Manado(AntaraSulut) -Para ulama atau kyai di berbagai pondok pesantren sudah terbiasa melayani santri untuk dicium tangannya setiap hari. Dan, karenanya, oleh para santri diyakini bahwa ilmu yang disampaikan kepadanya mudah mengalir bagai air yang kemudian meresap ke lubuk hatinya.
Para ulama pun meyakini, silaturahim dengan banyak bersalaman kepada sesama akan meningkatkan kualitas komunikasi. Termasuk pula dengan para santri-santinya. Silatirahim sangat dianjurkan dan akan semakin baik, karena membuka pintu rezeki dari segala arah. Begitu pula dengan kiyai atau guru. Maka, ciumlah tangan gurumu, maka Allah akan membukakan pintu Rahmat kepadanya. Ilmumu pun akan bertambah. Contoh tentang hal ini sudah banyak, tapi banyak yang tidak menyadarinya.
Sungguh menggembirakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengingatkan masyarakat untuk tetap menghormati guru. Dan pada momentum perayaan Hari Guru pada 25 November lalu, ia pun minta masyarakat tidak hanya merayakan dengan seremonial, namun juga melakukan gerakan nyata, kunjungi dan cium tangan guru. Dahulu, jika menjumpai guru di jalan atau di tempat lain, sang murid cukup mengatakan selamat siang, selamat sore kepada bapak atau bu guru sambil membungkukkan badan.
Anjuran Anies Baswedan itu sebetulnya sudah ada yang menjalankan. Contohnya di Jakarta. Suatu pagi di Jalan Budi Oetomo Jakarta, seorang guru berdiri di pintu gerbang Sekolah Menengah Kejuruan Teknik (SMKT) , yang pada zaman "doeloe" dikenal sebagai STM Boedi Oetomo (Boedoet). Di situ nampak satu per satu siswa yang melintas pintu gerbang sambil mencium tangan guru bersangkutan sebelum melangkahkan kakinya ke halaman sekolah.
Guru bersangkutan nampak bahagia. Ia kerap kali melempar senyum kepada para siswa yang baru turun dari kendaraan orang tua. Mereka terlihat tergopoh-gopoh memasuki halaman sekolah. Para siswa terlihat berseragam necis. Saat siswa tak lagi terlihat datang dan suasana menjadi sepi di mulut pintu, guru yang sejak pagi berdiri di gerbang sekolah itu pun beranjak masuk ke dalam. Lantas, tak lama kemudian, bel sekolah pun berbunyi sebagai tanda dimulainya aktivitas rutin di sekolah tersebut.
Menarik kegiatan guru berdiri tiap hari di pintu gerbang sekolah tersebut. Sejatinya kehadiran guru di situ bukan untuk diminta agar tangannya dicium para siswa. Tapi sang guru memperhatikan satu per satu siswa yang datang, menjalin komunikasi batin.
Dari bentuk cara komunikasi cium tangan guru dan siswa tertanam pembelajaran memberi hormat kepada orang yang lebih tua. Termasuk bisa melahirkan komunikasi lebih baik lagi antara anak dan orang tua karena sudah dibiasakan menjalin komunikasi dengan cara-cara yang sangat santun.
STM Boedi Oetomo pada zaman dahulu dikenal warga Jakarta dengan "warna gelap". Saat terminal bus Lapangan Banteng digunakan, siswa sekolah itu kerap bikin "pusing" warga dan karyawan kantor sekitar. Sering tawuran dan melakukan aksi kekerasannya. Syukur, dan diharapkan seterusnya, aksi negatif dari siswanya tak ada lagi seperti kejadian lalu.
Kondisi itu kini berubah 180 derajat. Terlihat cium tangan kepada orang yang lebih tua yang mengantar anaknya ke sekolah itu, kemudian disusul cium tangan kepada guru. Hal itu merupakan wujud rasa hormat.
Soal bersalaman dan cium tangan memang punya makna tersendiri. Jika bersalaman antarsesama dengan kedudukan setara, bisa dimaknai sebagai ungkapan mengucapkan selamat, memberi apresiasi dan membuat persetujuan. Jabat tangan bisa dilakukan pula saat berkenalan dengan orang yang pertama kali dijumpai. Berjabat tangan dengan sesama rekan ketika tiba di kantor bisa menggugurkan dosa-dosa dari keduanya.
Namun yang jelas mencium tangan merupakan niat baik ditujukan kepada pihak yang tangannya dijabat. Secara implisit, jabat tangan mengirimkan isyarat keterbukaan. Kebiasaan itu merupakan wujud komunikasi nonverbal. Secara universal pada beberapa budaya jika dijumpai orang yang menolak jabatan tangan atau dicium tangannya tanpa alasan bisa disebut kurang sopan. Bahkan tak mau memberi maaf atau masih menyimpan rasa permusuhan.
"Untuk merayakan Hari Guru, kami minta seluruh rakyat Indonesia merayakan dengan cara menghormati guru, bukan sekedar upacara seremoni di sekolah-sekolah. Saya tanya, kapan terakhir kita mendatangi SD, SMP dan SMA kita untuk mengucapkan terima kasih?" kata Anies usai peluncuran album "Salam 3 Jari" .
Anies menilai, jika gerakan itu dapat dilakukan secara massal, maka akan tumbuh kesadaran untuk lebih menghargai profesi guru.
"Kalau kita bisa dorong masyarakat lakukan itu, datangi guru, cium tangannya, tanya kabarnya, ucapkan terima kasih, bukan hanya lewat lisan atau seremonial, maka kita akan mendadak sadar betapa kita sudah berubah banyak, sedangkan guru kita tetap sama," katanya.
Anies menyatakan, tidak sependapat jika guru disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, karena pada kenyataannya setiap orang adalah pembawa jasa-jasa guru.
"Semua orang yang ada di sini membawa bekas jasa guru. Guru bukan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tapi dengan tanda jasa," katanya.
Gerakan memuliakan guru harus terus berlanjut, maka akan menjadi sebuah semangat yang cepat menular. "Memuliakan guru bisa dilakukan siapa saja, tak perlu jadi orang besar. Seandainya kita cuma kerja di bengkel, kalau ada guru, maka dahulukan guru," katanya.
Dengan gerakan seperti itu, Anies mengatakan, masyarakat tidak akan membebankan kemajuan pendidikan di pundak pemerintah saja. "Yang bergerak jangan hanya pemerintah. Pemerintah tanggung jawabnya melunasi semua urusan mulai dari tunjangan dan lain-lain, tapi menghargai guru harus dimulai dari masyarakat," kata Anies Baswedan.
Hari Guru Nasional (HGN) ke-69 digelar di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (24/12). Hadir selaku inspektur upacara, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan.
Menteri Anies mengucapkan selamat kepada para guru yang telah membuat kemajuan bangsa Indonesia. Guru dinilai sebagai hulu dari kemajuan bangsa Indonesia sehingga ia meminta semua elemen menghormati guru. "Izinkan saya sampaikan apresiasi bapak atau ibu yang telah mengemban tugas mulia dan mengabdi dengan hati," kata Anies.
Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun. Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Belum sejahtera
Hari lahir guru ditandai dengan berdirinya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Kusdiyono, pemerhati sosial mengungkap bahwa semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.
Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak "merdeka".
Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata ¿Indonesia¿ yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata ¿Indonesia¿ ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 - 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah ¿ guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres inilah, pada 25 November 1945, atau 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.
Ketua PGRI Jatim Ichwan Rahmadi mengatakan, ada tiga kewajiban penting guru. Pertama, wajib memiliki kualifikasi akademik minimal S-1. Kedua, mempunyai empat kompetensi. Yakni, pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Di antara empat itu, yang paling ditekankan adalah kepribadian. "Sepintar apa pun, guru harus punya kepribadian yang baik karena akan dicontoh murid," ucapnya. Ketiga, memegang sertifikat pendidik melalui sertifikasi.
Ichwan yakin banyak guru yang belum sejahtera. Terutama guru non-PNS yang mengajar di sekolah swasta. Juga, guru di pondok pesantren. Padahal, banyak yang berkualitas. PGRI mengusulkan kepada pemerintah supaya menerbitkan PP tentang upah minimum guru.
PGRI, kata dia, tidak hanya memperjuangkan nasib guru negeri, tapi juga swasta. Termasuk, guru dengan status K-2. Di satu sisi, PGRI mengimbau guru agar tidak hanya menuntut tunjangan dari pemerintah. Tapi, harus memenuhi kewajibannya dulu, baru menuntut haknya.