Manado (ANTARA) - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk berkomitmen meningkatkan produksi baja guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri, sekaligus mengurangi impor.
"Kami akan tingkatkan produksi sehingga impor dapat diminimalisir, sesuai arahan Bapak Presiden. Tentu (peningkatan produksi) ini juga akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan negara berupa penghematan devisa," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam keterangannya yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan terdapat tren kenaikan konsumsi baja dalam lima tahun terakhir. Menurut dia, pada 2014 konsumsi baja Indonesia mencapai 50 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara, pada 2019, jumlah tersebut naik hingga 71 kg per kapita per tahun.
Ia mengatakan kenaikan konsumsi baja merupakan peluang bagi industri baja nasional. Namun, kondisi ini justru dimanfaatkan oleh oknum pedagang untuk melakukan impor.
Pada kuartal IV 2020, Indonesia telah mengimpor baja hingga 1,1 juta ton dengan nilai sebesar 764 juta dolar AS. Jumlah tersebut naik hingga 19 persen pada kuartal I 2021 menjadi 1,3 juta ton dengan nilai sebesar 1 miliar dolar AS.
"Alasan impor itu bisa dicari, tetapi yang kami inginkan bersaing secara fair. Baja yang diimpor kadang-kadang tidak sesuai standar nasional, jadi konsumen yang dirugikan," ujarnya.
Ia menambahkan kebutuhan dalam negeri terhadap hot rolled coil (HRC) sebesar 3,9 juta ton bahan baku. Sementara produk turunan lain seperti plate membutuhkan sebesar 1,5 juta ton.
Oleh sebab itu, Silmy menyampaikan Krakatau Steel akan meningkatkan kapasitas produksi, salah satunya dilakukan dengan mengoperasikan pabrik hot strip mill yang diproyeksikan sanggup memproduksi HRC 1,5 juta ton per tahun.
Untuk mempercepat kapasitas produksi, pihaknya juga akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tambahan pada 2025, serta memproduksi turunan baja pada 2022.
"Komoditas baja ini semakin meningkat seiring waktu. Kalau kita tingkatkan produksi, sementara pemerintah menata kebijakan impor, kami optimis negara bisa berhemat hingga Rp29 triliun, atau bisa lebih besar lagi," ujarnya.