Manado (ANTARA) - Organisasi kemasyarakatan Serdadu Anti Mafia Tanah Sulawesi Utara bersama Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengedukasi warga akan implementasi Pancasila dalam hukum agraria.
Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Sulut, Ahmad Muqim Haryono, di Manado, Rabu, mengatakan di zaman kolonial Belanda, hukum tanah di Indonesia tunduk pada hukum barat, sehingga hanya tanah milik orang barat atau Belanda yang didaftarkan.
"Karena semua sertifikat hanya diterbitkan atas nama mereka maka barangsiapa siapa yang tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan, secara otomatis menjadi tanah milik negara," ujar Haryono.
Dijelaskan, sejak diberlakukan Undang-undang (UU) Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka ada reformasi hukum tanah.
"UUD Nomor 5 Tahun 1960 berlandaskan Pancasila yang memberikan keadilan bagi masyarakat," kata Haryono.
Lanjut dikatakannya, salah satu pasal dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa hanya warga negara Indonesia yang berhak mempunyai hak milik atas tanah.
"Dalam undang-undang tersebut juga mengatur bahwa tanah harus mempunyai fungsi sosial," ungkapnya.
Menurut Ahmad, Pancasila dan hukum tanah di Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena asas dari UU Nomor 5 tahun 1960 adalah Pancasila.
"Hukum tanah dan Pancasila seperti dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Bagaimana tanah itu digunakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, dan bagaimana Pancasila itu digunakan untuk mengatur tanah," katanya.
Ketua Serdadu Anti Mafia Tanah Sulawesi Utara, Risat Sanger, mengatakan pihaknya akan sama-sama dengan masyarakat mengawal dan mengedukasi sehingga masalah pertanahan tidak merugikan masyarakat.
Risat mengatakan lewat diskusi terbuka ini yang melibatkan masyarakat, kalangan akademisi, mahasiswa dan jurnalis bisa membantu edukasi kepada masyarakat.
Diskusi yang mengangkat tema tanah untuk rakyat, menangkan Pancasila ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Peneliti Rumah Nusantara, Andreas Sabawa, dan Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Sulut, Ahmad Muqim Haryono.
Peneliti Rumah Nusantara, Andreas Sabawa mengatakan, saat ini tanah menjadi barang mahal seiring pertambahan jumlah penduduk, dan tingkat kepadatan di Sulawesi Utara yang makin tinggi.
"Artinya sekarang di Kota Manado banyak orang yang tidak punya rumah. Banyak yang tinggal di kost-an dan kontrakan. Sementara di sisi lain ada orang yang punya tanah berhektar-hektar," katanya.
Undang-undang di Indonesia, kata Andreas mengatur hak kepemilikan, bahwa orang tidak boleh memiliki tanah secara berlebihan.
"Jika masalah kepemilikan ini terus dibiarkan akan mengakibatkan konflik sosial, banyak negara yang runtuh karena konflik agraria," katanya.
Lebih jauh Andreas mengungkapkan, pemerintah sudah pernah mencanangkan program sejuta rumah dengan DP Rp 1,5 juta.
"Ini salah satu bentuk pengamalan nilai Pancasila yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia," jelasnya.