Manado (ANTARA) - Tommy Taasora (45) dulu menghabiskan hari-harinya di belakang kemudi, mengantarkan oli dari gudang distributor ke bengkel-bengkel di berbagai pelosok daerah.
Setiap pagi, ia berangkat sebelum matahari terbit, menyusuri jalan berdebu dengan mobil penuh galon oli. Gajinya memang cukup untuk hidup sederhana, tetapi ia tahu, itu bukan pekerjaan yang bisa ia jalani selamanya.
Suatu hari, di tengah perjalanan, mobilnya mogok di jalanan desa Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut) yang dikelilingi ladang hijau. Ia turun, melihat seorang petani tengah memanen cabai merah menyala.
Tommy yang penasaran bertanya, "Berapa banyak yang bisa didapat dari satu ladang seperti ini?" Petani itu tertawa, "Kalau cuaca bagus dan perawatan baik, panen sekali saja bisa lebih dari cukup buat hidup nyaman," kata sang petani.
"Kalimat petani itu terus terngiang di kepala saya. Selama ini saya bekerja keras, tapi hasilnya terasa pas-pasan. Sementara para petani di desa saya, termasuk ibu saya sendiri, hidup layak dari tanah yang mereka olah dengan tangan mereka sendiri," kata Tommy menceritakan awal ketertarikannya berladang cabai.
Suatu malam, saat makan bersama ibunya, Tommy memberanikan diri bertanya.
"Saya tanya ke Ibu: 'Bu, menurut Ibu, kalau saya bertani, kira-kira bisa berhasil tidak?' Ibu tersenyum dan berkata: 'Tom, tanah itu tidak pernah ingkar janji. Kalau kau rawat dengan baik, dia pasti membalasnya. Bertani itu bukan cuma kerja keras, tapi juga ilmu dan kesabaran.," kata Tommy.
Tommy akhirnya mengambil keputusan besar. Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai sopir dan mulai belajar bertani dari ibunya.
Di awal, semuanya terasa sulit. Ia harus bangun lebih pagi dari biasanya, belajar mengenali jenis tanah, memahami cara menanam, merawat, hingga menangani hama.
Namun, semakin ia mendalami, semakin ia menyadari bahwa bertani bukan sekadar mencangkul dan menyiram, ada strategi di dalamnya.
Tommy memilih cabai sebagai tanaman utamanya karena permintaan akan komoditas ini selalu tinggi. "Harganya cenderung stabil, dan jika dikelola dengan baik, bisa memberikan keuntungan besar."
Suami dari Novita Kapong ini mulai menanam cabai di lahan kecil milik keluarganya, mencoba berbagai teknik baru yang ia pelajari dari internet dan para petani berpengalaman.
Sampai akhirnya ia memanfaatkan lahan kosong milik seorang pengusaha di pinggiran Kota Manado seluas 1,5 hektare yang telah lama tidak ditanami. Mulailah Tommy menggarap secara perlahan-lahan dengan modal awal yang ia miliki.
Walaupun membutuhkan biaya dan kerja yang lebih keras membuka lahan pertanian, semangat Tommy tidak pudar; dia tetap bersemangat karena terus didukung oleh istri dan anak-anaknya serta ibunya.
Musim panen pertamanya tidak mudah. Ayah dari seorang Putri bernama Syalomita Taasora ini menghadapi ujian tanaman cabainya mendapat serangan hama. "Selain itu cuaca sering tak menentu, dan modal saya juga terbatas. Tapi dengan bimbingan ibu, saya bisa melewati kendala-kendala itu. Dan setelah itu, saya berhasil memanen cukup banyak cabai untuk dijual ke pasar lokal.
Saat pertama kali menerima uang hasil panennya, Tommy merasa sesuatu yang berbeda, kepuasan yang tak pernah ia dapatkan dari pekerjaannya sebelumnya.
"Setelah bertani cabai, saya sekarang mulai bisa menata ekonomi keluarga. Tidak morat-marit. Bahkan bisa menabung untuk masa depan serta biaya sekolah anak-anak," kata Tommy.
Dari situ, ia semakin bersemangat. Ia memperluas lahannya. Untuk berbagi ilmu dan pengalaman, ia bergabung dalam kelompok tani Mitra Bersama. Dalam kelompok tani ini ia bekerja sama dengan petani lain, dan belajar cara menjual hasil panen dengan lebih baik, hingga dia mampu meraup omzet ratusan juta.
Abu Vulkanik Gunung Ruang
Namun, ujian kembali harus dihadapi Tommy dan para petani lain ketika pada April tahun lalu, Gunung Ruang meletus dengan dahsyat. Langit yang tadinya cerah berubah kelabu, dan hujan abu mengguyur Kota Manado dan sekitarnya tanpa ampun.
Cabai-cabai yang ia rawat berbulan-bulan dan sebentar lagi bisa dipanen habis dalam sekejap. Hatinya pedih. "Saya duduk di depan rumah kebun, menatap sisa-sisa ladang cabai yang kini hanya berupa batang hitam tertutup abu," tutur Tommy
Ayah dua putra dan putri ini bukan hanya kehilangan panen, tetapi juga nyaris seluruh modal terakhir yang ia miliki. Ia sudah berutang untuk membeli pupuk dan bibit, berharap panen kali ini bisa melunasi semuanya. "Kini yang tersisa hanyalah tanah yang tandus tertutup abu dan kantong yang kosong,"
Namun, Tommy bukan orang yang mudah menyerah. Ia mulai bergerak, dengan sisa-sisa modal yang ia miliki. Ia membeli bibit cabai dan pupuk serta perkakas, sembari ia mencari pekerjaan ke luar kota sebagai pemetik cengkih karena waktu itu panen raya cengkih, dan ia berhasil mengumpulkan dana untuk memulai lagi menanam cabai.
Tanahnya yang tertutup abu menjadi tantangan. Tommy belajar dari pengalaman dan mulai memperbaiki lahan dengan mencampur abu vulkanik dengan pupuk kandang.
Ia membaca dari internet bahwa abu gunung berapi bisa menyuburkan tanah dalam jangka panjang, asalkan dikelola dengan benar.
Selama berminggu-minggu, ia bekerja tanpa lelah. Ia menanam kembali cabai-cabai baru, kali ini dengan teknik yang lebih baik. Ia memasang mulsa plastik untuk melindungi tanah dari erosi dan menggunakan pupuk organik agar tanah cepat pulih.
Hari demi hari berlalu, dan tunas-tunas hijau mulai muncul di ladangnya. Harapan kembali tumbuh. Tommy bahkan mulai bereksperimen dengan varietas cabai yang lebih tahan terhadap kondisi ekstrem.
Beberapa bulan kemudian, ladang yang dulu hancur kembali hijau dan penuh dengan buah cabai merah menyala hingga ladang Tommy mampu memproduksi cabai rawit dan cabai kriting hingga ribuan kilogram. Tommy tidak hanya berhasil bangkit, tetapi hasil panennya lebih baik dari sebelumnya.
Kisah Tommy menginspirasi banyak petani di desanya. Ia mulai membagikan ilmunya kepada yang lain, membantu mereka memahami bagaimana menghadapi bencana alam tanpa kehilangan semangat.
Membakar semangat petani
Setelah sukses menjadi petani cabai, Tommy Taasora mulai memahami bahwa harga cabai di Sulawesi Utara bisa naik turun drastis. Setiap kali pasokan berkurang, harga melambung tinggi, dan masyarakat yang paling merasakan dampaknya.
Biaya produksi semakin tinggi, hasil panen tak selalu stabil, dan cuaca yang sulit diprediksi membuat banyak petani kesulitan menjaga produksi. Harga cabai pun sering bergejolak, menyebabkan inflasi yang memberatkan masyarakat.
Tommy tidak ingin hanya menjadi petani biasa, ia ingin menjadi bagian dari solusi. Ia berpikir jika produksi stabil dan pasokan cukup, harga bisa dikendalikan.
"Di tengah situasi ini, harapan datang dari sebuah program yang digagas oleh Bank Indonesia (BI). Dari program ini, saya mendapat banyak hal," kata Tommy.
Program dari BI yang dimaksud Tommy adalah program bantuan untuk petani cabai untuk memastikan produksi cabai tetap stabil dan berkesinambungan. Dipilihnya petani cabai sebagai sasaran karena komoditas ini adalah salah satu penyumbang utama inflasi di Manado dan di daerah-daerah lain.
Menurut Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sulut Andry Prasmuko, pemerintah sadar bahwa inflasi cabai harus dikendalikan dari akarnya yakni meningkatkan produksi secara berkesinambungan
"Oleh karena itu, BI menyediakan berbagai sarana produksi pertanian, termasuk bibit unggul, pupuk, mulsa, dan alat pengendali hama " katanya.
Tak hanya itu, BI juga memberikan bantuan alat dan mesin pertanian (Alsintan), seperti cultivator untuk mengolah tanah lebih cepat, sprayer untuk penyemprotan hama, dan alkon atau mesin pompa air untuk mengatasi masalah kekeringan saat musim panas tiba.
Bantuan BI itu datang seperti jawaban atas doa Tommy yang berharap produksi cabai yang lebih baik dan pasokan yang lebih stabil.
Setelah mendapatkan bantuan, Tommy dan para petani.lain mulai bergerak lebih cepat. Dengan bibit unggul dan pupuk yang cukup, tanaman cabai tumbuh lebih sehat dan lebih tahan terhadap cuaca ekstrem.
"Setelah mendapat masukan dari program BI itu, saya mulai mengembangkan sistem pertanian yang lebih terencana. Saya membagi lahan ke dalam beberapa zona tanam, sehingga tidak semua cabai dipanen dalam waktu bersamaan," kata Tommy.
Dengan cara ini, ia berharap pasokan cabai tetap ada sepanjang tahun dan tidak terjadi lonjakan harga akibat kelangkaan. Ia juga mengajak petani lain untuk melakukan hal yang sama. Ia berbagi ilmu tentang teknik tanam berkelanjutan, penggunaan mulsa plastik untuk menjaga kelembapan tanah, dan pemupukan organik agar tanaman lebih tahan terhadap cuaca ekstrem.
Dengan bertambahnya wawasan dan pengalaman, antara lain melalui program BI, kini Tommy dan para petani cabai tidak sekedar terampil menanam cabai, tetapi juga memiliki wawasan tentang pasar, sehingga jerih payah mereka tidak berakhir tragis karena harga cabai yang tidak stabil yang ujung-ujungnya memicu inflasi.
Program dari BI memang bukan faktor utama dalam perubahan ini, tetapi sebagai stimulus, program ini telah mendorong petani untuk lebih maju, lebih inovatif, dan lebih siap menghadapi tantangan ke depan.
Kini, Manado tidak hanya memiliki cabai yang cukup untuk kebutuhan sendiri, tetapi juga menjadi contoh bagaimana sinergi antara petani dan pemerintah bisa menciptakan ketahanan pangan yang kuat dan menekan laju inflasi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dari kemudi ke cangkul, menanam harapan di ladang cabai