Manado (ANTARA) - Pada tanggal 16 Agustus 2019 yang lalu Presiden Jokowi telah menyampaikan nota keuangan kepada DPR yang salah satunya adalah berisi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020. Selama ini setiap RAPBN diajukan ke DPR, para pengamat dan analis selalu sibuk menanggapi/ memberikan komentar terhadap anggaran ataupun alokasi atas berbagai program/kegiatan yang dilakukan pemerintah. Jarang dijumpai pengamat/analis yang membahas bagaimana cara pemerintah menyediakan dana untuk membiayai berbagai macam program kegiatan yang telah dianggarkan.
Selama ini sebagian besar publik/masyarakat menganggap bahwa apabila pemerintah telah menganggarkan suatu program/kegiatan maka dana untuk membiayai kegiatan itu telah tersedia. Sehingga kapanpun anggaran itu dicairkan maka kas Negara selalu siap membayarkannya. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena anggaran sebenarnya terdiri dari anggaran pendapatan yang berisi target pendapatan dan anggaran belanja yang berupa alokasi. Dengan demikian alokasi anggaran dapat dicairkan apabila target penerimaan juga terealisasi artinya dana dari pajak/non pajak telah masuk ke kas Negara.
Untuk dapat melayani kementerian/lembaga dapat mencairkan Anggaran secara tepat waktu, efisien dan efektif, maka Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) perlu mengelola kas Negara agar tidak terjadi kekurangan kas ataupun terlalu banyak dana menganggur di kas Negara. Kekurangan kas terjadi apabila anggaran yang dicairkan oleh Kementerian/lembaga lebih besar dari penerimaan pajak/ bukan pajak yang diterima pada saat itu, sementara kelebihan kas terjadi apabila penerimaan pajak/non pajak melebihi anggaran yang dicairkan oleh kementerian/lembaga pada waktu tertentu.
Kekurangan maupun kelebihan kas mempunyai dampak negatif terhadap pengelolaan kas Negara, karena baik kekurangan maupun kelebihan kas menyebabkan adanya biaya/cost yang ditanggung Negara. Apabila terjadi kekurangan kas maka Negara/pemerintah akan mencari sumber pembiayaan untuk menutup kekurangan kas dengan mencairkan pinjaman lebih awal ataupun menjual surat utang Negara (SUN)/ surat perbendaharaan Negara (SPN). Hal ini menimbulkan biaya bagi Negara yaitu bunga yang harus ditanggung Negara, selain pengembalian pokok utang yang dipinjam. Demikian pula apabila terjadi kelebihan kas, maka terjadi opportunity cost karena hilangnya kesempatan untuk adanya penerimaan apabila uang tersebut digunakan keperluan lain yang lebih menguntungkan. Van Horne (1986:193) dalam Suwito (2017) menguraikan bahwa manajemen kas mengandung pengertian mengelola uang perusahaan sedemikian rupa sehingga saat dicapai ketersediaan kas maksimum dan pendapatan bunga yang maksimum dari uang tunai yang menganggur. Manajemen harus menghindarkan jumlah kas yang terlalu besar (menganggur), sebab kas yang menganggur tidak akan memberikan kontribusi keuntungan kepada perusahaan.
Manajemen kas didefinisikan sebagai pengoptimasian penggunaan kas sebagai aktiva. Hal ini berarti tidak boleh terjadi kegagalan pemakaian dan pengawasan terhadap posisi kas. Tujuan manajemen kas meliputi 2 hal, yaitu likuiditas dan penghasilan.
1.Likuiditas, artinya manajemen harus secara sadar menjaga agar perusahaan selalu memiliki kemampuan membayar atau membiayai kegiatan operasinya.
2.Penghasilan, artinya bahwa setiap pengeluaran perusahaan harus diarahkan untuk mendapatkan kemungkinan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan kas yang dikeluarkan.
Agar dapat mengelola kas Negara dengan efektif dan efisien, Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Perbendaharaan telah melakukan manajemen kas dengan disiplin dan prudent. Dalam hal proyeksi penerimaan/pengeluaran selalu diadakan rapat koordinasi antara Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai dan pihak terkait yang membahas proyeksi penerimaan/pengeluaran ke depan atau sering dikenal rapat ALM (asset Liability Management). Hal ini untuk memberikan informasi/gambaran ke depan tentang arus kas masuk (cash inflow) yang akan diterima maupun yang dikeluarkan Kas Negara. Dalam hal pengeluaran Ditjen Perbendaharaan juga telah melakukan banyak hal untuk memperoleh proyeksi pengeluaran yang lebih akurat. Salah satu kebijakan yang diambil oleh Ditjen Perbendaharaan dalam manajemen kas di bidang pengeluaran adalah Perencanaan Kas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 107/PMK.05/2017 tentang Rencana Penerimaan Dana, Rencana Penarikan Dana dan Perencanaan Kas telah diatur kewajiban Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Resiko (DJPPR) dalam menyusun proyeksi penerimaan (cash inflow) dan tugas Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan dan Kementerian/lembaga dalam proyeksi pengeluaran/belanja Negara. Untuk selanjutnya proyeksi pengeluaran Negara ini lebih dikenal sebagai Rencana Pencairan Dana (RPD). Dalam PMK tersebut Kementerian lembaga diminta untuk menyusun RPD bulanan dan RPD harian.
Satu hal penting yang diatur dalam PMK tersebut adalah adanya kewajiban satuan kerja untuk menyampaikan RPD harian terlebih dahulu ke Kantor Pelayanan Perbendaharaa Negara (KPPN) sebelum menyampaikan SPM (surat perintah membayar), untuk transaksi yang relative besar. Ada 3 (tiga) jenis transaksi yang disebut transaksi besar yaitu :
1.Transaksi A, transaksi setiap pengajuan SPM yang nilai kotor lebih dari 1.000.000.000.000,- (satu triliun), RPD harian diajukan ke KPPN 20 (dua puluh) hari kerja sebelum SPM diajukan;
2.Transaksi B, transaksi setiap pengajuan SPM yang nilai kotor lebih dari 500.000.000.000,- (lima ratus milyar) sampai dengan 1.000.000.000.000.- (satu triliyun), RPD harian diajukan ke KPPN 15 (lima belas) hari kerja sebelum SPM diajukan;
3.Transaksi C, transaksi setiap pengajuan SPM yang nilai kotor lebih dari 1.000.000.000,- (satu milyar) sampai dengan 500.000.000.000,- (lima ratus milyar), RPD harian diajukan ke KPPN 5 (lima) hari kerja sebelum SPM diajukan.
Selain hal-hal di atas, Ditjen Perbendaharan dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Kas Negara (PKN) juga telah melaksanakan kebijakan lain dalam rangka pengelolaan kas yang efektif dan efisien. Kebijakan tersebut antara lain :
1.Treasury Single Account (TSA) yaitu kebijakan yang mewajibkan penerimaan dan pengeluaran Negara melalui satu rekening atau rekening tunggal yaitu rekening kas umum Negara (RKUN);
2.Treasury Notional Polling (TNP) yaitu kebijakan untuk memusatkan/mengkonsolidasikan seluruh saldo rekening Bendahara Pengeluaran yang tersebar pada seluruh kantor cabang ke Kantor Pusat Bank tempat bendahara membuka rekening di sore hari, untuk mendapatkan remunerasi yang lebih baik;
3.Pembatasan Tambahan Uang Persediaan (TUP) yaitu kebijakan yang mewajibkan Kepala KPPN untuk selektif dalam memberikan persetujuan kepada Satker ketika mengajukan TUP;
4.Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) yaitu kebijakan untuk mengurangi penyediaan Uang Persediaan (UP) dan menggantikan dengan limit KKP dan dapat digunakan untuk belanja operasional dan perjalanan oleh satuan kerja
5.Penertiban Rekening Pemerintah yang mewajibkan setiap satuan kerja yang akan membuka rekening agar mengajukan ijin kepada Kuasa BUN Daerah (KPPN) maupun Kuasa BUN Pusat (Ditjen Perbendaharaan) tergantung jenis rekening dan tujuan penggunaan rekening.
Selain berbagai kebijakan yang telah diambil oleh Ditjen Perbendaharaan di atas, menurut hemat penulis masih ada instrument yang selama ini belum digunakan secara maksimal yaitu halaman III DIPA. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat dan disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
DIPA disusun berdasarkan Paraturan Presiden (Pepres) mengenai rincian anggaran belanja pemerintah pusat. DIPA memiliki fungsi sebagai dasar pelaksanaan anggaran setelah mendapat pengesahan Menteri Keuangan (Menkeu). DIPA berisi informasi mengenai program-program, kegiatan, jenis belanja (akun) baik dana APBN, PNBP/BLU, hibah terikat/tidak terikat.dan dana lainnya. Khusus untuk unit/instansi yang menggunakan sistem pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU), maka dalam format DIPA juga harus memuat informasi mengenai saldo akhir, pejabat pengelola keuangan, dan ambang fleksibilitas anggaran.
DIPA Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, terdiri dari :
DIPA Induk yakni akumulasi dari DIPA per Satuan Kerja Kementerian/Lembaga yang disusun oleh Pengguna Anggaran menurut Unit Eselon I Kementerian Negara/Lembaga.
DIPA Petikan yakni DIPA per Satuan Kerja Kementerian/Lembaga yang dicetak secara otomatis melalui sistem dan digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan Satuan Kerja Kementerian/Lembaga dan pencairan dana/pengesahan bagi Bendahara Umum Negara dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari DIPA Induk.
Berikut adalah format umum DIPA, yang terdiri dari 4 halaman.
Halaman IA : Informasi umum dari satker
Halaman IB : Rincian fungsi,sub fungsi, program, indikator keluaran
Halaman II : Kegiatan, sub kegiatan , MAK, alokasi dana dan volume
Halaman III : Rencana penarikan dan penerimaan ( pajak atau PNBP)
Halaman IV : Catanan blokir dan belanja terikat
Halaman III DIPA yang berisi rencana penarikan dan penerimaan dana selama ini hanya bersifat formalitas saja, dalam artian didalam halaman tersebut tercantum angka-angka namun angka-angka tersebut tidak menjadi pedoman/acuan satker dalam pelaksanaan anggaran. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.05/2018 tentang Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga, ditetapkan 12 (dua belas) indikator untuk mengukur kualitas kinerja pelaksanaan anggaran belanja Kementerian/lembaga. Salah satu indikator yang dijadikan obyek penilaian adalah halaman III DIPA. Namun demikian dalam penilaian ini lebih ke arah penilaian kepatuhan Satker dalam melakukan revisi DIPA setiap triwulan untuk menyesuaikan halaman III dengan realisasi yang telah terjadi. Hal ini dirasa belum efektif menjadikan halaman III sebagai alat perencanaan kas, karena halaman III disesuaikan dengan realisasi yang ada, bukan sebagai pedoman/acuan Satuan kerja dalam pelaksanaan anggaran (pagu bulanan).
Kementerian Keuangan melalui Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-2/MK.1/2019 Tentang Tata Cara Perhitungan Kinerja Utama Persentase Kualitas Pelaksanaan Anggaran di Lingkungan Kementerian Keuangan telah menginisiasi suatu indikator untuk melakukan perhitungan Indikator Kenerja Utama (IKU) kualitas Pelaksanaan Anggaran dengan memperhitungkan bobot indikator konsistensi. Konsistensi ini memaksa agar satuan kerja lingkup Kementerian Keuangan menjadikan halaman III DIPA sebagai acuan dalam pelaksanaan anggaran. Apabila terdapat deviasi yang besar antara realisasi dengan rincian halaman III DIPA maka secara otomatis nilai konsistensi menjadi rendah. Konsistensi yang rendah berakibat terhadap target IKU yang harus dicapai oleh Satker lingkup Kemenkeu. Hal ini berbeda dalam penilaian IKPA apabila terjadi deviasi antara realisasi dan halaman III DIPA, maka pada akhir triwulan dapat diajukan revisi ke Kanwil Ditjen Perbandaharaan untuk dilakukan penyesuaian, sehingga nilai indikator halaman III DIPA dapat optimal. Karena Revisi dilakukan setelah revisi tentu saja antara halaman III DIPA dan realisasi tidak terjadi perbedaan (deviasi 0%).
Bagi satker Kementerian Keuangan hal ini menjadi dilema tersendiri, apabila terlalu konsentrasi mengejar nilai IKPA maka nilai IKU Kualitas Pelaksanaan Anggaran bisa tidak optimal, karena revisi dilakukan diakhir triwulan yang tidak mempunyai nilai dalam mendukung indikator konsistensi. Sebaliknya apabila terlalu konsentrasi mengejar nilai IKU kualitas Pelaksanaan Anggaran maka nilai IKPA untuk indikator halaman III DIPA akan tidak maksimal, karena revisi tidak dapat dilakukan di akhir triwulan. Revisi dapat dilakukan di awal triwulan sebagai pagu pelaksanaan anggaran satu triwulan ke depan. Saat ini Kementerian Keuangan telah membatasi Revisi 1 (satu) kali triwulan. Hal ini menunjukan bahwa Kementerian Keuangan telah berupaya agar Satker membuat perencanaan kegiatan yang lebih matang, minimal untuk rencana kegiatan satu triwulan ke depan.
Halaman III DIPA menjadi efektif dalam rangka perencanaan kas
Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-2/MK.1/2019 tersebut diberlakukan untuk seluruh satker pada Kementerian/lembaga. Dapat pula, indikator halaman III DIPA pada IKPA diselaraskan dengan Surat Edaran Menteri Keuangan di atas, yaitu memasukan unsur konsistensi dalam penilaian Indikator halaman III DIPA. Artinya “memaksa” satker untuk menjadikan halaman III sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan sekaligus pagu DIPA dalam setiap bulan.
Untuk dapat menerapkan kebijakan ini memang bukanlah hal yang mudah, pasti terjadi resistensi/penolakan dari satuan kerja. Satuan kerja yang tidak terbiasa membuat rencana kegiatan secara matang dan detail akan kesulitan melaksanakan kebijakan ini, dan akan berusaha untuk menghalangi agar kebijakan ini tidak diterapkan. Namun demikian dalam rangka perencanaan kas yang efektif kebijakan ini harus diterapkan. Untuk itu perlu ada tahapan atau langkah yang ditempuh sebelum kebijakan ini diterapkan secara efektif. Langkah pertama perlu menyusun atau mengubah aturan tentang IKPA, kedua perlu sosialisasi yang cukup masiv tentang ketentuan tersebut, perlu komitmen/dukungan dari pimpinan baik pimpinan kementerian/lembaga maupun kementerian keuangan dan juga perlu ada reward and punishment yang jelas untuk satker yang melaksanakan kebijakan tersebut. Pada awal-awal pelaksanaan pasti tingkat keberhasilan masih rendah, namun dengan berjalannya waktu dan sosialisasi secara terus menerus, maka satker akan terbiasa untuk menjadikan halaman III sebagai pagu DIPA perbulan. Semoga.
(Penulis, Maryono adalah Kepala Bidang Supervisi KPPN dan Kepatuhan Internal (SKKI) pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Sulawesi Utara)