Jakarta (ANTARA) - Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menilai vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Herry Wirawan tidak akan memberikan efek jera pada pelaku kejahatan.
"Vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan, yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi," kata Koordinator Penanganan Kasus LBHM Yosua Octavian melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut, kata dia, bukan tanpa alasan. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan sepanjang 2017 hingga 2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan 279 di antaranya adalah vonis pidana mati kasus narkotika.
"Namun, kendati vonis pidana mati kasus narkotika tinggi tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika," ujar dia.
Oleh karena itu, LBHM memandang pidana mati yang masih diterapkan di Indonesia termasuk yang baru saja dijatuhkan kepada Herry Wirawan tidak memberikan efek jera pada pelaku kejahatan.
Di sisi lain, LBHM melihat vonis pidana mati terhadap pemerkosa belasan santri di Bandung, Jawa Barat, justru menghilangkan peran negara dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap ruang aman yang semakin hari kian sulit.
"Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan serta pelecehan seksual masih dirasa sangat minim," ujar dia.
Yosua berpendapat vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan bukan jawaban atas kebutuhan para korban. Seharusnya, kasus ini merupakan notifikasi bagi pemerintah agar lebih maksimal merealisasikan perlindungan korban, bukan malah menjatuhkan vonis pidana mati.
Ia juga menilai hakim lalai mempertimbangkan Pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana.
"Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia," jelas dia.