Manado (ANTARA) - Pelaksanaan 'restorative justice' melibatkan berbagai pihak seperti pelapor, terlapor dan tokoh agama atau tokoh masyarakat juga penting dalam penyelesaian sengketa atau masalah hukum.

 Kapolda Sulawesi Utara Irjen Pol Setyo Budiyanto, di Manado, Selasa  mengatakan, sesuai dengan Perpol Nomor 8 Tahun 2021, ada upaya penyelesaian hukum di luar penegakan hukum, salah satunya dengan menggunakan atau pemanfaatan restorative justice.

“Harapannya, permasalahan-permasalahan yang masih bisa diselesaikan di luar proses penegakan hukum, bisa diselesaikan di Rumah Restorative Justice. Jadi nanti dipertemukan antara para pihak yaitu pelapor, terlapor, keluarga, termasuk juga melibatkan tokoh adat, tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk berusaha berpartisipasi menyelesaikan permasalahan,” kata Kapolda usai peresmian "Rumah Restorative Justice Wale Baku Bae” Ditreskrimum Polda Sulut.

Kapolda menambahkan tidak semua permasalahan hukum bisa diselesaikan melalui restorative justice. 

“Ada batasannya, semua ada ketentuannya. Pedomannya adalah peraturan kepolisian, masalah-masalah yang ancaman hukumannya itu paling tidak di bawah tiga tahun, kemudian tidak menimbulkan permasalahan yang bersifat konflik sosial apalagi perpecahan persatuan kemudian masalah-masalah yang bersifat SARA, itu semua ada ketentuannya dan batasannya,” katanya.

Menurut Kapolda, anggota sudah dilatih tentang bagaimana penerapan restorative justice dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.

Contoh, permasalahan yang paling berat, pembunuhan, itu tidak bisa diselesaikan melalui restorative justice. 

"Jadi permasalahan-permasalahan umum saja, seperti konflik antar tetangga, antar keluarga dan lain-lain. Karena faktor didasari emosi, mereka lapor, dari situ kemudian penyidik melakukan telaah bahwa, masalah ini masih bisa dilakukan penyelesaian atau pemulihan secara non justitia, kemudian dipanggil para pihak dan mereka tidak keberatan,” kata Kapolda.

Kapolda mengatakan, sebetulnya restorative justice itu berasal dari mereka sendiri, keinginan para pihak sendiri. 

“Penyidik atau penyelidik saat itu hanya memfasilitasi saja. Jadi ruangan ini kami buat supaya mereka lebih nyaman untuk bisa mengeluarkan segala unek-uneknya, permasalahannya. Kalau misalkan tempatnya itu bergabung dengan ruangan penyidik, ada beberapa anggota yang lain, tentu mereka tidak leluasa untuk menyampaikan atau mengeluarkan apa yang ada dalam isi hatinya,” katanya.

Kapolda mengatakan dalam restorative justice ini jangan sampai ada "conflict of interest", artinya justru penyidik yang kemudian memiliki kepentingan.

“Jangan sampai seperti itu, yang memiliki kepentingan adalah para pihak. Penyidik atau penyelidik dari Direktorat Reskrimum hanya memfasilitasi," katanya.

Makanya, lanjut Kapolda, ada melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, pihak keluarganya. 

"Jadi kalau misalkan suatu masalah selesai melalui restorative justice, itu berdasarkan kesepakatan mereka, bukan kemudian ada intimidasi, paksaan atau ada kepentingan dari penyidik atau penyelidik,” katanya.

Peresmian itu ditandai dengan penandatanganan prasasti Rumah Restorative Justice “Wale Baku Bae” oleh Kapolda Sulut didampingi Ketua Pengurus Daerah Bhayangkari Sulut Henny Setyo Budiyanto. 

Pada kesempatan itu, Kapolda Sulut juga menandatangani prasasti peresmian Pos Penjagaan Pintu III Mapolda Sulut.

Pewarta : Jorie MR Darondo
Editor : Hence Paat
Copyright © ANTARA 2024