Hamilton (ANTARA) - PBB menyatakan Israel telah menolak atau menghalangi sebagian besar misi bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza sepanjang bulan Juni, yang sangat menghambat upaya bantuan kemanusiaan di tengah memburuknya kondisi warga sipil.
“Melihat kembali bulan Juni, dari hampir 400 upaya koordinasi tersebut, 44 persen langsung ditolak oleh otoritas Israel. Sementara 10 persen lainnya awalnya disetujui tetapi kemudian menghadapi hambatan,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam konferensi pers pada Kamis (3/7).
“Hanya sepertiga difasilitasi sepenuhnya,” katanya, sementara “sekitar 12 persen harus dibatalkan oleh penyelenggara karena alasan logistik, operasional, atau keamanan.”
Mencatat bahwa operasi kemanusiaan terus menghadapi hambatan setiap hari, Dujarric mengatakan bahwa pada Kamis saja, Israel menolak 4 dari 15 upaya kemanusiaan terkoordinasi untuk merelokasi pasokan medis atau memindahkan puing-puing, di antara operasi penting lainnya.”
Ia juga menyoroti jumlah korban tewas di kalangan pekerja kemanusiaan, dengan melaporkan bahwa sejak Kamis lalu, sembilan orang dari lima organisasi telah tewas.
“Ini membuat jumlah pekerja bantuan yang tewas menjadi 107 orang sepanjang tahun ini, dan 479 orang sejak Oktober 2023. Di antara mereka terdapat 326 staf PBB,” ucapnya.
Mengenai perintah evakuasi yang terus dilakukan oleh Israel, Dujarric memperingatkan bahwa ruang yang tersisa bagi warga sipil untuk tinggal semakin menyempit dari hari ke harinya.
Israel mengeluarkan perintah pengungsian lainnya pada Rabu (2/7) untuk sejumlah wilayah di Gaza.
“Para mitra memperkirakan sekitar 40.000 orang berada di area-area tersebut, termasuk satu lokasi pengungsian, satu titik medis, dan satu lingkungan yang sebelumnya terhindar dari perintah evakuasi sejak sebelum gencatan senjata. Hingga hari ini, diperkirakan sekitar 900 keluarga telah mengungsi,” kata Dujarric.
Mengutip Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), dirinya mencatat bahwa lebih dari 50 perintah pengungsian telah dikeluarkan sejak pertengahan Maret, yang sekarang mencakup 78 persen wilayah kantong itu.
“Jika digabungkan dengan zona-zona yang dimiliterisasi oleh Israel, persentasenya meningkat menjadi 85 persen, sehingga sisanya hanya 15 persen wilayah yang benar-benar bisa dihuni oleh warga sipil,” ungkapnya.
Ia menggambarkan wilayah yang tersisa sebagai terlalu padat dan sangat kekurangan layanan serta infrastruktur yang layak.
Dia juga membandingkan kondisinya seperti lebih dari 2 juta orang terjebak di Manhattan, yang sedikit lebih besar dari Gaza, namun alih-alih bangunan, wilayah tersebut dipenuhi puing-puing bangunan yang hancur dan dibakar tanpa infrastruktur atau dukungan dasar apa pun.
“Dan di Gaza, wilayah-wilayah yang tersisa ini juga terfragmentasi dan tidak aman,” ujar Dujarric.
Sumber: Anadolu