Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa perkara Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap murni penegakan hukum.
Jaksa menyampaikan penegasan tersebut dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, untuk menanggapi eksepsi atau nota keberatan Hasto dan penasihat hukumnya yang menyebut penanganan perkara dimaksud tersisip motif politik dan unsur balas dendam.
"Melihat pendapat dari terdakwa tersebut, penuntut umum ingin menegaskan bahwa perkara terdakwa ini adalah murni penegakan hukum dengan berdasarkan pada kecukupan alat bukti," tutur jaksa.
Dijelaskan, penegakan hukum atas dugaan keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait kecukupan alat bukti.
Menurut jaksa, penegakan hukum terhadap Hasto tidak terkait dengan agenda apa pun atau ditunggangi siapa pun karena semuanya adalah penegakan hukum semata berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Oleh karena itu, dalih penasihat hukum dan terdakwa tersebut merupakan dalih yang tidak berdasar dan harus ditolak," kata jaksa penuntut umum komisi antirasuah.
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto dalam nota keberatan menyebut dirinya sempat diancam akan ditersangkakan dan ditangkap apabila PDI Perjuangan memecat Joko Widodo atau Jokowi.
"Ada utusan yang mengaku dari pejabat negara, yang meminta agar saya mundur, tidak boleh melakukan pemecatan, atau saya akan ditersangkakan dan ditangkap," ucap Hasto saat membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam persidangan, Jumat (21/3).
Tekanan tersebut, kata Hasto, terjadi terutama pada tanggal 4–15 Desember 2024, menjelang pemecatan Jokowi oleh DPP PDI Perjuangan setelah mendapat laporan dari Badan Kehormatan Partai.
Akhirnya pada tanggal 24 Desember 2024 atau satu pekan setelah pemecatan kader PDI Perjuangan pada sore menjelang malam, Hasto ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka pada rentang waktu 2019–2024.
Hasto diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap Anggota KPU periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019–2020.
Uang tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I atas nama Anggota DPR periode 2019–2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.