Soal meninggikan sportivitas dan derajat kompetisi SEA Games Vietnam
Jakarta (ANTARA) - Sampai 18 Mei 2022, sudah 328 medali emas dikalungkan kepada atlet-atlet yang menjadi nomor satu dalam sejumlah besar dari total 526 nomor yang dikompetisikan pada 40 cabang olahraga selama SEA Games Vietnam 2021.
Jumlah sebanyak itu adalah 62 persen dari total 526 medali emas yang diperebutkan sampai SEA Games edisi pandemi ini selesai 23 Mei.
38 persen atau 126 dari 328 medali emas itu direbut tuan rumah Vietnam. Jumlah emas Vietnam ini 3,5 kali lipat dari emas yang dikumpulkan Indonesia yang baru memperoleh 36 emas sampai 18 Mei itu.
Selisih itu begitu lebar seolah kemajuan olahraga Indonesia tertinggal dari Vietnam, padahal apa yang terjadi dalam SEA Games belum tentu menjadi indikator kemajuan olahraga di kedua negara.
Baca juga: Tangis Odekta Naibaho pecah saatberhasil sabet emas SEA Games
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dalam banyak ukuran, mulai dari segi demografis, skala ekonomi, sampai pengaruh politik. Namun sejak SEA Games 1999 di Brunei Darusalam sampai SEA Games 2017 di Malaysia, Indonesia nyaris tak pernah lagi menjadi nomor satu.
Hanya ketika SEA Games diadakan di Jakarta dan Palembang pada 2011, Indonesia meraih lagi status nomor satu.
Sejak 1977 sampai 1997, Indonesia hampir selalu teratas dalam daftar perolehan medali kecuali 1985 dan 1995 ketika Indonesia menjadi pengumpul medali terbanyak kedua dalam dua SEA Games yang keduanya diadakan di Thailand itu.
Dalam sembilan tahun terakhir sejak SEA Games Myanmar 2013, Indonesia bahkan tak bisa menembus urutan ketiga.
Dalam beberapa hal, Indonesia mirip dengan India di Asia Selatan, khususnya dari perbandingan jumlah penduduk, luas wilayah, skala ekonomi dan pengaruh politik terhadap kawasannya masing-masing.
Namun India selalu ingin mendominasi pesta olahraga se-Asia Selatan atau South Asian Games sejak ajang ini diadakan pada 1984, dengan senantiasa menjadi pengumpul medali terbanyak, walau prestasi ini kebalikan dari kiprah negeri itu dalam Olimpiade.
Selama 13 kali penyelenggaraan South Asian Games, atlet-atlet Asia Selatan yang total berpenduduk 1,94 miliar rata-rata hanya memperebutkan 157 medali emas.
Tiga edisi terakhir memang jumlahnya di atas angka 157 emas, tapi angka sebanyak ini masih jauh di bawah emas yang diperebutkan dalam SEA Games.
Pada edisi 2019 di mana jumlah medali emas yang diperebutkan mencapai rekor terbanyak, South Asian Games hanya menyediakan 316 medali emas.
Angka itu jauh di bawah medali emas yang disediakan dalam SEA Games yang diikuti sebelas negara Asia Tenggara yang total berpenduduk 680 juta atau sepertiga penduduk Asia Selatan.
Tiga tahun lalu di Filipina jumlah medali emas yang diperebutkan dalam SEA Games mencapai 531 medali emas, sedangkan tahun ini di Vietnam sedikit berkurang menjadi 526 medali emas. Kedua angka ini masih di atas 316 medali emas yang diperebutkan dalam South Asian Games 2019.
Selama 13 edisi diselenggarakan hanya ada 28 cabang olahraga yang dikompetisikan dalam South Asian Games atau tak jauh berbeda dengan pada umumnya jumlah cabang yang dimainkan dalam Olimpiade. Tapi dalam SEA Games, tahun ini saja melibatkan 40 cabang olahraga.
Setiap tuan rumah SEA Games hampir selalu masuk tiga besar, jika bukan posisi 1 dalam klasemen medali.
Baca juga: Tersisa empat wakil tenis Indonesia yang berjuang di SEA Games Hanoi
Ini karena tuan rumah berusaha keras menggenjot perolehan emas, termasuk dengan memasukkan cabang olahraga yang berpotensi meraih medali, sekalipun cabang itu asing bagi negara Asia Tenggara lainnya.
Situasi itu dimungkinkan terjadi karena dalam SEA Games tak ada aturan pasti mengenai batas jumlah cabang yang dipertandingkan. Dan ini sering menjadi sorotan ketika SEA Games digelar, terutama dalam kaitannya dengan nilai kompetisi olahraga.
"Faktor X"
Fakta itu acap dibarengi pula oleh kontroversi selama kompetisi, terutama dugaan ofisial kompetisi yang tidak netral, yang dari SEA Games ke SEA Games terus terjadi, termasuk di Vietnam ini.
Contohnya pada renang nomor estafet gaya bebas 4x100m putra ketika Singapura dan juga Malaysia didiskualifikasi sehingga emas dan perak mereka dilucuti untuk kemudian diberikan kepada Vietnam.
Ofisial Vietnam awalnya beralasan diskualifikasi ini karena soal teknis, namun akhirnya mengungkapkan alasan bahwa perenang Singapura dan Malaysia "melompat terlalu dini " sebelum rekannya mencapai dinding kolam.
Diskualifikasi ini mengakhiri dominasi Singapura dalam estafet sprint putra sejak 2001, padahal mereka diperkuat Joseph Schooling yang merebut emas Olimpiade 2016 dengan mengalahkan raja kolam renang dunia, Michael Phelps.
Indonesia juga merasa dirugikan oleh kontroversi itu, terutama pencak silat sampai-sampai cabang ini gagal memenuhi target empat medali emas karena hanya bisa mengumpulkan satu emas, empat perak dan tiga perunggu.
Dugaan laku tak adil dalam penjurian kompetisi cabang ini sampai membuat pesilat Khoiruddin Mustakim dan Muhamad Yachser Arafa yang sebenarnya di atas angin, gagal menyumbangkan medali kepada Indonesia karena secara kontroversial didiskualifikasi dalam final mereka masing-masing.
Tapi bukan hanya silat yang gagal memenuhi target. Bulu tangkis juga harus menghentikan tradisi emas beregu putra selama enam edisi SEA Games terakhir.
Kalah dari Thailand pada semifinal, untuk pertama kalinya Indonesia hanya meraih perunggu. Padahal sejak bulu tangkis masuk SEA Games pada 1977, Indonesia hampir selalu mendapatkan emas beregu putra, kecuali 1989, 1991, dan 2005 ketika hanya memperoleh perak.
Indonesia sendiri memasang target peringkat keempat. Ketua Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk SEA Games 2021 Moch Asmawi menjamin semua atlet yang dikirimkan ke Vietnam bisa menyumbangkan medali.
Alasannya, semua atlet yang dikirimkan ke Vietnam sudah diseleksi melalui review dan analisis berbasis data berdasarkan prestasi pada SEA Games sebelumnya dan kejuaraan single event kawasan atau internasional yang diikuti para atlet selama 2019-2021.
Sampai 18 Mei, Indonesia baru mengumpulkan total 134 medali. Masih ada waktu sampai lima hari ke depan agar total medali selaras dengan ekspektasi kepada 499 atlet yang dikirimkan Indonesia ke Vietnam.
Tetapi, dalam setiap kompetisi olahraga apalagi SEA Games, "faktor x" yang bisa terdiri dari banyak hal, termasuk keputusan kontroversial wasit, acap mementahkan ekspektasi dan menentukan hasil kompetisi.
Pencak silat di mana Indonesia begitu dominan pada Asian Games 2018 dengan 14 emas pun sampai hanya sanggup memperoleh satu medali emas di Vietnam 2021.
"Faktor x" ini kerap mengorbankan nilai-nilai keolahragaan terutama sportivitas, dan juga kepentingan atlet. Menyedihkan jika praktik ini terus berlangsung ketika dunia olahraga global semakin meninggikan sportivitas dan kepentingan atlet mencetak prestasi dalam iklim kompetisi yang sehat.
Untuk itu, sudah waktunya Asia Tenggara memperbaiki atmosfer kompetisi SEA Games dengan lebih meninggikan lagi aspek-aspek berkompetisi olahraga khususnya sportivitas dan penghormatan kepada upaya atlet, yang bisa sama pentingnya dengan aspirasi meninggikan solidaritas dan persaudaraan kawasan.
Tak berlebihan juga jika Indonesia memimpin lagi prestasi SEA Games. Akan ironis jika misalnya pada 2023, Kamboja yang akan menjadi tuan rumah SEA Games tahun itu tiba-tiba menyalip Indonesia.
Menilai kembali prioritas SEA Games juga tak ada salahnya karena dengan begitu sesama Asia Tenggara lain tidak melihat Indonesia memberikan tingkat yang lain dari yang diharapkan untuk kompetisi di kawasan sendiri, karena kita tak tahu bagaimana sebenarnya tanggapan tetangga-tetangga Indonesia mengetahui bagaimana kita memandang SEA Games.
Ada baiknya juga kepemimpinan kawasan diproyeksikan pula pada bidang-bidang selain ekonomi, politik, keamanan dan diplomasi. Salah satunya lewat olahraga, lewat SEA Games.
Jumlah sebanyak itu adalah 62 persen dari total 526 medali emas yang diperebutkan sampai SEA Games edisi pandemi ini selesai 23 Mei.
38 persen atau 126 dari 328 medali emas itu direbut tuan rumah Vietnam. Jumlah emas Vietnam ini 3,5 kali lipat dari emas yang dikumpulkan Indonesia yang baru memperoleh 36 emas sampai 18 Mei itu.
Selisih itu begitu lebar seolah kemajuan olahraga Indonesia tertinggal dari Vietnam, padahal apa yang terjadi dalam SEA Games belum tentu menjadi indikator kemajuan olahraga di kedua negara.
Baca juga: Tangis Odekta Naibaho pecah saatberhasil sabet emas SEA Games
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dalam banyak ukuran, mulai dari segi demografis, skala ekonomi, sampai pengaruh politik. Namun sejak SEA Games 1999 di Brunei Darusalam sampai SEA Games 2017 di Malaysia, Indonesia nyaris tak pernah lagi menjadi nomor satu.
Hanya ketika SEA Games diadakan di Jakarta dan Palembang pada 2011, Indonesia meraih lagi status nomor satu.
Sejak 1977 sampai 1997, Indonesia hampir selalu teratas dalam daftar perolehan medali kecuali 1985 dan 1995 ketika Indonesia menjadi pengumpul medali terbanyak kedua dalam dua SEA Games yang keduanya diadakan di Thailand itu.
Dalam sembilan tahun terakhir sejak SEA Games Myanmar 2013, Indonesia bahkan tak bisa menembus urutan ketiga.
Dalam beberapa hal, Indonesia mirip dengan India di Asia Selatan, khususnya dari perbandingan jumlah penduduk, luas wilayah, skala ekonomi dan pengaruh politik terhadap kawasannya masing-masing.
Namun India selalu ingin mendominasi pesta olahraga se-Asia Selatan atau South Asian Games sejak ajang ini diadakan pada 1984, dengan senantiasa menjadi pengumpul medali terbanyak, walau prestasi ini kebalikan dari kiprah negeri itu dalam Olimpiade.
Selama 13 kali penyelenggaraan South Asian Games, atlet-atlet Asia Selatan yang total berpenduduk 1,94 miliar rata-rata hanya memperebutkan 157 medali emas.
Tiga edisi terakhir memang jumlahnya di atas angka 157 emas, tapi angka sebanyak ini masih jauh di bawah emas yang diperebutkan dalam SEA Games.
Pada edisi 2019 di mana jumlah medali emas yang diperebutkan mencapai rekor terbanyak, South Asian Games hanya menyediakan 316 medali emas.
Angka itu jauh di bawah medali emas yang disediakan dalam SEA Games yang diikuti sebelas negara Asia Tenggara yang total berpenduduk 680 juta atau sepertiga penduduk Asia Selatan.
Tiga tahun lalu di Filipina jumlah medali emas yang diperebutkan dalam SEA Games mencapai 531 medali emas, sedangkan tahun ini di Vietnam sedikit berkurang menjadi 526 medali emas. Kedua angka ini masih di atas 316 medali emas yang diperebutkan dalam South Asian Games 2019.
Selama 13 edisi diselenggarakan hanya ada 28 cabang olahraga yang dikompetisikan dalam South Asian Games atau tak jauh berbeda dengan pada umumnya jumlah cabang yang dimainkan dalam Olimpiade. Tapi dalam SEA Games, tahun ini saja melibatkan 40 cabang olahraga.
Setiap tuan rumah SEA Games hampir selalu masuk tiga besar, jika bukan posisi 1 dalam klasemen medali.
Baca juga: Tersisa empat wakil tenis Indonesia yang berjuang di SEA Games Hanoi
Ini karena tuan rumah berusaha keras menggenjot perolehan emas, termasuk dengan memasukkan cabang olahraga yang berpotensi meraih medali, sekalipun cabang itu asing bagi negara Asia Tenggara lainnya.
Situasi itu dimungkinkan terjadi karena dalam SEA Games tak ada aturan pasti mengenai batas jumlah cabang yang dipertandingkan. Dan ini sering menjadi sorotan ketika SEA Games digelar, terutama dalam kaitannya dengan nilai kompetisi olahraga.
"Faktor X"
Fakta itu acap dibarengi pula oleh kontroversi selama kompetisi, terutama dugaan ofisial kompetisi yang tidak netral, yang dari SEA Games ke SEA Games terus terjadi, termasuk di Vietnam ini.
Contohnya pada renang nomor estafet gaya bebas 4x100m putra ketika Singapura dan juga Malaysia didiskualifikasi sehingga emas dan perak mereka dilucuti untuk kemudian diberikan kepada Vietnam.
Ofisial Vietnam awalnya beralasan diskualifikasi ini karena soal teknis, namun akhirnya mengungkapkan alasan bahwa perenang Singapura dan Malaysia "melompat terlalu dini " sebelum rekannya mencapai dinding kolam.
Diskualifikasi ini mengakhiri dominasi Singapura dalam estafet sprint putra sejak 2001, padahal mereka diperkuat Joseph Schooling yang merebut emas Olimpiade 2016 dengan mengalahkan raja kolam renang dunia, Michael Phelps.
Indonesia juga merasa dirugikan oleh kontroversi itu, terutama pencak silat sampai-sampai cabang ini gagal memenuhi target empat medali emas karena hanya bisa mengumpulkan satu emas, empat perak dan tiga perunggu.
Dugaan laku tak adil dalam penjurian kompetisi cabang ini sampai membuat pesilat Khoiruddin Mustakim dan Muhamad Yachser Arafa yang sebenarnya di atas angin, gagal menyumbangkan medali kepada Indonesia karena secara kontroversial didiskualifikasi dalam final mereka masing-masing.
Tapi bukan hanya silat yang gagal memenuhi target. Bulu tangkis juga harus menghentikan tradisi emas beregu putra selama enam edisi SEA Games terakhir.
Kalah dari Thailand pada semifinal, untuk pertama kalinya Indonesia hanya meraih perunggu. Padahal sejak bulu tangkis masuk SEA Games pada 1977, Indonesia hampir selalu mendapatkan emas beregu putra, kecuali 1989, 1991, dan 2005 ketika hanya memperoleh perak.
Indonesia sendiri memasang target peringkat keempat. Ketua Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk SEA Games 2021 Moch Asmawi menjamin semua atlet yang dikirimkan ke Vietnam bisa menyumbangkan medali.
Alasannya, semua atlet yang dikirimkan ke Vietnam sudah diseleksi melalui review dan analisis berbasis data berdasarkan prestasi pada SEA Games sebelumnya dan kejuaraan single event kawasan atau internasional yang diikuti para atlet selama 2019-2021.
Sampai 18 Mei, Indonesia baru mengumpulkan total 134 medali. Masih ada waktu sampai lima hari ke depan agar total medali selaras dengan ekspektasi kepada 499 atlet yang dikirimkan Indonesia ke Vietnam.
Tetapi, dalam setiap kompetisi olahraga apalagi SEA Games, "faktor x" yang bisa terdiri dari banyak hal, termasuk keputusan kontroversial wasit, acap mementahkan ekspektasi dan menentukan hasil kompetisi.
Pencak silat di mana Indonesia begitu dominan pada Asian Games 2018 dengan 14 emas pun sampai hanya sanggup memperoleh satu medali emas di Vietnam 2021.
"Faktor x" ini kerap mengorbankan nilai-nilai keolahragaan terutama sportivitas, dan juga kepentingan atlet. Menyedihkan jika praktik ini terus berlangsung ketika dunia olahraga global semakin meninggikan sportivitas dan kepentingan atlet mencetak prestasi dalam iklim kompetisi yang sehat.
Untuk itu, sudah waktunya Asia Tenggara memperbaiki atmosfer kompetisi SEA Games dengan lebih meninggikan lagi aspek-aspek berkompetisi olahraga khususnya sportivitas dan penghormatan kepada upaya atlet, yang bisa sama pentingnya dengan aspirasi meninggikan solidaritas dan persaudaraan kawasan.
Tak berlebihan juga jika Indonesia memimpin lagi prestasi SEA Games. Akan ironis jika misalnya pada 2023, Kamboja yang akan menjadi tuan rumah SEA Games tahun itu tiba-tiba menyalip Indonesia.
Menilai kembali prioritas SEA Games juga tak ada salahnya karena dengan begitu sesama Asia Tenggara lain tidak melihat Indonesia memberikan tingkat yang lain dari yang diharapkan untuk kompetisi di kawasan sendiri, karena kita tak tahu bagaimana sebenarnya tanggapan tetangga-tetangga Indonesia mengetahui bagaimana kita memandang SEA Games.
Ada baiknya juga kepemimpinan kawasan diproyeksikan pula pada bidang-bidang selain ekonomi, politik, keamanan dan diplomasi. Salah satunya lewat olahraga, lewat SEA Games.