Manado (ANTARA) - Di masa ketika informasi dapat diakses dalam hitungan detik, perpustakaan ditantang untuk tetap relevan dan mampu memainkan perannya sebagai wadah literasi atau sumber informasi.
Pertanyaan besarnya adalah apakah perpustakaan menjadi semakin tertinggal atau justru menjadi pionir transformasi literasi digital? Generasi muda saat ini masih berharap perpustakaan mampu menyediakan buku yang update serta mendukung pengalaman belajar yang cepat, fleksibel dan interaktif.
Menurut data International Federation of Library Associations (IFLA 2022), arah transformasi perpustakaan global bergerak menuju integrasi antara ruang fisik, digital dan sosial.
Hal ini menuntut redefinisi peran perpustakaan dari tempat penyimpanan menjadi pusat kolaborasi, inovasi dan pemberdayaan masyarakat.
Perpustakaan masa kini dapat menjelma sebagai pusat literasi digital berupa ruang inklusif untuk belajar coding, memahami keamanan data hingga mengakses jurnal ilmiah dan e-book.
Layanan daring iPusnas dari Perpustakaan Nasional RI merupakan contoh sukses yang memungkinkan jutaan pengguna dapat membaca ribuan buku langsung dari genggaman ponsel.
Selain itu, integrasi kecerdasan buatan (AI) dalam sistem katalog, chatbot referensi dan webinar edukatif menunjukkan bahwa keberadaan teknologi mampu menghidupkan kembali daya tarik perpustakaan.
Pemustaka zaman now tidak hanya butuh informasi namun juga ruang saling berinteraksi, berekspresi dan terus bertumbuh. Merespons kebutuhan itu, perpustakaan perlu bertransformasi menjadi ruang diskusi, co-working space, studio kreatif dan bahkan pusat kegiatan komunitas.
Taman Baca Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Bogor telah membuktikan bahwa memadukan buku dengan pelatihan keterampilan praktis dapat memberdayakan masyarakat secara nyata.
Untuk memenuhi kebutuhan pemustaka modern, seperti akses terhadap jurnal nasional dan internasional hingga pelatihan keterampilan kerja, beberapa solusi kreatif dapat diterapkan oleh perpustakaan antara lain:
Layanan rekomendasi berbasis minat, seperti algoritma yang diterapkan dalam aplikasi musik atau film serta difokuskan pada buku dan konten edukasi.
Kelas daring kolaboratif merupakan cerminan kerjasama dengan pihak kampus, komunitas dan startup.
Pustakawan sebagai fasilitator pembelajaran diyakini dapat memperkuat peran pustakawan, tidak hanya sekedar penjaga perpustakaan dan koleksi buku semata, namun juga sebagai fasilitator proses belajar yang efektif.
Transformasi perpustakaan tentu tidaklah mudah yang akan selalu dihadapkan pada tantangan nyata, seperti keterbatasan anggaran serta keterbatasan dan kesiapan SDM pustakawan. Menurut Perpusnas (2023), hanya sebagian kecil perpustakaan yang memiliki akses internet stabil dan koleksi digital.
Pustakawan sebagai aset penting dalam pengelolaan perpustakaan juga masih belum dibekali dengan pelatihan yang memadai terkait penguasaan teknologi informasi dan pemanfaatan media digital atau literasi data.
Di sisi lain, adanya persepsi publik yang masih menganggap perpustakaan sebagai tempat yang kaku, sepi dan kuno. Beberapa strategi patut dicoba untuk mengatasi tantangan tersebut:
Perpustakaan hybrid diaplikasikan dengan mengadakan layanan fisik dan digital yang terintegrasi. Pengguna dapat membaca fisik buku di perpustakaan dan melanjutkan akses membaca secara digital di rumah.
Kolaborasi komunitas dan startup menjadi ruang yang perlu dieksplorasi, seperti menyelenggarakan pelatihan, diskusi hingga produksi konten digital.
Rebranding ruang perpustakaan menjadi ruang kreatif yang instagramable didukung zona edukatif, mural dan konten interaktif.
Peningkatan kompetensi pustakawan dapat dilakukan melalui pelatihan AI, machine learning dan pemanfaatan big data untuk kebutuhan desain layanan secara tepat sasaran.
Menurut World Bank (2020), peningkatan literasi digital berkontribusi langsung pada produktivitas ekonomi dan keterlibatan sosial. Perpustakaan yang adaptif tidak hanya dapat meningkatkan minat baca, namun juga dapat menjadi pendukung produktivitas nasional.
Di era pemustaka digital, perpustakaan perlu dioptimalkan sebagai lokasi pertemuan antara pengetahuan dan kreativitas, menjadi wadah bagi orang untuk membaca, berpikir, mencipta dan saling berkolaborasi untuk masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya yang mampu membangun jalan dan gedung, tetapi juga mampu membangun perpustakaan dengan semangat literasi dan menjadikannya hidup untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai generasi masa depan.
Referensi: Perpustakaan Nasional RI. (2023). Statistik Perpustakaan Indonesia, IFLA Trend Report. (2022), World Bank. (2020). Digital Economy for Indonesia.
# Penulis: Raja Alfredo Siregar, Christian Elric Koba