPK terakhir kali memeriksa RJ Lino sebagai tersangka pada 5 Februari 2016.
Selain itu untuk hasil audit kerugian negara dalam kasus tersebut, KPK secara resmi belum menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Namun, sebelumnya telah ada paparan awal oleh tim auditor BPK bersama dengan KPK mencocokkan data yang telah dimiliki oleh KPK sebelumnya. Langkah tersebut sebagai bagian menyempurnakan LHP BPK," ucap Ali di gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/1).
RJ Lino sampai saat ini belum ditahan KPK meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Desember 2015.
RJ Lino ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga menimbulkan in-efisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino selaku Dirut PT Pelindo II demi menguntungkan dirinya atau orang lain.
Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS (sekitar Rp50,03 miliar) berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011.