Manado (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Utara, Jacob Hendrik Pattipeilohy, menyebutkan sanksi sosial dalam KUHP baru adalah bentuk hukuman yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial.
"Pelaksanaan pidana kerja sosial ini memiliki dasar hukum yang sangat jelas dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana," kata Kajati Hendrik di Manado, Rabu.
Undang-undang tersebut, kata dia, menegaskan dalam pasal 65 ayat (1) huruf d, bahwa pidana kerja sosial merupakan salah satu jenis pidana pokok.
"Artinya pidana kerja sosial bukan hanya pilihan tambahan, namun merupakan bagian resmi dari sistem pemidanaan yang diikuti oleh seluruh penegak hukum di Indonesia," katanya menambahkan.
Beberapa contoh sanksi sosial yang diatur dalam KUHP baru adalah pidana kerja sosial, di mana pelaku tindak pidana diwajibkan melakukan pekerjaan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti membersihkan tempat ibadah, menyapu jalan, atau kegiatan lainnya yang berguna bagi lingkungan.
Selanjutnya, pengawasan, di mana pelaku tindak pidana diwajibkan melapor secara berkala kepada pihak berwenang dan mengikuti program rehabilitasi.
Berikutnya, denda, pelaku tindak pidana diwajibkan membayar denda sebagai ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.
Pengumuman putusan hakim, di mana putusan hakim diumumkan secara terbuka kepada publik sebagai bentuk sanksi sosial.
Terakhir, pemenuhan kewajiban adat setempat yang mana pelaku tindak pidana diwajibkan memenuhi kewajiban adat yang berlaku di komunitas tertentu sebagai bentuk pemulihan sosial.
"Sanksi sosial ini bertujuan untuk memperbaiki perilaku pelaku tindak pidana dan membuatnya sadar akan kesalahan yang telah dilakukan, serta memberikan kontribusi positif bagi masyarakat," ujarnya.
Kajati menambahkan, KUHP baru membawa perubahan besar dalam sistem pemidanaan nasional.
Salah satu wujud reformasi tersebut adalah penguatan pendekatan 'restorative justice', yaitu pendekatan yang mengedepankan pemulihan, edukasi, dan pembinaan sosial, bukan semata-mata penghukuman melalui pemenjaraan.
"Melalui paradigma ini, negara ingin memastikan bahwa penegakan hukum tidak hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga membangun kembali hubungan sosial," sebutnya.
Selain itu, memberikan ruang bagi pelaku untuk bertanggung jawab, dan menciptakan keseimbangan baru antara masyarakat, pelaku, dan kepentingan umum.
Dalam kerangka tersebut, pidana kerja sosial hadir sebagai instrumen penting, ujarnya.

