YKMI kecewa atas putusan MA belum dilaksanakan
Jakarta (ANTARA) - Baca juga: Pakar hukum: Kemenkes wajib laksanakan putusan MA terkait vaksin halalYayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) mengaku kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang belum dilaksanakan pemerintah.
“Ternyata pemerintah tampak mengabaikan putusan tersebut. Untuk itu, YKMI mengambil langkah somasi,” kata Direktur Eksekutif YKMI Ahmad Himawan dihubungi di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan YKMI telah melayangkan somasi kepada pemerintah sepekan lalu terkait putusan MA yang mewajibkan pemerintah menyediakan vaksin halal.
Bahkan, kata dia, pemerintah tidak menyiapkan langkah strategis untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Pemerintah bahkan tidak berani memutus kontrak vaksin yang belum mendapatkan sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Pemerintah tidak memasukkan seluruh jenis vaksin halal yang direkomendasikan saat ini,” ujarnya.
Ahmad mewanti-wanti untuk membawa urusan tersebut ke Mahkamah Internasional apabila putusan MA masih tidak dijalankan dengan baik.
Baca juga: Anggota Komis DPR desak Kemenkes segera laksanakan putusan MA
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Syaiful Bakhri mengatakan Kementerian Kesehatan wajib melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait vaksin halal COVID-19.
“Sejak keluarnya putusan MA tersebut, pemerintah berkewajiban untuk melakukan putusan itu. Semua vaksin harus halal. Kalau diduga selama ini vaksin tersebut tidak halal berarti melanggar hukum,” katanya dihubungi di Jakarta, Senin.
Terkait dengan somasi yang dilayangkan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) belum lama ini, Syaiful menyatakan hal itu merupakan sebuah peringatan karena pemerintah mengabaikan putusan MA soal jaminan ketersediaan dan pemberian vaksin halal.
Sebelumnya, Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) mendesak pemerintah untuk menyediakan vaksin halal pascakeluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31 P/HUM/2022.
Sebagaimana dalam amar putusan Nomor 31 P/HUM/2022 Mahkamah Agung RI menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Baca juga: YKMI sebut hanya tiga jenis vaksin yang dapatkan sertifikasi halal
“Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019/COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID 19 di wilayah Indonesia,” bunyi salinan putusan MA itu.
Selain itu MA menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019/COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 di wilayah Indonesia”.
“Ternyata pemerintah tampak mengabaikan putusan tersebut. Untuk itu, YKMI mengambil langkah somasi,” kata Direktur Eksekutif YKMI Ahmad Himawan dihubungi di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan YKMI telah melayangkan somasi kepada pemerintah sepekan lalu terkait putusan MA yang mewajibkan pemerintah menyediakan vaksin halal.
Bahkan, kata dia, pemerintah tidak menyiapkan langkah strategis untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Pemerintah bahkan tidak berani memutus kontrak vaksin yang belum mendapatkan sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Pemerintah tidak memasukkan seluruh jenis vaksin halal yang direkomendasikan saat ini,” ujarnya.
Ahmad mewanti-wanti untuk membawa urusan tersebut ke Mahkamah Internasional apabila putusan MA masih tidak dijalankan dengan baik.
Baca juga: Anggota Komis DPR desak Kemenkes segera laksanakan putusan MA
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Syaiful Bakhri mengatakan Kementerian Kesehatan wajib melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait vaksin halal COVID-19.
“Sejak keluarnya putusan MA tersebut, pemerintah berkewajiban untuk melakukan putusan itu. Semua vaksin harus halal. Kalau diduga selama ini vaksin tersebut tidak halal berarti melanggar hukum,” katanya dihubungi di Jakarta, Senin.
Terkait dengan somasi yang dilayangkan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) belum lama ini, Syaiful menyatakan hal itu merupakan sebuah peringatan karena pemerintah mengabaikan putusan MA soal jaminan ketersediaan dan pemberian vaksin halal.
Sebelumnya, Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) mendesak pemerintah untuk menyediakan vaksin halal pascakeluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31 P/HUM/2022.
Sebagaimana dalam amar putusan Nomor 31 P/HUM/2022 Mahkamah Agung RI menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Baca juga: YKMI sebut hanya tiga jenis vaksin yang dapatkan sertifikasi halal
“Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019/COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID 19 di wilayah Indonesia,” bunyi salinan putusan MA itu.
Selain itu MA menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019/COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 di wilayah Indonesia”.