Jakarta (ANTARA) - Sukses Greysia Polii/Apriyani Rahayu mencatat sejarah baru dunia bulu tangkis Indonesia melalui kemenangan emas ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 merupakan hal yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.
Ganda putri peringkat enam dunia itu melangkah ke Tokyo berbekal amanah Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) agar membawa pulang medali, bisa perunggu, perak, atau emas.
Menjadi satu-satunya wakil Indonesia di sektor yang dikuasai Jepang, Korea Selatan, dan China, pandangan pesimistis kepada Greysia/Apriyani pun mencuat.
Pasalnya, pada fase penyisihan Grup A saja mereka sudah dihadapkan dengan unggulan teratas dan peringkat satu dunia Yuki Fukushima/Sayaka Hirota yang menjadi wakil tuan rumah.
Selain itu, ganda putri yang baru dipasangkan pada 2017 ini pun juga punya pengalaman timpang.
Sebelum ke Tokyo 2020, Greysia sudah dua kali menjajal peruntungan di Olimpiade dengan dua kawan main yang berbeda. Sementara bagi Apriyani, Tokyo 2020 adalah pengalaman pertamanya bersaing di kompetisi multievent tertinggi di dunia.
Namun pandangan tadi dipatahkan dengan tampil menjadi Kuda Hitam dengan mengalahkan lawan-lawan berat di lapangan.
Pada fase grup, Greysia/Apriyani melahap ketiga pertandingan dengan meraih kemenangan mutlak. Poin kemenangan pembuka didapat dari ganda putri Malaysia, Chow Mei Kuan/Lee Meng Yean.
Lalu dua hari kemudian disusul dengan mengalahkan Chloe Birch/Lauren Smith dari Inggris. Greysia/Apriyani mencatatkan kemenangan dua gim langsung saat meladeni kedua pasangan itu.
Ujian pertama bagi Greysia/Apriyani tiba saat berhadapan dengan Fukushima/Hirota. Laga mereka akan menentukan juara grup dan melaju ke perempat final.
Dalam catatan pertemuan keduanya, Greysia/Apriyani hanya mengantongi dua kemenangan dari 10 pertemuan dengan Fukushima/Hirota. Pada delapan pertemuan terakhir, Greysia/Apriyani menelan kekalahan beruntun.
Rubber game selama 84 menit dilalui kedua pasangan. Greysia/Apriyani menghadapi lawan yang di atas kertas sulit untuk dikalahkan, apalagi dalam konteks Olimpiade dimana persiapan atlet digembleng lebih maksimal.
Semangat juang terlihat dari Hirota, yang meski mengalami cedera otot ligamen lutut anterior (ACL) dan memakai alat penyangga di lutut kanannya, dia tetap bermain keras memberikan tekanan pada Greysia/Apriyani.
Greysia/Apriyani tak gentar dan ikut menampilkan daya juang yang memukau. Mereka mengakhiri laga dengan mengantongi kemenangan di gim pertama dan ketiga, sekaligus memastikan langkahnya ke babak delapan besar sebagai juara grup.
Main Tanpa Beban
Dalam bertanding, Greysia/Apriyani mengaku hanya melakoni setiap laga dengan main tanpa beban atau "nothing to loose".
Apriyani menuturkan, sebelum bertanding dia hanya mengupayakan agar tetap fokus dan menjaga pikiran. Bagi atlet berusia 23 tahun ini, dibayangi target atau memikirkan calon lawan hanya akan mengganggu permainannya.
Oleh karenanya, dia ogah memikirkan hal-hal yang dirasa mengganggu, termasuk menahan keinginan untuk menang yang justru bisa menjadi beban.
Kunci ini juga diterapkan saat Greysia/Apriyani menghadapi Du Yue/Li Yin Hui di perempat final. Laga ini menjadi yang terberat bagi Indonesia karena melalui drama rubber game selama lebih dari 1,5 jam.
Greysia tidak mau memikirkan beban medali agar lebih leluasa meladeni lawannya, meski pada akhir pertandingan staminanya tak kuat menahan beban fisik hingga mengalami kram kaki dan terpaksa dibantu berjalan keluar lapangan.
Sebagai atlet, adalah hal biasa menanggung rasa sakit dan lelah yang berlebih di badan. Hal yang terpenting baginya adalah tetap fokus dan bersiap untuk laga lanjutan, katanya.
"Kami tahu punya beban dan tekanan, tapi kami tidak mau memikirkannya terlalu banyak. Kami hanya ingin menikmati setiap pertandingan," ungkap Greysia.
Pelatih ganda putri Pelatnas Cipayung, Eng Hian, yang mendampingi Greysia/Apriyani di Tokyo juga memperhatikan permainan atlet asuhannya tetap stabil meski mengalami tekanan di pertandingan.
Setiap tahapan dan pengalaman yang didapat, menjadi bekal Greysia/Apriyani memupuk semangat menghadapi laga lainnya.
"Prosesnya cukup luar biasa dari hari demi hari, terutama di Tokyo. Mereka melewati laga tanpa memikirkan hasil yang terlalu jauh. Dari awal memang prinsipnya bersyukur untuk hasil hari ini dan berdoa untuk hari besok," kata pria yang akrab disapa Didi itu.
Tidur 10 Jam
Sikap santai masih diterapkan Greysia/Apriyani jelang babak final. Misalnya saja Greysia, meski pernah tampil di Olimpiade London 2012 dan Rio 2016, namun belum pernah lolos ke partai puncak.
Cerita dari senior, soal ketat dan menegangkannya laga final, tak membuat atlet yang 10 tahun lebih tua dari Apriyani ini urung menikmati jeda istirahatnya.
Dia menceritakan bahwa masih bisa makan dan tidur enak, bahkan tidak memusingkan cerita-cerita dari seniornya sebelumnya.
Contoh konkritnya, adalah ketika Greysia bisa tidur hingga 10 jam pada malam sebelum laga perebutan medali emas kontra Chen Qing Chen/Jia Yi Fan dari China.
Pada turnamen biasa, dia hanya bisa tidur sekitar lima atau tujuh jam paling lama. Namun jelang babak final Olimpiade justru dia merasa lebih rileks.
Begitu pula dengan Apriyani, meski sadar peluang merebut medali emas di depan mata, namun dia memilih fokus menjaga permainan di lapangan.
Benar saja, Greysia/Apriyani membuktikan statusnya sebagai Kuda Hitam dengan menyingkirkan peringkat dua dunia dan mengamankan medali emas hanya dengan dua gim langsung.
Aksi Greysia/Apriyani turut membuktikan, bahwa di ajang Olimpiade semua catatan persaingan yang terjadi di tingkat turnamen tahunan bisa tidak berlaku.
Titel non-unggulan bukan alasan untuk bermain payah. Justru Greysia/Apriyani sukses menundukkan tiga pasangan yang peringkatnya lebih tinggi, serta mencetak sejarah dengan menjadi ganda putri pertama Indonesia yang meraih medali emas Olimpiade.