Jakarta (ANTARA) - Seorang pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua, E Ramos Petege menggugat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) usai gagal menikahi seorang perempuan karena berbeda keyakinan.
"Setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan pernikahan, namun dibatalkan karena perbedaan keyakinan," kata kuasa hukum pemohon Ni Komang Tari Padmawati pada sidang perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Rabu.
Diketahui, pemohon E Ramos Petege merupakan seorang pemeluk katolik. Sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama islam.
Keduanya, kata kuasa pemohon, telah menjalin hubungan selama tiga tahun dan berniat untuk melangsungkan pernikahan, namun terpaksa dibatalkan karena berbeda agama atau keyakinan.
"Karena Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan ketegasan dan kejelasan pengaturan terhadap dua agama atau kepercayaan berbeda yang hendak melakukan perkawinan," ujar dia.
Selain itu, sambung dia, gagalnya niatan pernikahan kedua belah pihak juga karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Ia mengatakan pengujian materi atau gugatan UU Perkawinan sejatinya telah dilakukan beberapa kali sebelum pihaknya melayangkan gugatan ke MK.
Secara khusus pengujian Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan juga sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, sambung dia, perkara yang diajukan pemohon bukan perkara nebis in idem.
Hal tersebut dikarenakan adanya penambahan batu uji pengujian Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Batu uji tambahan tersebut yakni ketentuan Pasal 29 Ayat (1) sebagai pengaturan yang menegaskan serta menjadi dasar adanya perlindungan oleh negara terhadap kebebasan beragama.
Terkait kerugian yang dialami pemohon, kuasa hukum mengatakan kerugian tersebut merupakan suatu yang faktual dan sudah terjadi serta mengakibatkan kerugian materi dan konstitusional pemohon.
Dalam gugatannya, pemohon melalui empat orang kuasa hukumnya mendalilkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang dinilainya telah mencederai hak konstitusional pemohon.
Hal itu sebagaimana yang diamanahkan Pasal 29 Ayat (1), (2) Pasal 28E Ayat (1) dan (2) Pasal 27 Ayat (1) Pasal 28I Ayat (1) dan (2), Pasal 28B Ayat (1) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.