Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya pada informasi mengenai peretasan terhadap "web" atau laman KPU pascapencoblosan, 17 April 2019, yang merupakan salah satu dari sekian isu yang menyesatkan publik.
"Banyak sekali isu yang menyesatkan di tengah masyarakat pascapencoblosan, baik melalui media sosial maupun WhatsApp," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 kepada ANTARA di Semarang, Jateng, Selasa.
Menurut dia, selalu ada kemungkinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengalami serangan pada web dan sistemnya, seperti instansi pemerintah lainnya. Namun, konten yang dihadirkan ke publik oleh para "buzzer" cenderung membodohi publik.
Sebelumnya, KPU diserang isu penghitungan yang salah dan web yang diserang oleh peretas setelah hari "H" pencoblosan suara pilpres dan pemilu anggota legislatif, Rabu (17/4).
"Memang pemilu kita tidak menganut model 'e-election'. Namun, informasi yang disediakan KPU lewat webnya tetap sangat penting," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Ia mencontohkan pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun 2017 dan 2018, web KPU sempat "down" dan sulit diakses. Ketika itu, isu peretasan kembali hadir dengan model lama dan model baru.
Isu adanya serangan dari peretas Rusia dan Cina, kata Pratama, hadir kembali, apalagi sebelum gelaran pemilu, KPU juga sempat melontarkan hal ini.
Di sisi lain, lanjut dia, masyarakat yang panik dan tidak tahu secara teknis ikut terbawa isu yang sangat ramai di media sosial.
Salah satu yang paling jelas, kata dia, adalah gambar dan video "real time hacking" antarnegara. Banyak web yang menyediakan ini, salah satunya Kaspersky Lab. Masyarakat yang awam diberikan konten ini dan diarahkan bahwa ini adalah bentuk serangan ke KPU. Bahkan, ada yang memberikan gambar "billing" warnet dan masyarakat percaya.
Menurut Pratama, faktor paling utama membuat web KPU "down" adalah adanya lonjakan kunjungan sehingga server tidak sanggup lagi memproses. Hal ini harusnya diantisipasi KPU sejak lama karena sudah terjadi saat pilkada.
"Saya rasa serangan tetap ada walau tidak sebombastis seperti yang beredar di media sosial. Sebaiknya pengamanan disinergikan dengan pihak seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) maupun pihak ketiga yang profesional. Kita punya banyak SDM ahli pengamanan ini," tutur pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pratama melihat KPU tidak banyak belajar dari peristiwa web KPU down sebelumnya. Akibatnya, sekarang publik yang bingung karena informasi yang sangat simpang siur.
Kerja sama dengan BSSN, kata Pratama, memang sudah ada walaupun tidak formal. BSSN sendiri punya tugas mengamankan infrastruktur penting, salah satunya sistem milik KPU.
Selain peningkatan keamanan pada sistemnya, lanjut dia, KPU juga harus proaktif memberikan pencerahan kepada publik lewat media sosial khususnya.
Oleh karena itu, dia memandang perlu KPU menjadikan media sosial mereka sebagai salah satu alat untuk mengeduksi publik sehingga publik tidak termakan hoaks terus-menerus.