Jakarta (ANTARA) - Rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada 15 Mei mendatang membawa perasaan yang ironi dan nostalgik bagi para pecinta sejarah negara-negara Barat.
Mengapa demikian? Karena Alaska itu sendiri dahulu merupakan wilayah milik Kekaisaran Rusia, yang dibeli oleh pemerintahan Amerika Serikat, tepatnya kesepakatan itu ditandatangani pada sekitar 4 pagi tanggal 30 Maret 1867.
Saat Washington D.C masih diselimuti kegelapan, dua pria yang merupakan pejabat dari masing-masing pemerintahan (Menteri Luar Negeri AS William H Seward dan Dubes Rusia Eduard de Stoeckl) bersama sejumlah pegawai bekerja tanpa henti diterangi lampu gas di kantor Departemen Luar Negeri AS.
Hasilnya, dua negara sepakat bahwa AS akan membeli Alaska dari Rusia seharga 7,2 juta dolar AS, atau kira-kira dua sen dolar per ekar, atau sekitar lima sen dolar per hektare.
Faktor ketergesaan untuk menuntaskan pembelian itu memang disengaja. Seward, yang memang dikenal sebagai sosok yang senang bergadang dan lihai secara politik, merasa cemas bahwa bila perjanjian ini dibicarakan pada waktu siang hari maka akan mendapat tantangan dari lawan politik, sorotan tajam insan media, serta adanya hambatan dari Kongres AS.
Mengapa AS ingin mendapatkan sebidang lahan luas di dekat wilayah Kutub Utara itu? Ada banyak alasan tetapi sejumlah yang disorot antara lain adalah Menlu Seward yakin bahwa pengaruh Amerika suatu hari nanti akan meluas hingga ke Pasifik, dan lokasi Alaska menawarkan pijakan yang berharga di dekat Asia.
Dari sudut pandang ini, AS dapat memperluas perdagangan dengan China dan Jepang sekaligus menyingkirkan kehadiran Rusia dari Amerika Utara, sebuah langkah yang konsisten dengan tujuan Doktrin Monroe untuk menjauhkan kekuatan Eropa dari Belahan Bumi Barat (Benua Amerika).
Seward juga menduga bahwa Alaska memiliki sumber daya alam yang sangat besar dan belum dimanfaatkan. Meskipun penemuan emas dan minyak bumi masih membutuhkan waktu puluhan tahun, ia melihat potensi kekayaan kayu, perikanan, dan mineralnya yang menjanjikan, apalagi diketahui bahwa wilayah yang kaya sumber daya seringkali nilainya bakal meningkat seiring waktu.
Bagi Rusia, penjualan itu merupakan langkah yang penuh kalkulasi, karena Alaska yang dinilai sangat jauh dari Moskow memiliki biaya pemeliharaan yang begitu mahal serta rentan direbut oleh Kekaisaran Inggris Raya saat itu.
Untuk itu, Rusia memutuskan lebih baik menjual Alaska kepada Amerika Serikat yang pada saat itu memiliki hubungan persahabatan, daripada mengambil risiko kehilangan karena direbut oleh pasukan Inggris.
"Seward's Folly"
Namun pada tahun 1867, banyak warga AS yang ternyata mencemooh pembelian tersebut, dengan menyebutnya sebagai "Seward's Folly" atau "Kebodohan Seward" karena dinilai membuang-buang banyak uang negara hanya untuk membeli alam liar yang luas dan beku.
Dengan ditemukannya cadangan baik emas maupun minyak bumi akan membenarkan visi yang dicetuskan oleh Seward, tetapi label itu tetap melekat, sebagai sebuah pengingat bahwa apa yang tampak bodoh hari ini mungkin terbukti bijaksana di masa depan.
Lebih dari 150 tahun kemudian, Alaska kembali siap menjadi tuan rumah dalam ajang diplomasi AS-Rusia yang dipenuhi harap-harap cemas oleh banyak pihak.
Pada 15 Agustus 2025, Presiden Donald Trump dan Presiden Vladimir Putin dijadwalkan bertemu di negara bagian yang pernah dicemooh sebagai "Kebodohan Seward" itu, dengan tujuan untuk membahas upaya mengakhiri perang di Ukraina.
Sejumlah pemberitaan media dunia menyatakan bahwa awalnya Utusan Trump, Steve Witkoff, telah melontarkan gagasan pertemuan tiga arah, berarti tidak hanya Trump-Putin, tetapi juga dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Permintaan itu ditolak Moskow yang lebih memilih untuk berfokus pada format bilateral. Putin mengatakan ia tetap terbuka untuk berunding dengan Zelenskyy, tetapi hanya jika prasyarat tertentu telah dipenuhi.
Sementara itu, Zelenskyy telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas pertemuan Trump-Putin di Alaska, sembari memperingatkan akan adanya "keputusan tentang Ukraina tanpa Ukraina". Presiden Ukraina itu juga menekankan bahwa negaranya tidak akan berkompromi pada integritas teritorialnya sebagaimana tercantum dalam konstitusinya.
Namun, laporan terbaru The Telegraph menunjukkan bahwa Kiev mungkin melunak, atau berpotensi terbuka terhadap rencana perdamaian yang mengakui kendali de facto Rusia atas wilayah yang diduduki, dengan imbalan keanggotaan NATO dan jaminan keamanan.
Kecemasan Zelenskyy dan sebagian besar pemimpin negara-negara Eropa terhadap pertemuan Trump-Putin memang beralasan, karena secara historis pertemuan antara negara adidaya kerap memiliki risiko mengesampingkan kepentingan negara-negara kecil demi kesepakatan geopolitik yang lebih luas.
Jika tujuannya adalah "perdamaian yang adil" yang dihormati oleh Ukraina, Rusia, dan Uni Eropa, maka penyelesaian apa pun harus memperhatikan tidak hanya wilayah tetapi juga kedaulatan, keamanan, dan prinsip-prinsip hukum internasional. Tanpa partisipasi dan persetujuan Ukraina, perjanjian apa pun akan menghadapi masalah legitimasi dan tantangan implementasi ke depannya.
"Folly" Baru
Belum lagi bila ternyata hasil dari pertemuan di Alaska akan menghasilkan "folly" atau kebodohan baru, di mana hasil yang ada akan dapat sangat merugikan salah satu pihak, bisa itu AS, Rusia, atau Ukraina/Eropa.
Dalam skenario yang berujung kepada "Putin's Folly", yaitu bila Putin meninggalkan Alaska dengan kesepakatan yang tampaknya menguntungkan di atas kertas tetapi ternyata malah mengikis kekuatan Rusia dalam penerapannya.
Hal itu dapat berbentuk janji pencabutan sanksi terhadap Rusia pada awalnya tetapi kemudian ditunda, serta NATO berhasil memperkuat sayap timurnya serta Ukraina mengamankan jaminan keamanan yang kuat dari negara-negara Barat.
Kemudian, bagaimana bila hasilnya malah berujung kepada "Trump's Folly", yaitu saat Trump membuat kesepakatan yang mengasingkan AS dari sekutu-sekutu Eropa, melemahkan persatuan NATO, dan memberikan konsesi substansial kepada Rusia tanpa komitmen yang dapat diverifikasi sebagai imbalannya.
Ke depannya bila ini terjadi, maka AS dapat disalahkan karena melegitimasi agresi sembari gagal mengamankan perdamaian yang langgeng.
Lalu, bisa saja bila hasilnya berujung kepada "Zelensky's Folly", yaitu terjadinya sebuah kompromi Trump-Putin yang benar-benar melemahkan Ukraina, misalnya dengan penyelesaian yang dipaksakan tanpa persetujuan penuh Kiev untuk menyerahkan wilayah secara permanen kepada Rusia dengan imbalan janji-janji perdamaian yang samar.
Jika jaminan keamanan terbukti tidak dapat diandalkan atau dukungan Barat memudar, Ukraina dapat menghadapi agresi baru yang akan semakin mengikis kepercayaan publik dan ketahanan nasional Ukraina.
Untuk itu, pertemuan di Alaska harus bisa menghasilkan penyelesaian yang benar-benar saling menguntungkan sehingga Alaska akan dikenang bukan sebagai tempat "kebodohan" lainnya, melainkan sebagai tempat lahirnya perdamaian yang berkelanjutan dan dihormati.
Ketika Seward menandatangani kesepakatan untuk membeli Alaska di saat-saat hening menjelang fajar, para kritikus mengejeknya karena menghambur-hamburkan jutaan dolar di tanah beku yang tandus. Namun, kini terbukti Alaska yang merupakan negara bagian terluas AS, ternyata kaya sumber daya.
Jika Trump dan Putin bertemu di sana untuk menghasilkan perdamaian yang diakui adil oleh Ukraina, Rusia, dan Eropa, maka Alaska ke depan dapat sepenuhnya melepaskan diri dari keterkaitannya dengan sebutan "Seward's folly", serta dikenang oleh generasi mendatang sebagai tempat kekuatan besar maupun negara-negara kecil membuktikan bahwa keadilan dan pragmatisme dapat bertemu dan berbuah hasil yang manis di meja yang sama.

