Manado (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 12 tahun kepada terdakwa Eddy Hermanto dan Syarifuddin MF atas kasus tindak pidana korupsi hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Dalam kasus tersebut terdakwa Eddy Hermanto menjabat selaku Ketua Umum Panitia Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan terdakwa Syarifuddin MF selaku Ketua Divisi Lelang Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Para terdakwa tersebut merupakan dua dari empat orang terdakwa dalam satu berkas perkara.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Eddy Hermanto dan Syarifuddin MF telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi bersama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun dan denda masing Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan masing-masing empat bulan," kata Ketua Majelis Hakim Syahlan Effendi membacakan amar putusannya di Palembang, Jumat.
Menurutnya, selain pidana penjara, setiap terdakwa wajib untuk membayar denda pengganti atas kasus tersebut masing-masing untuk tersangka Eddy Hermanto senilai Rp218 juta subsider dua tahun penjara. Lalu untuk terdakwa Syarifuddin senilai Rp1 miliar subsider dua tahun delapan bulan penjara.
Berlaku ketentuan bila dalam waktu satu bulan setelah putusan berstatus inkracht (berkekuatan hukum) maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa untuk dilelang.
Hasil dari pelelangan tersebut uangnya dikembalikan kepada negara.
"Kalau nilainya masih tidak mencukupi maka dikenakan pidana penjara dua tahun dan dua tahun delapan bulan," ujarnya.
Hakim berpandangan, hukuman yang diberikan tersebut sudah memenuhi asas keadilan dan setimpal dengan perbuatan terdakwa yang tidak mendukung program pemberantasan korupsi sekaligus yang bersangkutan tidak menyesali perbuatannya.
Setelah memeriksa alat bukti, keterangan saksi dan pendapat ahli di persidangan maka hakim menilai ada beberapa hal yang membuktikan terdakwa bersalah melakukan korupsi sebagaimana yang didakwakan terhadap mereka.
Perbuatan yang dimaksud tersebut di antaranya, terdakwa di luar kewenangannya sudah menandatangani perjanjian kontrak kerja dengan pihak terkait, tidak melibatkan anggota dalam pelelangan pembangunan, di luar kewenangan menerima honor, fasilitas perjalanan yang dalam hal ini mengandung unsur kerugian negara senilai Rp64 miliar.
Terdakwa yang merupakan seorang aparatur sipil negara (ASN) tersebut tidak melaporkan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana hibah yang berasal dari APBD kepada Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD), secara sengaja tidak melaporkan ke KPK terhitung 30 hari setelah menerima gratifikasi.
Kemudian terbukti menerima dan menelan dana yang bukan untuk pembangunan masjid melainkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
"Unsur selaku ASN yang sudah menerima gratifikasi sudah terpenuhi. Perbuatan itu bertentangan dengan jabatannya yang merupakan penyelenggara negara yang bertanggung jawab perbuatan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN)," kata dia.
Atas perbuatan terdakwa mereka dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal primer.
Melanggar Pasal 12 b ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gratifikasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal sekunder.
Sementara itu kedua terdakwa yang mengikuti sidang secara daring dari rumah tahanan klas 1 Palembang mengatakan mereka sepakat untuk mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan memutuskan untuk pikir-pikir selama waktu tujuh hari yang diberikan oleh hakim.