BKKBN berharap pemda tidak gunakan e-PPBGM tentukan prevalensi stunting
Manado (ANTARA) - Pejabat Pembina Wilayah BKKBN RI untuk Sulawesi Utara, Ir Siti Fathonah, MPH berharap, pemerintah daerah tidak menggunakan data aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) untuk menentukan prevalensi stunting atau kekerdilan.
"BKKBN berharap pemerintah daerah menggunakan survei berskala nasional melalui Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) sebagai acuan mengukur prevalensi stunting," kata Fathonah di Manado, Kamis.
Aplikasi e-PPGBM menurut dia, adalah data 'byname byadress' dari posyandu yang belum tentu cakupannya 100 persen, artinya belum semua balita diukur antropometri.
Dia berharap, data tersebut hanya digunakan untuk kegiatan intervensi melaksanakan program-program di lapangan.
Menurut dia, kalau ingin menyandingkan antara kedua data tersebut, maka harus diperhatikan apakah sumber daya manusia yang melakukan pengukuran antropometri untuk tinggi dan berat badan sudah berkualifikasi? Sementara SDM untuk SSGI sudah dilatih.
Kedua, apakah alat ukur antropometri tersebut sudah dikalibrasi?
Ketiga, cakupannya, apakah semua anak di posyandu tersebut diukur oleh orang yang berkualifikasi?
Menurut dia, kebanyakan anak yang diukur antropometri dalam e-PPGBM tersebut masih di bawah 30 persen karena kemarin masih pandemi COVID-19 sehingga posyandu dibilang belum berjalan optimal.
"Ketika datanya tidak representatif, maka data SSGI dan e-PPGBM tidak mungkin berdekatan. Kalau cakupannya sudah di atas 90 persen, maka data akan mendekati data SSGI, celah datanya tidak akan terlalu besar," jelasnya.
Fathonah menyayangkan hal ini dan berharap teman-teman di daerah tidak menggunakan data e-PPGBM untuk menyusun target dan penilaian stunting.
Berdasarkan data yang telah dirilis survei berskala nasional melalui Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, angka prevalensi stunting di Sulut yakni sebesar 21,6 persen.
Sementara berdasarkan data pembanding melalui hasil aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), hasil pelaporan dari masing-masing puskemas ke Provinsi Sulut menunjukkan angka prevalensi stunting tahun 2021 sebesar 3,10 persen. ***3***
"BKKBN berharap pemerintah daerah menggunakan survei berskala nasional melalui Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) sebagai acuan mengukur prevalensi stunting," kata Fathonah di Manado, Kamis.
Aplikasi e-PPGBM menurut dia, adalah data 'byname byadress' dari posyandu yang belum tentu cakupannya 100 persen, artinya belum semua balita diukur antropometri.
Dia berharap, data tersebut hanya digunakan untuk kegiatan intervensi melaksanakan program-program di lapangan.
Menurut dia, kalau ingin menyandingkan antara kedua data tersebut, maka harus diperhatikan apakah sumber daya manusia yang melakukan pengukuran antropometri untuk tinggi dan berat badan sudah berkualifikasi? Sementara SDM untuk SSGI sudah dilatih.
Kedua, apakah alat ukur antropometri tersebut sudah dikalibrasi?
Ketiga, cakupannya, apakah semua anak di posyandu tersebut diukur oleh orang yang berkualifikasi?
Menurut dia, kebanyakan anak yang diukur antropometri dalam e-PPGBM tersebut masih di bawah 30 persen karena kemarin masih pandemi COVID-19 sehingga posyandu dibilang belum berjalan optimal.
"Ketika datanya tidak representatif, maka data SSGI dan e-PPGBM tidak mungkin berdekatan. Kalau cakupannya sudah di atas 90 persen, maka data akan mendekati data SSGI, celah datanya tidak akan terlalu besar," jelasnya.
Fathonah menyayangkan hal ini dan berharap teman-teman di daerah tidak menggunakan data e-PPGBM untuk menyusun target dan penilaian stunting.
Berdasarkan data yang telah dirilis survei berskala nasional melalui Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, angka prevalensi stunting di Sulut yakni sebesar 21,6 persen.
Sementara berdasarkan data pembanding melalui hasil aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), hasil pelaporan dari masing-masing puskemas ke Provinsi Sulut menunjukkan angka prevalensi stunting tahun 2021 sebesar 3,10 persen. ***3***