Jakarta (ANTARA) - Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengaku belum menerima laporan resmi terkait temuan ada temuan Rp1 triliun mengalir ke partai politik (parpol) dari tindak pidana kejahatan lingkungan.
"Tidak ada sampai sekarang, memang sudah ada dulu kan informasi seperti itu, tapi laporan tertulisnya, formal, belum," kata Bagja dalam acara di Dewan Pers, Jakarta, Rabu.
Dia tak menampik bahwa informasi mengenai uang kejahatan itu sudah lama beredar, akan tetapi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tak kunjung melaporkannya.
Bagja mengatakan surat dari PPATK yang masuk ke Bawaslu justru berkaitan dengan persiapan pemilu dan mitigasi persoalan pemilu.
"Bulan Juni kalau tidak salah suratnya, tapi bukan soal aliran dana," tegasnya.
Ia juga menjelaskan saat ini pihaknya belum bisa melakukan penindakan, karena belum masuk masa kampanye. Untuk itu, Bagja menuturkan aparat penegak hukum (APH) beserta kepolisian yang memiliki wewenang melakukan penindakan.
"Ini kan masa sebelum kampanye, maka aparat penegak hukum, teman-teman kepolisian yang seharusnya diberikan oleh PPATK walaupun kemudian informasinya bisa kembangkan," ujar Bagja.
Sebelumnya, pada Selasa (8/8), PPATK mengungkapkan bahwa ada temuan Rp1 triliun mengalir ke partai politik(parpol) dari tindak pidana kejahatan lingkungan.
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan bahwa temuan uang tersebut telah dilaporkan kepada KPU dan Bawaslu beberapa waktu yang lalu.
"Salah satu temuan PPATK yang sudah ditemukan beberapa waktu yang lalu ada Rp1 triliun uang kejahatan lingkungan yang masuk ke partai politik," ujar Ivan dalam dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu yang dipantau secara daring melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, PPATK kini tengah berfokus mendalami tindak kejahatan keuangan lingkungan. Sebab, sampai saat ini tidak ada satu pun peserta pemilu yang bersih dari kejahatan tersebut.
"Karena PPATK sekarang sedang fokus pada green financial crime, ini yang ramai. Lalu apa yang terjadi? Nah, kami menemukan kok sepertinya tidak ada rekening dari para peserta kontestasi politik yang tidak terpapar," katanya.
Adapun PPATK setidaknya menemukan adanya risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada dana kampanye di sejumlah provinsi.
Wilayah tertinggi yang dominan terjadi TPPU adalah Jawa Timur (9), DKI Jakarta (8,90), Sumatera Barat (7,91), Jawa Barat (7,57), Papua (7,30), Sulawesi Selatan (7,24), dan Sumatera Utara (7,02).
Selain itu, Ivan menyebut ada dana hasil tindak pidana yang selama ini mengalir sepanjang tahapan pemilu. Untuk itu, pihaknya kini sedang menelusuri hal tersebut.