Menkes ungkapkan tiga celah praktik perundungan senior kepada dokter residen
Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkap tiga celah praktik perundungan (bullying) oleh senior terhadap dokter residen di rumah sakit yang menyebabkan kerugian mental hingga finansial.
"Nomor satu, ada suruhan yang sifatnya (menjadikan korban) pembantu pribadi. Perannya bukan untuk mengajar, tapi ada suruhan lain yang kalau tidak jawab, dicaci maki, kamu mampu atau 'enggak'," katanya dalam agenda Konferensi Pers Memutus Praktik Perundungan Pada Program Spesialis Kedokteran di Gedung Kemenkes Jakarta, Kamis.
Praktik tersebut dilakukan melalui kolom komunikasi media sosial WhatsApp Group yang disebutnya dengan nama "Jarkom". Grup komunikasi itu diisi oleh kalangan dokter spesialis senior dan para juniornya yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis.
Kelompok tersebut memanfaatkan peserta didik layaknya asisten pribadi, bahkan tidak jarang korbannya disuruh mengurus pakaian kotor, antar anak, hingga mengurus parkiran.
"Kemudian lagi ada acara, oh ini kurang sendok plastik sudah jam 00.00 WIB, dia harus cari sendok plastik 200 biji karena ada makan-makan di tempat seniornya. Itu prioritas nomor satu," katanya.
Praktik perundungan lainnya, kata dia, juga dialami peserta didik melalui perlakuan layaknya pembantu pribadi yang membantu tugas-tugas dokter senior.
"Yang nomor dua yang lebih ngeri dipakai seperti pekerja pribadi, biasanya yang paling sering disuruh menulis tugas dari kakak seniornya, atau nulis jurnal penelitian, karena ada juniornya, itu sebenarnya tugas kakak kelasnya, dia 'nyuruh' juniornya kerja, seniornya hanya meneliti," katanya.
Situasi itu membuat dokter junior yang seharusnya belajar spesialisasi yang diinginkan, jadi mengerjakan tugas seniornya yang tidak berhubungan dengan kesepesialisasian korban, kata Budi menambahkan.
Praktik perundungan yang juga membuat Menkes Budi terkejut ada di kelompok 3, yang berkaitan dengan uang.
"Banyak juga junior yang disuruh 'ngumpulin' uang, ada yang jutaan sampai ratusan juta, bisa buat siapin rumah untuk kumpul-kumpul senior, kontraknya setahun Rp50 juta, bagi rata dengan juniornya," katanya.
Selain itu, dokter residen juga kerap diminta memenuhi hasrat senior untuk makan-makan di restoran mewah, sewa peralatan dan lapangan olahraga, hingga mengganti gawai terbaru untuk seniornya.
Ia mengatakan, praktik perundungan terhadap dokter residen sudah puluhan tahun tidak pernah berani diungkapkan. Umumnya korban memilih bungkam sebab berkaitan dengan pengaruh dokter senior sebagai penentu kebijakan kelulusan lewat pemberian nilai.
Merespons hal itu, Kemenkes meluncurkan dua akses pelaporan praktik perundungan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Akses pertama melalui nomor aduan 0812-9979-9777 atau melalui website www.perundungan.kemkes.go.id, untuk memutus rantai perundungan terhadap dokter residen.
"Kita ada dua opsi, kalau berani kasih nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan lebih cepat ditindaklanjuti karena masuk langsung ke Inspektur Jenderal Kemenkes," katanya.
Jika sebaliknya, pelapor dapat memilih fitur "anonymous" yang memilih proses yang lebih lama dalam merespons kasus.
"Kami akan kirim tim dirjen ke RS bersangkutan dan akan kami audit," demikian Budi Gunadi Sadikin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menkes ungkap tiga celah praktik perundungan kepada dokter residen
"Nomor satu, ada suruhan yang sifatnya (menjadikan korban) pembantu pribadi. Perannya bukan untuk mengajar, tapi ada suruhan lain yang kalau tidak jawab, dicaci maki, kamu mampu atau 'enggak'," katanya dalam agenda Konferensi Pers Memutus Praktik Perundungan Pada Program Spesialis Kedokteran di Gedung Kemenkes Jakarta, Kamis.
Praktik tersebut dilakukan melalui kolom komunikasi media sosial WhatsApp Group yang disebutnya dengan nama "Jarkom". Grup komunikasi itu diisi oleh kalangan dokter spesialis senior dan para juniornya yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis.
Kelompok tersebut memanfaatkan peserta didik layaknya asisten pribadi, bahkan tidak jarang korbannya disuruh mengurus pakaian kotor, antar anak, hingga mengurus parkiran.
"Kemudian lagi ada acara, oh ini kurang sendok plastik sudah jam 00.00 WIB, dia harus cari sendok plastik 200 biji karena ada makan-makan di tempat seniornya. Itu prioritas nomor satu," katanya.
Praktik perundungan lainnya, kata dia, juga dialami peserta didik melalui perlakuan layaknya pembantu pribadi yang membantu tugas-tugas dokter senior.
"Yang nomor dua yang lebih ngeri dipakai seperti pekerja pribadi, biasanya yang paling sering disuruh menulis tugas dari kakak seniornya, atau nulis jurnal penelitian, karena ada juniornya, itu sebenarnya tugas kakak kelasnya, dia 'nyuruh' juniornya kerja, seniornya hanya meneliti," katanya.
Situasi itu membuat dokter junior yang seharusnya belajar spesialisasi yang diinginkan, jadi mengerjakan tugas seniornya yang tidak berhubungan dengan kesepesialisasian korban, kata Budi menambahkan.
Praktik perundungan yang juga membuat Menkes Budi terkejut ada di kelompok 3, yang berkaitan dengan uang.
"Banyak juga junior yang disuruh 'ngumpulin' uang, ada yang jutaan sampai ratusan juta, bisa buat siapin rumah untuk kumpul-kumpul senior, kontraknya setahun Rp50 juta, bagi rata dengan juniornya," katanya.
Selain itu, dokter residen juga kerap diminta memenuhi hasrat senior untuk makan-makan di restoran mewah, sewa peralatan dan lapangan olahraga, hingga mengganti gawai terbaru untuk seniornya.
Ia mengatakan, praktik perundungan terhadap dokter residen sudah puluhan tahun tidak pernah berani diungkapkan. Umumnya korban memilih bungkam sebab berkaitan dengan pengaruh dokter senior sebagai penentu kebijakan kelulusan lewat pemberian nilai.
Merespons hal itu, Kemenkes meluncurkan dua akses pelaporan praktik perundungan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Akses pertama melalui nomor aduan 0812-9979-9777 atau melalui website www.perundungan.kemkes.go.id, untuk memutus rantai perundungan terhadap dokter residen.
"Kita ada dua opsi, kalau berani kasih nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan lebih cepat ditindaklanjuti karena masuk langsung ke Inspektur Jenderal Kemenkes," katanya.
Jika sebaliknya, pelapor dapat memilih fitur "anonymous" yang memilih proses yang lebih lama dalam merespons kasus.
"Kami akan kirim tim dirjen ke RS bersangkutan dan akan kami audit," demikian Budi Gunadi Sadikin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menkes ungkap tiga celah praktik perundungan kepada dokter residen