Minahasa Tenggara (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Minahasa Tenggara (Mitra), telah menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) unaudited untuk tahun anggaran 2022, ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulawesi Utara, di Manado, Kamis.
Laporan tersebut diserahkan langsung Wakil Bupati (Wabup) Joke Legi, dan diterima Kepala Perwakilan BPK Sulawesi Utara Arif Fadillah, disaksikan Wakil Gubernur Steven Kandouw.
Menurut Sekretaris Daerah Minahasa Tenggara David Lalandos, auditor dari BPK dijadwalkan akan segera melakukan pemeriksaan terkait dengan LKPD yang telah disampaikan.
"Pekan depan pemeriksa sudah masuk di Pemkab untuk melakukan pemeriksaan. Sudah ada tim yang disiapkan BPK," katanya saat mendampingi Wabup.
Ia mengungkapkan, para auditor dari BPK ini nantinya akan melakukan pemeriksaan selama tiga puluh hari.
"Pemeriksaan ini akan lebih terperinci, setelah kami menyampaikan LKPD. Karena sebelumnya ada pemeriksaan pendahuluan yang juga tiga puluh hari," ujarnya.
Lebih lanjut kata David, seluruh organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemkab agar mempersiapkan segala keperluan dalam pemeriksaan tersebut.
"Semua jajaran diingatkan untuk kooperatif dalam pemeriksaan, setiap kepala perangkat daerah bertanggung jawab. Termasuk dalam menyiapakan setiap dokumen, dan data pendukung," tandasnya.
Selain itu, kata dia, rekomendasi terhadap presiden terkait penguatan regulasi dan tata kelola kelembagaan, yakni melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian, terutama berkaitan dengan surveiians kesehatan dan sistem pengawasan.
"Penguatan tata kelola kelembagaan dan peningkatan kompetensi SDM instansi pemerintah yang memiliki otoritas terkait pelayanan kesehatan dan pengawasan kefarmasian," papar dia.
Mengingat kompleksitas tantangan persoalan kesehatan dan besarnya tanggung jawab dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia, tambahnya, maka diperlukan pengaturan secara khusus melalui UU terhadap mandat dan kewenangan BPOM RI. "Perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia (RUU Kefarmasian)," katanya.
Mengingat sudah tidak relevannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, terutama terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan. Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan dimaksud, ujarnya.
Perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang pengawasan proses produksi, distribusi, pemanfaatan senyawa kimia berbahaya, dan beracun di
Indonesia, termasuk memastikan adanya mandat dan kewenangan yang jelas (tidak tumpang tindih) dan terpadu (terintegrasi) antarinstansi yang memiliki otoritas terkait.
"Menjamin tidak berulangnya kasus serupa di kemudian hari," katanya.
Kemudian, paparnya, rekomendasi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yakni melakukan penegakan hukum secara adil, objektif, transparan, cepat, dan terukur untuk memastikan terwujudnya kepastian hukum dan pemenuhan hak atas keadilan bagi seluruh pihak terutama korban.
"Mengingat keseluruhan korban dalam perkara tersebut adalah anak dan produk obat yang spesifik ditujukan kepada konsumen anak, maka penegak hukum perlu
mempertimbangkan penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dalam perkara tersebut," katanya menegaskan.
Selain itu, lanjut dia, rekomendasi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, di mana dalam rangka penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum, maka Komnas HAM RI meminta LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban/keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan.
Terakhir, rekomendasi kepada pelaku industri farmasi agar mematuhi seluruh ketentuan dalam produksi dan distribusi obat sesuai dengan Farmakope Indonesia dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Memastikan seluruh produk obat terjamin keamanan, mutu, dan khasiat.
Menjamin seluruh proses bisnisnya memperhatikan prinsip-prinsip HAM sebagaimana United Nation Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights. Serta menjamin tidak berulangnya kasus serupa di kemudian hari, katanya.