Manado (ANTARA) - Sidang lanjutan dugaan Tipikor dana hibah ke sinode GMIM kembali digelar Rabu (1/10) memunculkan sejumlah fakta baru. Tim penuntut umum (JPU) yang dipimpin Jaksa Pingkan Gerungan, menghadirkan empat saksi fakta, yakni Evert Tangel, Recky Montong, Windy Lucas dan Gery Rengku.
"Saya tahu dana hibah, tetapi NPHD tidak tahu karena tidak pernah lihat. Makanya saya sebut dana yang masuk ke kas sinode itu sudah bercampur baur bersama dengan pemasukan lainnya, karena sumber pendapatan GMIM ada juga yang lain selain dana hibah," kata mantan bendahara umum Sinode GMIM, Ricky Montong, dalam sidang yang dipimpin, Achmad Peten Sili, selaku ketua majelis hakim Tipikor.
Montong menjelaskan, GMIM mendapatkan dana hibah pada 2020 sebesar Rp 5,5 miliar, 2021 sebesar Rp 4,5 miliar, 2022 Rp 7,5 miliar, masuk ke rekening GMIM, dan dana bisa dicairkan setelah ada tanda tangan dari bendahara dan ketua sinode namun yang melakukan penarikan adalah kepala bagian keuangan.
Dia juga mengatakan semua dana hibah yang masuk ke rekening GMIM, yang berdasarkan permintaan yang biasanya ada proposal ke pemerintah, juga mengetahui mengenai hal itu, namun mengakui tidak pernah melihat NPHD, meskipun dia tanda tangan, karena itu disebut undang-undang sebab tidak tahu namanya NPHD.
Montong juga mengakui bahwa semua dana yang masuk termasuk sentralisasi jemaat dan hibah dari pemerintah bercampur jadi satu rekening, transaksinya bersama dengan yang lain nanti teridentifikasi sebagai dana hibah ketika sekretariat meminta bukti-bukti untuk mendukung NPHD, baru staf mengambil dokumen pendukung yang berhubungan dengan kegiatan itu teridentifikasi sebagai NPHD, ketika keluar dari transaksi harian uang itu bercampur di satu rekening.

Montong juga mengatakan, tidak tahu aturan main, sebab tidak melihat NPHD, namun dia mencontohkan pemanfaatan dana hibah seperti untuk membiayai kegiatan kerukunan keluarga pendeta dan guru agama sebesar Rp 1,5 miliar dan mencairkan Rp 2 miliar, jadi dana Rp 1,5 miliar tersebut diambil secara tunai untuk dimasukkan ke dalam sampul, namun dia menegaskan tidak tahu persis aturan main pemanfaatan dana hibah, cuma ingat jika jenis dana seperti itu harus habis dipakai di akhir tahun anggaran, dan ada enam larangan untuk pemanfaatan dana hibah tak boleh untuk poin - poin tersebut.
Dalam kesaksian, Montong juga menjelaskan mengenai pembangunan rektorat UKIT, hanya terlibat di awal - awalnya mencari tukang, setelah itu sudah lepas jabatan Bendum, jadi wakil ketua, namun sempat menjelaskan mengenai pemanfaatan lainnya untuk beasiswa bagi mahasiswa fakultas theologi, kemudian pembangunan gedung rektorat pembangunan rumah sakit, namun pelaksanaan pekerjaan fisik pembangunan tidak melalui proses tender atau lelang tapi langsung dikerjakan sendiri di mana mereka mencari tukang sendiri.
Sementara saksi Windy Lucas, dalam kesaksian, mengatakan, di masa menjabat bendahara, dana hibah termasuk dana insentif daerah (DID) yang masuk totalnya Rp 5,9 miliar, juga menjelaskan pemanfaatan anggaran ke kegiatan dewan gereja dunia dimana dirinya ditugaskan ikut, dan mengajak suaminya menemani, tetapi biaya suaminya ditanggung sendiri, dan dia awalnya menggunakan dana sendiri, kemudian barulah dia meminta penggantian sebab pergi ke Jerman atas penugasan gereja, barulah kemudian ketika diperiksa di Polda dia tahu kalau pemanfaatan dana itu menggunakan dana hibah, yang dilarang, sehingga memilih mengembalikan dengan menitipkan dana sekitar Rp 52-an juta ke penyidik.
Windy mengakui saat bendahara ada terima dana insentif daerah pada 2023, sebesar Rp 1,2 miliar, dana diperuntukan bagi pekerja kerohanian seperti kostor dan langsung ke rekening penerima, by name by addres, dimana datanya sudah dipegang staf sekretariat, dan mengenai dana hibah, pencairannya ditandatangani ketua dan bendahara pemilik spesimen lalu diambil oleh kabag keuangan.
Sementara ketika penuntut umum, Pingkan Gerungan, menanyakan bagaimana pengelolaan keuangan berdasarkan tata gereja, karena itu diatur, namun Windy mengatakan ada yang dia tahu ada yang diketahuinya, karena untuk pengambilan uang ke bank diteken sementara kalau ambil di kas kecil tidak lagi diberitahukan, langsung ambil di kas kecil, dan terungkap ada kas kecil di GMIM.
Sementara ketika Gerungan menekankan agar menjelaskan fakta khusus pengelolaan dana hibah, dijawab ketika pengambilan uang di bank, sudah dicampur dengan operasional, kemudian dipilah Kabag keuangan dipakai sesuai peruntukannya, dan jaksa mengingatkan saksi, bahwa dalam pengelolaan keuangan, dalam pemahaman penuntut umum, bendahara itu paham betul dengan aturan main pengelolaan dana tidak terkecuali, namun dijawab Windy Lucas bahwa dalam pengelolaan dana hibah tidak dilbatkan.
"Karena untuk dana hibah, diatur langsung Kabag Keuangan dan Ketua sinode, dan saya tidak membuat laporan pertanggungjawaban khusus dana hibah," katanya.
Kedua saksi juga menegaskan mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan dan pembuatan proposal, hanya menandatangani saja, bahkan Montong mengatakan tidak mendengar tentang hibah, di bidang keuangan dan perbendaharaan tidak dibahas tentang hibah, makanya bagian bantuan pemerintah hanya ditulis pre memory saja, penuntut juga menanyakan apakah membaca proposal sebelum diajukan, dijawab baca tetapi tidak teliti, mereka juga mengatakan pernah ada dana hibah yang tersisa, di akhir tahun 2020, karena masuk saat kantor sinode libur dan yang akhirnya dana tersebut tersisa, sementara pekerjaan pembangunan sudah berlangsung, sehingga dijadikan sebagai pengganti dana milik GMIM yang sudah dipakai sebelumnya dan bukti pembelanjaan dijadikan sebagai bagian pertanggungjawaban, dan waktunya mundur.
Selain kedua saksi tersebut, ada juga saksi Evert Tangel, yang masih dalam pemulihan dari sakit, yang lebih banyak menjawab tidak ingat dan tidak tahu, meskipun mengakui tahu tentang NPHD, dan bendahara kegiatan perkemahan kreatif pemuda gereja, Gery Rengku, yang menjelaskan mengenai kegiatan yang menghabiskan dana Rp 1 miliar dan semuanya dipertanggungjawabkan.

