Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan bahwa DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, perlu merumuskan aturan dominasi koalisi pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) secara proporsional.
Aturan dominasi yang rasional tersebut dinilai penting, mengingat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga mengamanatkan bahwa partai politik dapat berkoalisi, sepanjang koalisi tersebut tidak menyebabkan dominasi.
“Ini bisa kita katakan bahwa sebetulnya MK menyarankan perlu ada ambang batas maksimal koalisinya, supaya tidak menjadi koalisi yang dominan. Dalam merumuskan angka, misalnya dalam bentuk persentase, itu juga kita perlu dorong agar pembentuk undang-undang ini juga berdasarkan hitung-hitungan yang rasional,” kata Ninis, sapaan akrabnya, dalam webinar yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Senada dengan itu, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan bahwa pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan agar tidak terjadi koalisi dominan, sebagaimana amanat putusan MK.
“MK concern (perhatian) betul bahwa batasan koalisi itu harus diatur sehingga tidak terjadi adanya koalisi yang dominan karena menurut MK, kalau terjadi dominasi koalisi itu akan membatasi pilihan masyarakat dalam pemilu,” ucapnya pada kesempatan yang sama.
Menurut Arya, pengaturan agar tidak terjadi koalisi dominan terbilang rumit dan kompleks. Pasalnya, pembentuk undang-undang perlu merumuskan definisi dari dominasi suatu koalisi partai politik.
“Kerumitan yang pertama adalah apa yang disebut dengan dominasi itu? Berapa ukurannya? Apakah dominasi itu ukurannya lebih dari 50 persen? Ataukah dominasi itu ukurannya lebih dari 2/3 atau 1/3 atau apa? Bagaimana, apa yang dimaksud dengan dominasi itu?” ucapnya.
Diketahui bahwa MK, Kamis (2/1), memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK menyatakan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pada pertimbangan hukumnya, MK juga memberi lima pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Pedoman pertama, yakni semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres.
Sementara itu, pada pedoman ketiga, MK mengatakan partai politik peserta pemilu dapat bergabung dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, sepanjang gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik yang menyebabkan terbatasnya pasangan calon dan pilihan bagi pemilih.
Adapun, dalam pedoman kelima, MK mengamanatkan agar rekayasa konstitusional itu dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu, dengan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.