Sitaro (ANTARA) - Berpesmilih, mungkin kata yang pas bagi sejumlah awak media Jumat (27/5) yang tidak bisa menahan air mata saat mewawancarai Mauren Manope (8), bagaimana dia (Mauren) merawat ibu, nenek dan kedua pamannya yang mengalami kelumpuhan.
Bagaimana tidak, Mauren merupakan siswi kelas 2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Inpres Kanang ini, harus diperhadapkan dengan kondisi rumah kecuali dia, semua anggota keluarga adalah penyandang disabilitas, belum lagi kakeknya Corneles Manope yang menjadi tulang punggung keluarga telah meninggal dunia setahun silam.
Kondisi rumah seperti ini memaksakan Mauren menjadi seperti orang dewasa pada umumnya setiap pagi, menyapu, mencuci alat-alat makan, bahkan mengganti popok sang nenek (Rokania Daraeng), hingga menyuapi makanan nenek dan ibunya ( Mathilda Manope).
Setiap pagi kegiatan ini dilakukan Mauren tanpa kenal lelah dan persungutan. "Dia tidak ada persungutan bahkan melakukannya dengan senang hati," ungkap salah satu kerabat.
Sementara itu, Mauren saat ditanya awak media cita-citanya bila selesai sekolah, cucu satu-satunya dikeluarga ini mengungkapkan dengan polos ingin menjadi dokter. "Ingin menjadi dokter," ungkap Mauren, seraya menambahkan, ingin menjadi dokter, supaya boleh merawat dan mengobati mamanya.
Perlu diketahui, keluarga Manope-Daraeng adalah salah satu keluarga di Lindongan 2, Desa Buise Kecamatan Siau Timur (Sitim), yang selain Mauren Manope keempat anggota keluarga lainnya penyandang disabilitas dimana mengalami kelumpuhan.
Cerita berawal pada pertengahan tahun 2014, ketika Rokania Daraeng mengalami kram dibagian telapak kaki, kemudian diikuti Ronikson Manope (32) mengalami hal yang sama diusia 19 tahun.
Dan 7 tahun kemudian saudara kembar Ronikson yakni Ronelson Manope (32) diusia 26 tahun, mengalami kondisi yang sama, mulai dari kelumpuhan kaki hingga tangan sudah tidak bisa digerakkan lagi
Tidak sampai disitu pada tahun 2019, Mathilda Manope (33) yang adalah ibu Mauren Manope mulai merasakan kram-kram sampai dengan saat ini mengalami sakit yang sama. Bahkan keluarga ini enggan untuk ke rumah sakit karena alasan tidak punya biaya. "Ingin berobat, tapi tidak ada biaya," kata Mathilda Manope.
Meskipun demikian, kondisi keluarga ini mendapat banyak simpati dari kerabat dan tetangga, dengan membagi waktu dan tenaga secara rutin untuk menyuapi dan memasak bagi keluarga ini. "Kami merasa prihatin dan tega melihat kondisi ini," tutur kerabat dan tetangga, pada sejumlah awak media.
"Tidak dipungkiri memang tahun lalu ada bantuan dari pemerintah yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT), namun tahun ini sudah tidak ada. Tapi bersyukur setiap bulan ada bantuan dari pihak gereja, sehingga bisa membantu kebutuhan keluarga ini," tambah mereka.