Jakarta (ANTARA) - Komisi III DPR RI menegaskan kasus penghinaan terhadap presiden penting untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
"Seluruh fraksi juga sepakat bahwa pasal penghinaan presiden adalah pasal yang paling penting yang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice," kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikannya di akhir rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama sejumlah pakar untuk mendengarkan masukan terkait RUU KUHAP.
Dia menyebut kebijakan keadilan restoratif penting diterapkan dalam pasal penghinaan terhadap presiden sebab pasal tersebut dapat menimbulkan multitafsir atau multiinterpretasi.
"Faktanya bahwa justru pasal tersebut, pasal penghinaan presiden adalah pasal yang paling penting yang harus bisa diselesaikan dengan restorasi justice karena itu adalah pasal terkait ujaran, orang bicara A, bisa jadi tafsirkan B, C, dan E karena itu cara menyelesaikannya adalah dengan mekanisme dialog restorative justice," ujarnya.
Untuk itu, dia mengatakan pihaknya memandang penting diterapkannya keadilan restoratif atas pasal tersebut agar masyarakat tidak mudah dijerat hukuman penjara atas lontarannya yang dianggap menghina presiden.
"Jadi pasal yang begitu mengerikan di KUHP seolah-olah dengan ada yang KUHAP ini bisa kita implementasikan dengan penuh kebijaksanaan ya, (jadi) enggak gampang orang masuk penjara gara-gara pasal penghinaan presiden. Tujuannya begitu," ucapnya.
Dia lantas berkata, "Memang pasal tersebut harusnya bisa diselesaikan dengan dialog dahulu, dengan mediasi dahulu, dengan restorative justice, sehingga nggak gampang orang karena perbedaan kepentingan politik, perbedaan posisi politik, (lalu) di pidana, dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penghinaan kepada presiden."
Penegasan Habiburokhman di atas, disampaikannya menanggapi kekeliruan informasi di publik yang menyebut bahwa mekanisme keadilan restoratif dikecualikan atas pasal penghinaan terhadap presiden.
"Tadi ada berita di salah satu media bahwa KUHAP baru (pasal) penghinaan presiden tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice. Nah, itu missleading karena adanya kesalahan redaksi waktu dokumen ini dikirim ke pemerintah," katanya.
Dia menegaskan bahwa Pasal 77 draf RUU KUHAP tidak mengecualikan pasal penghinaan terhadap presiden untuk bisa diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
"Sudah sepakat bahwa tidak benar pengaturan tersebut. Yang benar adalah justru pasal penghinaan presiden memang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice. Jadi di Pasal 77 itu rumusannya diubah, yang benar adalah tidak ada pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden di KUHP," tuturnya.
Dia menyebut bahwa penerapan keadilan restoratif atas pasal penghinaan terhadap presiden merupakan kebijakan yang progresif dalam hukum pidana di tanah air.
"Nanti kalau bisa kami dorong, pasal seperti itu enggak bisa langsung ke penegakan hukum, bahkan kami bisa lebih progresif lagi, harus melalui RJ, jadi bukan hanya pilihan ya, bukan hanya bisa, tetapi harus melalui RJ," ujar dia.