Jakarta (ANTARA) - Penerapan aturan zero over dimension over loading (zero ODOL) di jalan tol dipandang sebagai langkah krusial untuk menekan angka kecelakaan, sekaligus mengurangi pemborosan anggaran negara akibat kerusakan infrastruktur.
Wakil Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang mengatakan banyak pihak kerap beralasan bahwa pengetatan aturan ODOL akan berdampak pada inflasi.Namun, riset lain menunjukkan pengaruhnya terhadap inflasi relatif kecil.
"Ada pihak yang ngomong kalau diterapkan (zero ODOL), pengetatan truk-truk ODOL itu nanti akan berdampak pada inflasi, tapi sementara di riset yang lain, pengaruhnya sangat-sangat minim. Kalau bagi orang transportasi, ini bukan masalah inflasi. Ini masalah keselamatan. Keselamatan itu nomor satu," kata Deddy saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Pakar transportasi ini menilai keberanian pemerintah dan pengelola jalan tol dalam menertibkan truk kelebihan muatan maupun dimensi akan menjadi penentu keberhasilan tata kelola logistik nasional.
Apalagi masalah truk ODOL sudah bergulir lama, namun selalu mundur dalam implementasinya. Program zero ODOL sempat ditargetkan berlaku penuh pada 2023, ditunda ke 2025, dan kini kembali diundur ke awal 2027.
Deddy memaparkan data kecelakaan lalu lintas menunjukkan kontribusi besar dari kendaraan ODOL, terutama di jalan tol.
Kecelakaan di jalan tol akibat kegagalan pengereman karena overload mencapai 40 persen di 2023. Angkanya stabil di sekitar 40 persen.
Sementara, di jalan nasional, kecelakaan akibat truk atau bus besar dengan rem blong sekitar 10-12 persen.
Ia menekankan masalah ODOL di jalan tol seharusnya bisa lebih sederhana ditangani dibandingkan di jalan nasional atau arteri. Sebab, jalan tol hanya memiliki akses terbatas melalui gerbang masuk.
Lebih jauh, Deddy mencatat penanganan truk ODOL di jalan tol bukan hanya tanggung jawab pemerintah melalui regulasi, tetapi juga harus menjadi peran aktif badan usaha jalan tol (BUJT) selaku pengelola jalan tol.
Ia menegaskan bahwa kendaraan ODOL menjadi penyebab utama kerusakan jalan tol. Jalan yang rusak atau bergelombang akibat truk ODOL tidak hanya merugikan kendaraan besar lainnya, tetapi juga kendaraan pribadi.
Bahkan, kerusakan ini meningkatkan risiko kecelakaan, seperti mobil pribadi yang bisa saja tertabrak truk ODOL.
Dengan kondisi seperti itu, BUJT seharusnya lebih berani mengambil langkah konkret. Misalnya, bukan sekadar membebankan biaya tambahan lewat kenaikan tarif tol untuk kendaraan kelas II dan III, karena hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah.
Solusi yang dibutuhkan adalah penolakan tegas terhadap truk ODOL agar tidak bisa masuk jalan tol sejak gerbang masuk, apalagi teknologi sensor saat ini sudah mampu mendeteksi kendaraan yang kelebihan muatan maupun dimensi.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno juga menegaskan perlunya langkah berani untuk menertibkan angkutan barang yang melanggar aturan dimensi dan muatan.
Menurut Djoko, keberadaan ODOL tidak hanya berbahaya bagi keselamatan pengguna jalan, tetapi juga merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Perhitungan terkini dari Ditjen Bina Marga Kementerian PU, pemborosan keuangan negara akibat kerusakan pada jalan nasional, provinsi dan kabupaten/kota mencapai Rp47,43 triliun setiap tahun.
"Harus ada langkah berani dan bijak dari pemerintah untuk menertibkan truk berdimensi dan bermuatan lebih. Tentunya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan, sosial dan ekonomi," ucap Djoko.
Di sisI infrastruktur, kendaraan ODOL memperparah kerusakan jalan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
"Keberadaan ODOL ini tidak hanya memberikan kerugian materi yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia," paparnya.
Dari sisi ekonomi, ODOL tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN sehingga melemahkan daya saing nasional.
Kerusakan jalan yang dipicu ODOL juga mendorong inefisiensi biaya logistik, yang pada akhirnya menurunkan daya saing infrastruktur Indonesia.
Data Korlantas Polri hingga Juli 2025 mengungkapkan dari total 63.786 truk pribadi, sebanyak 79 persen kelebihan muatan dan 21 persen kelebihan dimensi. Sementara dari 37.822 truk perusahaan, 68 persen kelebihan muatan dan 32 persen kelebihan dimensi.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat jumlah truk di Indonesia mencapai 6,09 juta unit, dengan hampir setengahnya beroperasi di Pulau Jawa.
Menanggapi persoalan ini, Presiden Prabowo Subianto telah menyerahkan penanganan ODOL kepada Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Infrastruktur, dan Pembangunan Kewilayahan.
Selain itu, pemerintah tengah menyiapkan sembilan rencana aksi nasional zero ODOL dengan 47 keluaran (output) konkret.
Program tersebut meliputi integrasi pengawasan elektronik, penindakan kendaraan angkutan barang, penetapan kelas jalan, pembangunan jalan khusus logistik, hingga pemberian insentif dan disinsentif bagi perusahaan yang taat maupun melanggar aturan ODOL.

