Hong Kong, 22/9 (Antara/AFP) - Ribuan pelajar Hong Kong Senin memulai aksi boikot belajar selama sepekan, dalam aksi yang disebut para aktivis sebagai kampanye terbesar pembangkangan sipil terhadap penolakan Tiongkok memberikan demokrasi tak terkekang bagi kota tersebut.
Sekitar 3 ribu pelajar, banyak diantaranya mengibarkan bendera fakultas masing-masing dan berlindung dari terik matahari dengan payung, berkumpul dalam sebuah kampus di utara pinggiran kota.
Para pemimpin mereka berjanji untuk meningkatkan aksi tersebut jika permintaan mereka tidak dipenuhi.
Para pegiat demokrasi berhadapan dengan otoritas Tiongkok setelah harapan bekas koloni Inggris tersebut untuk mendapatkan hak pilih universal pupus oleh rencana Beijing memeriksa ketat kandidat yang akan maju sebagai pemimpin kota itu.
Koalisi kelompok-kelompok pro-demokrasi di kota berstatus semi-otonomi dipimpin oleh Occupy Central, mengecap pembatasan itu sebagai "demokrasi palsu".
Mereka berjanji menggelar serangkaian aksi termasuk blokade distrik pusat keuangan.
Komunitas pelajar vokal di kota itu pada Senin menjadi sayap pertama koalisi yang akan bergerak dari protes menuju aksi nyata --memulai boikot belajar selama sepekan yang dirancang untuk menarik perhatian publik dan mendukung perjuangan pro-demokrasi.
"Saya rasa pemerintah Tiongkok tidak akan mencoba melindungi hak kami, jadi sekarang kami keluar untuk berjuang bagi kebutuhan dasar kami," kata mahasiswa arsitektur Wu Tsz-wing (20) yang tengah berkumpul bersama mahasiswa lain di kampus Universitas Hong Kong.
Arika Ho, mahasiswa jurnalisme tahun kedua Universitas Hong Kong menambahkan: "Saya ingin tempat ini (Hong Kong) menjadi tempat yang lebih baik jadi saya ingin berdiri dan bergabung dengan lainnya untuk bersama-sama memaksakan perubahan."
Protes meningkat
Alex Chow, ketua Federasi Pelajar Hong Kong mengatakan kelompok-kelompok mahasiswa akan mengintensifkan aksi protes jika seruan mereka agar Hong Kong bisa memilih kandidat pemimpin mereka sendiri diabaikan.
"Kami meminta pemerintah menanggapi seruan kami untuk mengesahkan nominasi sipil," katanya di hadapan massa.
"Jika kami tidak mendengar apapun dari mereka, pelajar, rakyat pasti akan meningkatkan gerakan ini ke level lain," seru Chow.
Universitas Hong Kong, Tiongkok menjadi titik pertemuan rutin bagi pelajar yang menginginkan kebebasan demokrasi lebih besar di kota itu.
Kampus itu memiliki replika patung "Dewi Demokrasi" yang menjadi tempat berkumpul mahasiswa selama unjuk rasa Tiananmen di Beijing yang akhirnya dibubarkan secara brutal oleh pemerintah.
Mogok di Hong Kong itu akan memberikan nafas baru bagi kampanye demokrasi, yang belakangan ini kehilangan semangatnya setelah para pemimpin senior mengakui bahwa apapun yang mereka lakukan, Beijing tidak akan berubah pikiran.
Aksi tersebut dilakukan seminggu setelah lebih dari 1.500 pegiat beraksi di jalanan Hong Kong membawa spanduk kain hitam besar yang meminta hak pilih universal.
Aksi itu juga merupakan protes besar pertama sejak Kongres Rakyat Nasional Tiongkok (NPC) memutuskan pada akhir Agustus bahwa kandidat dalam pemilihan pemimpin wilayah tersebut pada 2017 akan diperiksa ketat oleh komite pro-Beijing -- dan hanya dua atau tiga kandidat yang disetujui yang akan dibolehkan maju.
Para pelajar bisa meniru keberhasilan pada 2012, saat mereka melakukan protes menentang rencana pemerintah Hong Kong untuk memberlakukan kurikulum pendidikan nasional yang dinilai pro-Tiongkok. Pemerintah akhirnya membatalkan rencana itu.
Namun di Beijing, retorika di media pemerintah terus menentang setiap dukungan terhadap gerakan demokrasi Hong Kong, yang oleh beberapa pihak dalam rejim komunis dilihat sebagai ancaman terselubung bagi keberlangsungan kekuasaan mereka.
Ketegangan di kota di selatan Tiongkok yang diserahkan kembali dari Inggris berdasar kesepakatn untuk memberi hak lebih besar itu berada di level tertinggi dalam beberapa tahun, terkait meningkatnya ketidaksetaraan dan campur tangan politik Beijing.
Satu dari lima warga Hong Kong ingin berpindah dari kota itu karena iklim politik saat ini, demikian hasil survei terbaru yang dilakukan Universitas Hong Kong.
Survei tersebut juga mengungkapkan pesimisme atas masa depan politik kota. Dalam skala 0 sampai 10, dengan 0 "sangat pesimistis", respon rata-rata berada pada level 4,22.