Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) meski telat, guna meningkatkan kualitas demokrasi.
Menurutnya, selain sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat luas, hal itu juga sejalan dengan konstitusi yang membuka harapan akan hadirnya pilpres yang lebih demokratis dengan bisa majunya lebih banyak lagi capres dan cawapres yang berkualitas.
“Sekalipun telat, tapi keputusan penting itu tetap diapresiasi, agar ke depan tidak terulang lagi pembelahan di tingkat Rakyat akibat dari hanya adanya kandidat capres/cawapres yang sangat terbatas akibat adanya PT 20 persen," kata pria yang akrab disapa HNW dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
"Sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, juga agar makin banyak anak-anak bangsa yang berkualitas untuk bisa maju/dimajukan sebagai calon presiden/wakil presiden, sehingga pilpres bisa lebih berkualitas dan kedaulatan Rakyat bisa lebih maksimal dilakukan karena adanya pilihan yang lebih beragam dalam kontestasi pilpres di Indonesia,” katanya.
Meski begitu, dia mengakui MK sendiri di dalam putusan ini juga seperti mengkhawatirkan adanya jumlah calon presiden yang terlalu banyak, sehingga memberikan amanat kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan melakukan revisi UU Pemilu.
HNW menambahkan agar MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi.
Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja. Untuk itu, ia juga berharap agar MK konsisten menegakkan atau memberlakukan ketentuan-ketentuan konstitusi dengan merevisi/meluruskan beberapa putusan MK lainnya.
Dirinya mencontohkan salah satunya adalah terkait dengan masih diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah, di mana di dalam putusan terakhirnya soal pilkada, MK masih menetapkan adanya ambang batas pencalonan sekalipun sudah jauh di bawah 20 persen.
“Kalau untuk Pilpres saja PT 20 persen dihapus oleh MK, apalagi untuk Pilkada, mestinya ketentuan ambang batasnya juga dihapus bukan hanya dikurangi, sesuai ketentuan konstitusi yang tidak mengenal pembatasan itu, juga sesuai harapan rakyat pemilik kedaulatan,” ujar HNW.
HNW menyebutkan putusan MK mengenai pileg dan pilpres yang dilakukan secara serentak dan mulai diberlakukan pada Pileg dan Pilpres tahun 2019 juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi dan dikoreksi oleh MK.
Masalahnya, bila merujuk kepada Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan ketentuan lain dalam konstitusi, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan bahwa pemilu (pileg dan pilpres) dilakukan secara serentak.
Ia mengusulkan agar poin-poin itu juga sebaiknya menjadi bahan pembahasan di DPR sebagaimana amanat dari MK untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering).