Jakarta (ANTARA) - Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
"Terhadap putusan Mahkamah, terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi yang sepakat presidential threshold dihapus, Anwar dan Daniel berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para pemohon dalam perkara tersebut tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan tidak dapat diterima.
Perkara itu dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Para pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Anwar dan Daniel meyakini pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dan perseorangan yang memiliki hak dipilih dan didukung untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kategori pihak yang memiliki kedudukan hukum tersebut, menurut Anwar dan Daniel, telah menjadi pedoman Mahkamah dalam 33 kali pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sebelumnya. Oleh sebab itu, kedua hakim konstitusi itu tetap berpedoman pada kategori tersebut.
Selain itu, Anwar dan Daniel menilai, Mahkamah seharusnya mengendalikan diri dari kecenderungan untuk menilai kembali konstitusionalitas norma presidential threshold dengan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang.
"Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak diperkenankan membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang," demikian pendapat berbeda Anwar dan Daniel dikutip dari salinan putusan yang diunduh dari laman resmi MK.
Diketahui bahwa MK menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Wakil Ketua MK Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan putusan, mengatakan bahwa Mahkamah menilai presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Oleh sebab itu, Mahkamah memiliki alasan yang kuat dan mendasar untuk menggeser pendiriannya dari yang sebelumnya menyatakan presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi.