Manado (ANTARA) - Apa Itu Stunting?  Menurut beberapa literatur, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak  balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan hingga usia dua tahun.

Dengan demikian periode 1000 hari pertama kehidupan seyogyanya mendapat perhatian khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depan. Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Menurut World Bank Investing in Early Years brief, pada tahun 2016, tingkat 'kecerdasan' anak Indonesia berada di urutan 64 terendah dari 65 negara.

Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi yaitu kelima terbesar dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Di Indonesia, sekitar 37 persen (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas, 2018).

Anak di bawah usia lima tahun/balita dan bayi di bawah usia dua tahun/baduta yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi dapat mempengaruhi kinerja pembangunan Indonesia baik yang menyangkut pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan.

Faktor Penyebab Stunting

Faktor penyebab stunting menurut data Kementerian Kesehatan dan Bank Dunia tahun 2017, diantaranya adalah: praktek pengasuhan yang tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ibu hamil dan layanan setelah ibu melahirkan dan kurangnya pembelajaran usia dini yang berkualitas, kurangnya akses ke makanan bergizi dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Praktek pengasuhan yang tidak baik ditunjukkan dari kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta pada 1000 hari pertama kehidupan. Pada tahun 2017, sebanyak 60 persen dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima MP-ASI.

Terbatasnya layanan kesehatan dan kurangnya pembelajaran usia dini yang berkualitas, ditunjukkan dari data bahwa 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD. Kemudian 2 dari 3 ibu hamil belum  mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terdapat anak balita yang tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Sedangkan kurangnya akses ke makanan bergizi ditunjukkan oleh 1 dari 3 ibu hamil menderita anemia.

Penyebab selanjutnya yaitu kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

Penanganan Stunting

Penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya, bahkan Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam upaya menangani stunting, Pemerintah berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan faktor penyebab yang ada. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberian alokasi dana, baik melalui Belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan pada Kementerian Negara/Lembaga (K/L) maupun melalui Belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Penanganan Stunting Melalui Alokasi Dana pada K/L

Misalnya penanganan stunting yang disebabkan praktek pengasuhan yang tidak baik, sesuai data dari Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas, pada tahun 2018 telah dialokasikan dana sebesar Rp 359,93 miliar pada Kementerian Kesehatan. Alokasi dana tersebut digunakan untuk Penguatan Intervensi Paket Gizi pada Ibu Hamil dan Balita, Kampanye Gerakan Masyarakat Hidup Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat. Selain hal tersebut, pada tahun 2018 telah dialokasikan dana sebesar Rp74,81 miliar pada Kementerian Agama yang digunakan untuk Bimbingan Perkawinan Pra Nikah.

Selanjutnya, penanganan stunting yang disebabkan terbatasnya layanan kesehatan dan kurangnya pembelajaran usia dini yang berkualitas dilakukan dengan mengalokasikan dana sebesar Rp26.557,20 miliar pada Kementerian Kesehatan pada tahun 2018. Dana sebesar Rp26,5 triliun tersebut antara lain digunakan untuk melakukan Pembinaan Dalam Peningkatan Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Pengendalian Penyakit Filariasis dan Kecacingan serta Pengadaan Obat Filariasis. Selain itu, sudah dialokasikan juga dana sebesar Rp731,65 miliar pada BKKBN yang digunakan untuk penyuluhan keluarga yang mempunyai balita agar memahami pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak dan meningkatkan kepesertaan Keluarga Berencana/KB.

Kurangnya akses ke makanan bergizi juga mengakibatkan anak balita menjadi stunting. Hal tersebut telah ditangani dengan mengalokasikan dana sebesar Rp1.367,71 miliar pada Kementerian Kesehatan pada tahun 2018. Dana tersebut digunakan antara lain untuk Penyediaan Makanan Tambahan bagi Ibu Hamil Kurang Energi Kronis, Penyediaan Makanan Tambahan bagi Balita Kekurangan Gizi, dan Peningkatan Suveilans Gizi dan Pengadaan Obat Gizi.

Selanjutnya, untuk meningkatkan akses ke makanan bergizi, pada tahun 2018 telah dialokasikan dana yang cukup besar yaitu Rp14.365,92 miliar pada Kementerian Sosial, yang digunakan untuk memberikan Bantuan Tunai Bersyarat dan Penyelenggaraan Bantuan Pangan Non Tunai.

Yang tidak kalah pentingnya adalah menangani stunting melalui peningkatan akses ke air bersih dan sanitasi. Pada tahun 2018, telah dialokasikan dana pada Kementerian PU dan Perumahan Rakyat sebesar Rp5.965,72 miliar yang digunakan untuk Pembangunan Sanitasi (Infrastruktur Air Limbah, Persampahan, Drainase) dan Air Bersih (SPAM Perkotaan, Berbasis Masyarakat, Kawasan Khusus, Regional).

Penanganan Stunting Melalui Alokasi Dana TKDD

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, pada tahun 2018, telah dialokasikan dana sebesar Rp92.571,48 miliar untuk mendukung Proyek Prioritas Nasional “Penurunan Stunting” pada Pemerintah Daerah. Dana sebesar Rp92,571 triliun tersebut terbagi dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik sebesar Rp8.551,23 miliar, Dana Desa sebesar Rp60.000 miliar, DAK Reguler sebesar Rp10.511,81 miliar, DAK Penugasan sebesar Rp4.241,66 miliar dan DAK Afirmasi sebesar Rp3.226,24 miliar.

Khusus untuk alokasi Dana Desa baik lingkup nasional maupun di Provinsi Sulawesi Utara, di dalamnya sudah terdapat dukungan terhadap Proyek Prioritas Nasional “Penurunan Stunting”. Alokasi Dana Desa, selain dapat digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung/bangunan, jaringan irigasi dan lain-lain, juga dapat digunakan untuk upaya penanganan stunting. Kegiatan-kegiatan yang mendukung penanganan stunting, misalnya penyelenggaraan posyandu, pengadaan ambulance desa,
penyelenggaraan kampung KB, kampanye dan promosi hidup sehat guna mencegah penyakit menular, pelaksanaan program 1000 hari pertama kehidupan, pelatihan/penunjang kegiatan kelompok peduli ASI, ibu hamil dan tim kampung KB, pengelolaan kelompok/pelatihan hak-hak anak keterampilan pengasuhan anak, pembangunan dan pengelolaan apotek desa, pengasuhan bersama atau bina keluarga balita dan lain-lain.

Pemerintah memberikan Dana Desa pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Yang menjadi permasalahan selama ini, Dana Desa belum dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Bahkan pada beberapa desa, penggunaan Dana Desa tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, misalnya digunakan untuk membangun infrastruktur desa yang sebetulnya tidak diperlukan oleh masyarakat desa tersebut. Diharapkan, ke depan dana desa harus benar-benar bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat desa, utamanya dalam hal peningkatan kesejahteraan, termasuk digunakan untuk mengatasi masalah stunting.

Tantangan Penanganan Stunting

Anggaran dalam rangka penanganan stunting sudah dialokasikan baik melalui K/L maupun Provinsi/Kabupaten/Kota, tantangannya adalah memastikan bahwa dana atau anggaran tersebut benar-benar digunakan oleh K/L maupun Provinsi/Kabupaten/Kota untuk kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya penanganan stunting. Setiap pihak yang mengelola kegiatan maupun dana harus punya rasa tanggung jawab untuk bersama-sama menanggulangi stunting, sehingga prevalensi stunting di seluruh Indonesia termasuk di Sulawesi Utara dapat diturunkan secara siqnifikan.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penanganan stunting harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh pada setiap lini, dengan upaya tersebut diharapkan kegiatan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan secara optimal dan akuntabel. Sehingga dampak penurunan stunting dapat tercapai seperti yang diharapkan. Di sinilah peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan (Kanwil) dan KPPN sangat krusial.

Untuk penanganan stunting melalui alokasi dana pada K/L, Kanwil dan KPPN dapat bersinergi dengan K/L di wilayah kerjanya, dengan memastikan capaian output dari alokasi dana yang disalurkan untuk program penurunan stunting dapat tercapai dengan baik. Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk memonitor dan memastikan output dimaksud sudah tercapai atau belum, misalnya aplikasi MEBE, OM SPAN dan SMART. Melalui sinergi dengan K/L di wilayah kerjanya dan hasil monitoring melalui aplikasi-aplikasi tersebut, diharapkan Kanwil
dan KPPN dapat memastikan bahwa alokasi dana telah disalurkan sesuai ketentuan dan sampai pada tahap apa kemajuan capaian outputnya. Apabila capaian output
telah tercapai, diharapkan outcome berupa penurunan prevalensi stunting di wilayah tersebut dapat tercapai sesuai target yang ditetapkan.

Selanjutnya, penanganan stunting melalui alokasi dana TKDD dapat dilakukan oleh Kanwil dan KPPN dengan bersinergi dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, diantaranya untuk memastikan bahwa DAK dan Dana Desa telah diterima di Rekening Daerah maupun Rekening Desa. Monitoring penyaluran DAK dan Dana Desa dapat dilakukan melalui OM SPAN. Sedangkan sinergi dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota seyogyanya dilakukan secara proaktif dengan inisiatif dari Kanwil dan KPPN. Diharapkan dengan sinergi yang baik, akan dapat mengatasi hambatan dan kendala dalam penyaluran TKDD, sehingga tujuan berikutnya yaitu dana TKDD dapat diterima secara optimal oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dan Desa, dan segera dapat digunakan diantaranya untuk penanganan stunting.

*) Penulis adalah Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I
 

Pewarta : Agus Mirsatya
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024