Manado (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado menggelar diskusi bersama terkait Implementasi Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan MoU Dewan Pers bersama sejumlah lembaga negara, Jumat (4/11).
Kegiatan ini sekaligus memperingati Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan Terhadap Jurnalis yang biasa diperingati setiap tanggal 2 November.
Ketua AJI Manado, Fransiskus M Talokon saat membuka kegiatan ini menyampaikan perlunya diskusi ini, mengingat walaupun di Indonesia telah memiliki Undang-undang terkait pers, namun masih ada tindakan-tindakan yang mengancam kebebasan pers.
Fransiskus menceritakan bagaimana jurnalis di Indonesia menjadi korban kekerasan dan diskriminasi karena berita yang dibuat seperti situs konde.co yang tak bisa diakses usai memberitakan kasus perkosaan di salah satu kementerian, handphone jurnalis di Jeneponto dilempar Ketua Bawaslu setempat, dan dihapusnya data liputan 2 jurnalis Papua yang meliput sidang militer.
"Khusus di Sulawesi Utara baru-baru ini adalah terkait kasus wartawan dijemput polisi di Tomohon karena berita. Ini yang membuat AJI Manado kemudian menggelar diskusi bersama lembaga negara terkait perlindungan kerja-kerja jurnalistik seperti yang telah diatur di UU Pers dan MoU Dewan Pers," kata Fransiskus.
AJI Manado sendiri menghadirkan dua narasumber pada diskusi tersebut, masing-masing Direktur LBH Pers Manado, Ferley Bonifasius Kaparang dan Ahli Pers Dewan Pers, Yoseph E Ikanubun yang juga Majelis Etik AJI Manado.
Pada pemaparan materinya, Ferley menyebutkan tentang perlindungan kerja-kerja jurnalistik. Dikatakannya, peran LBH Pers jelas, di mana mereka akan mengawal proses hukum yang melibatkan jurnalis, selama kasus tersebut berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik.
"Ada beberapa hal yang perlu dilihat terkait pendampinginan hukum, seperti jika ada wartawan menyalahgunakan profesinya untuk cari untung sendiri atau yang melanggar kode etik, tentu ada pertimbangan lain dari LBH Pers," katanya.
Sementara, Yoseph menceritakan tentang alur sengketa pers di Indonesia. Menurutnya, mekanisme awal jika ada keberatan terkait pemberitaan atau karya jurnalistik, diselesaikan terlebih dahulu dengan pemberian hak jawab.
"Jika masih ada keberatan, yang merasa dirugikan bisa melaporkan ke Dewan Pers terkait produk jurnalistik itu. Dewan Pers kemudian akan melakukan pemeriksaan. Biasanya yang diperiksa awal adalah apakah perusahaan pers itu telah berbadan hukum," kata Yoseph.
Yoseph juga menyampaikan cerita tentang penumpang gelap kemerdekaan pers yang mencoreng citra wartawan. Dikatakannya, Dewan Pers kemudian membuat aturan terkait kompetensi dan sertifikasi agar menertibkan para penumpang gelap kebebasan pers tersebut.
"Ke depannya, narasumber bisa menolak wartawan yang belum tersertifikasi," kata Yoseph.
Hadir dalam diskusi tersebut, Dir Intelkam Polda Sulawesi Utara, Kombes Pol Albert Sihombing, Kapendam XIII/Merdeka Letkol Arm Benny Hendra Suwardi, Kepala Penerangan Lanud SRI, Letnan Kolonel (Sus) Michiko Moningkey, Kadispen Lantamal VIII, Mayor Laut (KH) Martdiamus Samuel Pontoh, Kasiintel Kasrem 131/Santiago, Letkol Inf Sandy, Kasie B Intel Kejati Sulut, Berty Wongkar, Kasi Intel Kejari Manado, Hijran Safar, Kasubbag Humas Bawaslu, Yovan Rasu, Aswan Idrak dari Kanwil Kemenkumham Wilayah Sulut, dan sejumlah utusan lembaga lainnya.