Manado, (AntaraSulut) - PENGANTAR - Etika sebagaimana yang dipahami dalam dunia ilmu pengetahuan, merupakan ilmu yang mencari orientasi. (Magnis Suseno 1987: 5). Dengan ilmu yang mencari orientasi, etika digunakan manusia sebagai usaha untuk menjawab suatu pertanyaan yang mendasar: Bagaimana saya harus hidup dan bertindak. Kata etika secara etimologis berasal dari kata Yunani ethos, yang secara harafiah berarti adat kebiasaan, watak, atau kelakuan manusia (tindakan manusia). Istilah etika dipakai untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku (tindakan) manusia sebagai manusia. Objek material ilmu etika adalah tingkah laku atau tindakan manusia sebagai manusia, sedangkan objek formalnya adalah segi baik buruknya atau benar salahnya tindakan tersebut berdasarkan norma.
Dalam konteks ini, tindakan menjadi inti pokok dalam pembahasan mengenai etika. Thomas Aquinas membedakan antara actus humanae/tindakan manusiawi dan actus hominis/tindakan manusia. Actus humanae adalah aktivitas manusia seperti berkebun, berolah raga, berpolitik, menciptakan karya seni dsb., (aktivitas khas manusiawi). Sementara itu, actus hominis ialah aktivitas manusia sebagai makhluk hidup semata seperti bertumbuh, bereproduksi, mencari nutrisi, bermetabolisme dsb., (aktivitas yang juga dilakukan tumbuhan dan hewan). Jadi, etika membahas tindakan manusiawi (actus humanae) dan bukan tindakan manusia (actus hominis) yang dibahas oleh ilmu biologi atau psikologi.
Dalam pemikiran Barat, etika lebih menekankan akal budi, pemikiran yang rasional dan dalam penerapannya, manusia menjadi pusat. Demikian juga dalam sikap dan tindakan terhadap alam, nampak bahwa manusia mengisi hidup dengan kerja sebagai kebaikan tertinggi. Terhadap status manusia, pemikiran Barat lebih menekankan bahwa manusia sebagai individu dengan kebebasan yang ia miliki.
Berbanding terbalik dengan pemikiran Barat, pemikiran Timur mengedepankan unsur sikap dan tindakan manusia ketika berhadapan dengan alam. Bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Jadi antara manusia dan dunia ada harmoni. Terhadap alam, sikap manusia lebih mengedepankan harmoni, ketenangan, kedamaian, dan hidup sederhana. Bahwa manusia harus menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Demikian juga martabat manusia dikedepankan, manusia ada bukan untuk dirinya, dan manusia ada dalam solidaritas dengan sesamanya. Perbedaan pemikiran termasuk pula kajiannya dalam etika antara pemikiran Barat dan Timur ini, mengantar penulis pada bagian yang diuraikan secara lebih luas di bawah ini.
 
UPANISAD: SELAYANG PANDANG
Pemikiran filsafat timur khususnya etika upanisad dalam tulisan ini, secara implisit mengetengahkan keterkaitan etika yang diajarkan dalam kitab itu, dengan agama dalam hal ini Allah (Realitas Abadi). Sehingga diyakini dasar tindakan etis seseorang otomatis berasal dari sang Allah (Realitas Abadi) itu. Upanisad dapat dikatakan sebagai sendi-sendi pemikiran Filsafat Timur, di mana di dalam teks-teks ini terkandung kekritisan yang mendorong kontemplasi serta refleksi, demi untuk memecahkan problem-problem mendasar tentang kemanusiaan.
Secara etimologis, upanisad yang berasal dari bahasa sansekerta, upa (dekat), ni (bawah), sad (duduk), dan secara literal upanisad berarti duduk di bawah kaki guru untuk menyimak atau mendengarkan ajaran sang guru. Dengan mempunyai pola pikir, upanisad mengandaikan suatu bentuk kesadaran yang menginginkan pemahaman akan dunia yang jernih dan bijaksana.
Upanisad selalu mengatakan bahwa dengan menjadi kritis dan responsif terhadap satu fenomena, maka sesungguhnya manusia tersebut menyadari akan eksistensinya dan memahami peranannya di dalam dunia. Untuk mencapai kesadaran upanisad sangat menekankan kehendak sang diri untuk mencapai suatu pembebasan. Dalam hal ini upanisad bertujuan untuk memberikan pencerahan bagi manusia, agar dapat meraih pengetahuan utama. Upanisad dikatakan sebagai kitab veda penutup, sehingga aliran pemikiran yang membahas upanisad disebut sebagai vedanta. Upanisad memberikan sumbangan penting bagi filsafat India, karena upanisad sangat relevan dengan dunia dan juga karena semangat pembaharuannya yang sangat mendasar dan universal bagi manusia.
Hemat penulis, dari pemahaman dasar tentang upanisad ini, nampak dengan jelas bahwa titik berangkat kajian upanisad adalah tindakan manusia dalam kehidupan di alam semesta, dan semua tindakan serta perilaku manusia tentu menjadi inti pokok terutama untuk mencapai moksa (pembebasan).
TIGA VISI & AJARAN POKOK UPANISHAD TENTANG ETIKA
Seperti sudah dijelaskan dalam pengantar di atas, upanisad merupakan teks-teks veda yang paling penting (teks penutup dalam veda), karena teks itu memuat pertanyaan-pertanyaan yang paling mendalam tentang arti hidup dan kehidupan itu sendiri. Tiga visi tentang hidup yang diwartakan oleh para pemikir bijak upanisad, adalah diri (self), tindakan yang baik dan pengetahuan meditatif. Visi pertama, diri (self), yang paling mendalam, yaitu Atman. Ini adalah satu dengan realitas tertinggi yaitu Brahman. Visi kedua, kita dapat menjadi baik hanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang baik. Visi ketiga, pengetahuan meditatif membebaskan kita dari kematian dan penderitaan.
Ajaran upanisad bersumber dari otoritas veda. Sekalipun penekanannya pada etika subyektif, upanisad tidak menolak nilai-nilai etika sosial. Adapun beberapa kebajikan/keutamaan sosial dapat disebutkan antara lain: Keramahan terhadap tamu, sopan santun, dan kewajiban pada istri, anak-anak dan para cucu. Tindakan-tindakan etis bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial. Manusia mengidentifikasikan dirinya dengan dunia dan sadar akan tanggung jawab sosial mereka. Ketiadaan pengendalian etika akan menyebabkan kekacauan, yang merusak pengembangan kebajikan spiritual.
Ajaran upanisad tentang etika, berangkat dari keadaan manusia itu sendiri yang memiliki kesatuan ideal dengan Tuhan. Perbedaan antara kesadaran manusia dan semua yang lain adalah sbb: Ketika semua (yang berada di luar manusia) mencari yang tak terbatas, manusia sendiri memiliki gagasan tentang yang akhir. Yang mutlak adalah diri yang terbatas, sebagai kesempurnaan tertinggi, atau dengan kata lain, itulah cita-cita yang paling diinginkan. Selain itu, diri yang terbatas itulah juga, yang direalisasikan dalam tindakan, sikap dan atau perilaku manusia dalam kehidupan nyata. Untuk hidup dalam dunia, penyakit dan penderitaan merupakan kemalangan atau kehancuran yang menyebabkan keterbatasan eksistensi manusia itu.
Etika upanisad adalah bagian dari usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan tertinggi, dan sarana untuk menuju ke sana adalah kehidupan moralitas yang baik. Menurut Radhakrisnan, cita-cita yang sempurna dari manusia ditemukan di dalam realitas yang abadi. Hukum moralitas adalah ajakan untuk menjadi sempurna dalam realitas abadi tersebut. Jadi, manusia akan mencapai realitas abadi yang berarti pula mencapai self realization, bahwa manusia merealisasikan dirinya dalam kehidupannya. Selain itu, Radhakrisnan mengemukakan bahwa sebelum membahas kehidupan etis, perlu ada pertanyaan mungkinkah ada etika dalam sistem filsafat India.
Pertanyaan sentralnya adalah: Jika semua adalah satu, bagaimana kita dapat memiliki hubungan bermoral? Jika yang mutlak adalah kesempurnaan, di mana ada upaya mewujudkan yang sudah dicapai? Monisme tidak berarti menghilangkan perbedaan antara yang baik dan yang jahat. Keberlainan dan kemajemukan kehidupan etis menurut Radhakrisnan, diperbolehkan dalam upanisad.
Dalam kehidupan etis itu, manusia terpanggil untuk mengasihi sesama karena adanya kesatuan. Manusia harus mengembangkan kepribadiannya, untuk hidup dalam kebaikan yang sempurna. Praktisnya, sifat ideal (moral) manusia dapat dicapai, jika diri ‘yang terbatas’ melampaui individualitas dan mengidentikan dirinya dengan keseluruhan (kehidupan bersama). Dalam kondisi demikian, Allah hadir sebagai potensi yang memungkinkan untuk mencapai itu. Manusia adalah perlawanan antara yang terbatas/alam dan cita-cita yang tak terbatas/Roh Ilahi. Manusia yang hidup adalah manusia yang ada dalam perjuangan antara ‘yang terbatas’ dan ‘yang tak terbatas’.
Tujuan etika upanshad adalah realisasi diri. Perilaku moral adalah perilaku self - sadar. Kehidupan moral merupakan salah satu pemahaman rasio/akal budi, tetapi hal tersebut bukan dari akal atau naluri semata. Di satu sisi moralitas upanisad bersifat individualistik, karena tujuannya adalah realisasi diri. Jadi, mengidentifikasi dengan realisasi diri di sini, dimaksudkan bukan diri sendiri pada dirinya, melainkan kehidupan moral yang berpusat pada Tuhan. Kehidupan cinta yang memiliki passion untuk kemanusiaan adalah kehidupan yang mencari ‘yang tak terbatas’ melalui keterbatasan diri.
Selain tentang realisasi diri manusia, upanisad juga berisi ajakan untuk meninggalkan kepentingan pribadi terutama keegoisan. Orang yang benar bukanlah yang meninggalkan dunia, tetapi dia yang tinggal di dunia dan mencintai benda-benda dunia, bukan untuk kepentingan sendiri semata, tetapi demi yang tak terbatas. Dalam hal ini, Radhakrisnan menekankan bahwa baginya Tuhan memiliki nilai yang tanpa syarat. Cinta manusia hanyalah bayangan dari cinta ilahi. Kita mungkin mencintai pasangan hidup demi sukacita yang besar, tapi sebenarnya, bukan demi pasangan hidup kita, namun demi atman. Tujuan dari upanisad tidak banyak menekankan lebih ke dalam/penetrasi, tetapi terlebih untuk meminimalkan semua kekerasan dengan kontemplasi yang mendalam. Pandangan ini menyatakan bahwa upanisad menuntut adanya pembebasan manusia (manusia mengalami pembebasan).
ETIKA SEBAGAI LANDASAN TINDAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN SOSIAL
Tindakan-tindakan etis yang dimaksudkan di atas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan diperintahkan kepada siapa saja yang mengidentikkan diri dengan dunia dan sadar akan tanggung jawab sosial mereka. Tanpa pengendalian etika, akan terjadi kekacauan, yang akan merusak kebajikan spiritual. Menurut upanisad, para dewa yang merupakan penjaga masyarakat, sengaja menaruh hambatan di jalan orang-orang yang ingin bebas dari samsara, tanpa terlebih dahulu melaksanakan tugas dan kewajiban sosial mereka. Setiap manusia yang dianugerahi kesadaran sosial, mempunyai paling sedikit tiga kewajiban untuk dilakukan: Membayar hutang kepada Tuhan dan para dewa; kepada para Reshi, dan kepada para leluhur.
Bahkan filosofi Hindu secara umum yang tercantum dalam dalam kitab veda, mengandung ajaran tentang keadilan sosial. Advaita vedanta juga menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah Tuhan. Sesuai dengan filosofi ini Tuhan adalah lautan, sementara jiwa individu adalah ombak dari lautan itu, yang memiliki identitas sendiri yang sifatnya sementara, tapi tetap sebagai bagian dari lautan. Sesuai dengan filosofi lainnya, Tuhan dan manusia adalah terpisah; manusia seperti kendi tanah yang diisi air yang diambil dari lautan yang sama yang adalah Tuhan. Esensi dari hidup- prinsipnya atau kesadaran dari tiap orang adalah sama.
Kedua konsep ini akan menghasilkan kesadaran bersama yang membuat kita empati terhadap penyakit dan penderitaan orang lain. Karena kita tidak saja identik, tetapi sama dengan orang lain. Oleh karena itu kita seharusnya tidak segan untuk menolong orang lain. Tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari filosofi manusia. Setiap manusia harus empati terhadap kebutuhan orang lain, karena merupakan bagian dari yang lainnya; sebenarnya mereka merupakan bagian dari Tuhan yang sama. Tak ada seorang pun, harus bahagia dengan niat baiknya sendiri, tapi harus lebih berjuang untuk kebaikan bersama.
Tetapi ada perbedaan yang lebar antara ide utama dari filosofi Hindu dan tingkah laku sosial dalam realitas. Jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, orang kaya yang tak berperasaan kepada si miskin, tentu berlawanan dengan prinsip dari filosofi Hindu. Demikian juga ada orang kaya yang membuat acara besar dengan biaya besar pula, sementara kita acuh tak acuh dengan umat lain yang tidak mampu, adalah juga berlawanan dengan filosofi Hindu. Orang baik dengan keinginan sendiri selalu ingin menolong seluruh manusia, dan menganggap hal itu adalah kewajibannya yang utama.
Optimalisasi potensi untuk pengembangan tindakan etis ini, diwujudkan melalui proses, yang diawali dengan proses tumbuhnya kesadaran sosial. Bahwa kita bersaudara satu sama lain, atau hakikat diri kita sebetulnya sama, satu dengan lain. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan juga bagi yang lain. Demikian juga kebahagiaan bagi yang satu adalah kebahagiaan juga bagi yang lain. Masyarakat yang sejahtera, adalah jumlah dari individu dan keluarga yang sejahtera. (AMBROSIUS LOHO
Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta)